Catatan Lingkungan Hidup Bang Sem (4)

Alam Dicipta Untuk Kesejahteraan Berkeadilan

| dilihat 6044

PERKEMBANGAN peradaban manusia dalam me­nge­lola potensi sumberdaya alam yang dimikinya, ber­kembang ber­samaan dengan cepanya berkembangan sains dan tekno­logi, yang menawarkan materalisme se­bagai pilihan dan gaya hidup.

Karl Vogt, Ludwig Feur­boch, Haeckel, dan Buchner mendorong pemikiran filsafat materialisme, serta melihat manusia dan per­adab­annya dalam konteks eksplorasi dan eks­ploitasi sumber­daya alam, tidak lagi sederhana.

Dalam pandangan mereka, manusia tak bisa mem­bebas­kan diri­nya dari materi. Karena semua yang berada di atas mukabumi me­rupakan alam materi. Dan karena­nya, manusia dengan alam, mempunyai daya yang saling ber­interaksi secara terus menerus satu dengan lainnya.

Dalam konteks inilah pemahaman tentang dinamisme, yang melandasi hubungan manusia dengan alam se­bagai fenomena, menjadi dasar gagasan pe­manfaatan manusia atas alam secara integratif.

Ketika filsafat materialisme berkembang dan ber­ubah, dan tak lagi bertumpu pada keyakinan asasi tentang hakekat materi secara menyeluruh (manusia dan alam semesta), barulah anasir-anasir spiritualitas dan materi se­bagai dua sisi hidup manusia, saling berkorelasi di dalam peradaban – khasnya tradisi -- manusia. Inilah, kelak, yang membentuk abstraksi khayali, yang meng­hubung­kan dunia di dalam dan di luar empirisma.

Dunia khayali dan dunia realitas, yang sebagiannya, men­jelma menjadi mitos, lalu legenda.

Pemahaman semacam inilah yang diluruskan oleh Ibnu Rusyd (Averos) dengan menegakkan penting­nya nalar sebagai penggerak perubahan knowledgement menjadi sains dan tekno­logi, untuk memahami hakekat pencipta­an Allah atas alam se­mesta dengan segenap potensi sumber­daya-nya.

Pemikiran Ibnu Rusyd inilah yang kemudian dikembangkan oleh Al Kindy dan Ibnu Khaldun, yang melihat korelasi hubungan manusia dengan tugasnya me­ngelola alam semesta (termasuk memberi nilai tambah dan memelihara kesinam­bung­annya).

ALAM PAPUA DIEKSPLOITASI FREEPORT : SIAPA SEJAHTERA? | DOKUMENTASI

Peradaban manusia dalam pandangan Al Kindy dan Ibn Khaldun, terikat oleh kemampuannya menjalan­kan fungsi ke­khalifan, termasuk atas alam. Karena­nya, di­perlukan sains, tek­nologi, industri, manajemen, dan per­niagaan, yang mampu memberi nilai lebih atas hasil olah­an alam, sekaligus memberi­kan kemampuan kepada manusia memelihara dan menjamin sustaina­bilitas alam itu sendiri.

Dalam keyakinan bangsa Kildan yang berper­adab­an se­masa dengan bangsa Mesir, korelasi manusia dengan alam, dan keharusan manusia memberi nilai tambah dan memeli­hara alam, bergantung kepada tiga unsur utama. Yakni: Anu, sebagai penguasa utama, yang berada dalam tataran ‘dunia di atas’. Anu diyakini se­bagai kreator yang menguasai Anail atau Bal, dan Ija.

Anail atau Bal, yang bersemayam di ‘dunia tengah’, dan bertugas mencipta alam semesta, dan se­kaligus se­bagai sumber ilmu pengetahuan untuk menge­lola alam bagi ke­maslahatan hidup manusia. Sedangkan Ija, di­turunkan ke bumi, hidup se­bagai manusia di ‘dunia di bawah’, yang ber­tugas mengembang­kan ilmu penge­tahu­an, itu menjadi tekno­logi dan aneka jenis per­­adaban manusia. Ija memandu langsung manusia, bagai­mana me­ngolah sumberdaya alam untuk mencapai kemakmur­an manusia.

Filsafat dan pemikiran bangsa Khildan ini, mirip dengan keyakinan dan berkembang di lingkungan ber­bagai suku bangsa di Indonesia. Paling tidak, seperti ter­cermin di banyak legenda dan mitos, yang kemudian ber­kembang ber­sama perkembangan sastra lisan.

Ke­semua­nya, memperkaya pemahaman kita untuk mencer­mati dan menyikapi dengan sek­sama, bagaimana kearif­an dan ke­cerdasan lokal masyarakat kita menempatkan alam dengan segenap potensi sumberdaya-alam yang dimiliki­nya, dalam keseluruhan konstelasi pemikir­an, bu­daya, dan peradaban yang terus berkembang.

Termasuk, misalnya, bagaimana semestinya me­mahami dan mewujudkan tanggungjawab sosial kita dalam memberi nilai tambah dan memelihara alam. Dari keseluruh­an pemikir­an di atas, sebenarnya kita sampai ke­pada pe­mahaman: Tuhan menciptakan alam untuk di­budidayakan sehingga bernilai tambah pada suatu kurun waktu tertentu bagi kesejahteraan manusia, yang adil, se­panjang masa itu.

Dan manusia berkewajiban me­meli­haranya, agar alam terus memberi manfaat bagi manusia pada kurun waktu berikutnya, dan bagi generasi ber­ikutnya. Karena manusia, pasti tidak bisa me­ngembali­kan alam dengan se­genap potensi sumberdaya yang di­punyainya, seperti se­mula jadi.

Karena itu, sains dan teknologi diperlukan. Karena sains dan teknologi, merupakan perangkat per­adaban manusia me­wujudkan tanggungjawabnya ter­hadap alam dan kehidupan manusia berikutnya. Dalam konteks itu­lah, setiap manusia mesti menyadari, bahwa eksistensinya di atas muka­bumi, bukan merupakan masalah. Melainkan subyek yang seharusnya me­mecah­kan masalah.

Bahkan, tidak juga me­rupakan bagian dari misteri kehidupan masa depan, karena manusia sebagai subyek harus merumus­kan sesuatu yang misteri, menjadi nyata. Apalagi, ketika di­pahami, bahwa dalam ke­seluruhan proses in­teraksi dan interrelasi manusia me­ngelola alam dan potensi sumber­daya alam, tidak dikenal lagi ‘l’idee maîtresse’, atau gagasan sentral yang mengikat se­luruh manusia. Baik karena plu­ralitas karakter, multikultural­itas nilai hidup, maupun karena beragamnya kepenting­an.

PENGELOLA TAMBANG HARUS TAHU DIRI BAGAIMANA MEMPERLAKUKAN ALAM, BILA TAK HENDAK TERTIMPA LAKNAT | DOKUMENTASI

Juga, karena setiap manusia yang beradab, cende­rung hanif kepada kebaikan dan kebajikan, dan tak bisa dipukul rata sebagai para pe­rusak alam. Dan karenanya, tak ada satupun pihak yang bisa me­nyatakan dirinya sebagai penjaga alam.

Manusia, tidak sebagaimana yang dipikirkan dan di­ajarkan Karl Marx : semata-mata sebagai makhluk yang selalu cenderung dikuasai oleh naluri ekonomi. Sebagai­mana manusia tak selalu seperti yang dipikirkan Freud yang me­reduksi eksistensi manusia yang selalu menjadi obyek naluri seksual. Bahkan, eksistensi manusia, tak se­bagaimana dipikir­kan Nietzche, yang dalam filsafat eksis­tensialisme-nya, me­nempat­kan manusia sebagai pengge­rak naluri menuju ke­kuasaan be­laka.

Dalam konteks inilah masyarakat ber­sinergi, me­madukan kecerdasan dan kearifannya, sesuai dengan per­kembangan budaya dan peradabannya. Ter­masuk di dalam­nya, penguasaan sains dan teknologi ber­dasarkan tahap-tahap perkembangan insaniahnya.

Dari sudut pandang inilah, dunia pertambangan dan perilaku para profesional yang terlibat di dalamnya harus di­cermati. Paling tidak untuk mencoba memahami lebih sek­sama se­rangkaian pertanyaan yang selalu berhambur­an datang me­nyergap: sungguhkah mereka lebih cende­rung melakukan eks­plorasi dan eksploitasi, dan kemudi­an mengabaikan tanggung­jawab manusia mengelola alam secara cerdas dan arif bagi pe­muliaan kehidupan manusia kini dan masa depan?

Seberapa jauh manusia dan masya­rakat per­tambangan berpegang teguh ter­hadap keniscaya­an alamiah berbasis natural law (sunna­tullah), untuk bersi­teguh terhadap hubung­an relasi harmonis antara manusia – Tuhan – dan alam?

Dalam pandangan saya, hubungan Tuhan, Alam, dan Manusia adalah realitas hidup dan kehidupan yang semestinya menjadi landasan fundamental untuk me­wujudkan kewajiban utama pengelolaan (pembudi­dayaan dan peme­liharaan) alam. Dari sudut pandang rekacita (imagineering), pemikiran ini memberikan ruang yang sangat longgar untuk siapa saja, secara bebas me­lakukan penafsiran. |

Editor : Web Administrator | Sumber : CAWANDATU - N. Syamsuddin Ch. Haesy
 
Polhukam
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 244
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
05 Mar 24, 08:18 WIB | Dilihat : 422
Anak Anak Abah Menghalau AI Generatif
22 Feb 24, 11:50 WIB | Dilihat : 317
Jalan Terjal Perubahan
18 Feb 24, 05:52 WIB | Dilihat : 272
Melayari Dinamika Kebangsaan dan Demokrasi
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 634
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 784
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 751
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya