PERKEMBANGAN peradaban manusia dalam mengelola potensi sumberdaya alam yang dimikinya, berkembang bersamaan dengan cepanya berkembangan sains dan teknologi, yang menawarkan materalisme sebagai pilihan dan gaya hidup.
Karl Vogt, Ludwig Feurboch, Haeckel, dan Buchner mendorong pemikiran filsafat materialisme, serta melihat manusia dan peradabannya dalam konteks eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam, tidak lagi sederhana.
Dalam pandangan mereka, manusia tak bisa membebaskan dirinya dari materi. Karena semua yang berada di atas mukabumi merupakan alam materi. Dan karenanya, manusia dengan alam, mempunyai daya yang saling berinteraksi secara terus menerus satu dengan lainnya.
Dalam konteks inilah pemahaman tentang dinamisme, yang melandasi hubungan manusia dengan alam sebagai fenomena, menjadi dasar gagasan pemanfaatan manusia atas alam secara integratif.
Ketika filsafat materialisme berkembang dan berubah, dan tak lagi bertumpu pada keyakinan asasi tentang hakekat materi secara menyeluruh (manusia dan alam semesta), barulah anasir-anasir spiritualitas dan materi sebagai dua sisi hidup manusia, saling berkorelasi di dalam peradaban – khasnya tradisi -- manusia. Inilah, kelak, yang membentuk abstraksi khayali, yang menghubungkan dunia di dalam dan di luar empirisma.
Dunia khayali dan dunia realitas, yang sebagiannya, menjelma menjadi mitos, lalu legenda.
Pemahaman semacam inilah yang diluruskan oleh Ibnu Rusyd (Averos) dengan menegakkan pentingnya nalar sebagai penggerak perubahan knowledgement menjadi sains dan teknologi, untuk memahami hakekat penciptaan Allah atas alam semesta dengan segenap potensi sumberdaya-nya.
Pemikiran Ibnu Rusyd inilah yang kemudian dikembangkan oleh Al Kindy dan Ibnu Khaldun, yang melihat korelasi hubungan manusia dengan tugasnya mengelola alam semesta (termasuk memberi nilai tambah dan memelihara kesinambungannya).
ALAM PAPUA DIEKSPLOITASI FREEPORT : SIAPA SEJAHTERA? | DOKUMENTASI
Peradaban manusia dalam pandangan Al Kindy dan Ibn Khaldun, terikat oleh kemampuannya menjalankan fungsi kekhalifan, termasuk atas alam. Karenanya, diperlukan sains, teknologi, industri, manajemen, dan perniagaan, yang mampu memberi nilai lebih atas hasil olahan alam, sekaligus memberikan kemampuan kepada manusia memelihara dan menjamin sustainabilitas alam itu sendiri.
Dalam keyakinan bangsa Kildan yang berperadaban semasa dengan bangsa Mesir, korelasi manusia dengan alam, dan keharusan manusia memberi nilai tambah dan memelihara alam, bergantung kepada tiga unsur utama. Yakni: Anu, sebagai penguasa utama, yang berada dalam tataran ‘dunia di atas’. Anu diyakini sebagai kreator yang menguasai Anail atau Bal, dan Ija.
Anail atau Bal, yang bersemayam di ‘dunia tengah’, dan bertugas mencipta alam semesta, dan sekaligus sebagai sumber ilmu pengetahuan untuk mengelola alam bagi kemaslahatan hidup manusia. Sedangkan Ija, diturunkan ke bumi, hidup sebagai manusia di ‘dunia di bawah’, yang bertugas mengembangkan ilmu pengetahuan, itu menjadi teknologi dan aneka jenis peradaban manusia. Ija memandu langsung manusia, bagaimana mengolah sumberdaya alam untuk mencapai kemakmuran manusia.
Filsafat dan pemikiran bangsa Khildan ini, mirip dengan keyakinan dan berkembang di lingkungan berbagai suku bangsa di Indonesia. Paling tidak, seperti tercermin di banyak legenda dan mitos, yang kemudian berkembang bersama perkembangan sastra lisan.
Kesemuanya, memperkaya pemahaman kita untuk mencermati dan menyikapi dengan seksama, bagaimana kearifan dan kecerdasan lokal masyarakat kita menempatkan alam dengan segenap potensi sumberdaya-alam yang dimilikinya, dalam keseluruhan konstelasi pemikiran, budaya, dan peradaban yang terus berkembang.
Termasuk, misalnya, bagaimana semestinya memahami dan mewujudkan tanggungjawab sosial kita dalam memberi nilai tambah dan memelihara alam. Dari keseluruhan pemikiran di atas, sebenarnya kita sampai kepada pemahaman: Tuhan menciptakan alam untuk dibudidayakan sehingga bernilai tambah pada suatu kurun waktu tertentu bagi kesejahteraan manusia, yang adil, sepanjang masa itu.
Dan manusia berkewajiban memeliharanya, agar alam terus memberi manfaat bagi manusia pada kurun waktu berikutnya, dan bagi generasi berikutnya. Karena manusia, pasti tidak bisa mengembalikan alam dengan segenap potensi sumberdaya yang dipunyainya, seperti semula jadi.
Karena itu, sains dan teknologi diperlukan. Karena sains dan teknologi, merupakan perangkat peradaban manusia mewujudkan tanggungjawabnya terhadap alam dan kehidupan manusia berikutnya. Dalam konteks itulah, setiap manusia mesti menyadari, bahwa eksistensinya di atas mukabumi, bukan merupakan masalah. Melainkan subyek yang seharusnya memecahkan masalah.
Bahkan, tidak juga merupakan bagian dari misteri kehidupan masa depan, karena manusia sebagai subyek harus merumuskan sesuatu yang misteri, menjadi nyata. Apalagi, ketika dipahami, bahwa dalam keseluruhan proses interaksi dan interrelasi manusia mengelola alam dan potensi sumberdaya alam, tidak dikenal lagi ‘l’idee maîtresse’, atau gagasan sentral yang mengikat seluruh manusia. Baik karena pluralitas karakter, multikulturalitas nilai hidup, maupun karena beragamnya kepentingan.
PENGELOLA TAMBANG HARUS TAHU DIRI BAGAIMANA MEMPERLAKUKAN ALAM, BILA TAK HENDAK TERTIMPA LAKNAT | DOKUMENTASI
Juga, karena setiap manusia yang beradab, cenderung hanif kepada kebaikan dan kebajikan, dan tak bisa dipukul rata sebagai para perusak alam. Dan karenanya, tak ada satupun pihak yang bisa menyatakan dirinya sebagai penjaga alam.
Manusia, tidak sebagaimana yang dipikirkan dan diajarkan Karl Marx : semata-mata sebagai makhluk yang selalu cenderung dikuasai oleh naluri ekonomi. Sebagaimana manusia tak selalu seperti yang dipikirkan Freud yang mereduksi eksistensi manusia yang selalu menjadi obyek naluri seksual. Bahkan, eksistensi manusia, tak sebagaimana dipikirkan Nietzche, yang dalam filsafat eksistensialisme-nya, menempatkan manusia sebagai penggerak naluri menuju kekuasaan belaka.
Dalam konteks inilah masyarakat bersinergi, memadukan kecerdasan dan kearifannya, sesuai dengan perkembangan budaya dan peradabannya. Termasuk di dalamnya, penguasaan sains dan teknologi berdasarkan tahap-tahap perkembangan insaniahnya.
Dari sudut pandang inilah, dunia pertambangan dan perilaku para profesional yang terlibat di dalamnya harus dicermati. Paling tidak untuk mencoba memahami lebih seksama serangkaian pertanyaan yang selalu berhamburan datang menyergap: sungguhkah mereka lebih cenderung melakukan eksplorasi dan eksploitasi, dan kemudian mengabaikan tanggungjawab manusia mengelola alam secara cerdas dan arif bagi pemuliaan kehidupan manusia kini dan masa depan?
Seberapa jauh manusia dan masyarakat pertambangan berpegang teguh terhadap keniscayaan alamiah berbasis natural law (sunnatullah), untuk bersiteguh terhadap hubungan relasi harmonis antara manusia – Tuhan – dan alam?
Dalam pandangan saya, hubungan Tuhan, Alam, dan Manusia adalah realitas hidup dan kehidupan yang semestinya menjadi landasan fundamental untuk mewujudkan kewajiban utama pengelolaan (pembudidayaan dan pemeliharaan) alam. Dari sudut pandang rekacita (imagineering), pemikiran ini memberikan ruang yang sangat longgar untuk siapa saja, secara bebas melakukan penafsiran. |