Tak Makan Daging, Jeroan pun Jadi

| dilihat 2560

AKARPADINEWS.COM | MENTERI Pertanian Andi Amran Sulaiman agaknya sudah kehabisan cara dalam menekan harga daging yang masih tinggi. Setelah impor daging dan operasi pasar tak berhasil menekan harga daging, Amran berencana mengimpor jeroan dan daging sapi jenis secondary cut.

Hingga saat ini, harga daging memang masih kelewat tinggi, berkisar Rp120 ribu per kilogram. Para menteri terkait nyatanya gagal mewujudkan harapan Presiden Joko Widodo yang ingin harga daging berkisar Rp80 ribu. Jeroan impor diyakini dapat menekan harga daging.

Rencana impor jeroan itu, menuai kritikan. Amran dianggap menelan ludahnya sendiri. Karena, tahun lalu, dia menyebut jeroan adalah makanan anjing dan kucing. Karenanya, Amran kala itu melarang impor jeroan. Larangan itu tercantum dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 58 Tahun 2015 tentang pemasukan karkas, daging, jeroan dan atau olahannya ke Indonesia. Kala itu, Amran pun berdalih, larangan impor jeroan agar Indonesia dihargai, dihormati dan sejajar dengan bangsa lain.

Kini, Kementerian Pertanian menerbitkan Permentan Nomor 34 Tahun 2016 yang membuka kran impor jeroan. Amran mengakui pernah menyebut jika jeroan merupakan makanan anjing, tak layak dikonsumsi manusia. Tetapi, kali ini, dia berdalih, impor jeroan untuk kepentingan rakyat. "Jangankan Permentan, UU pun kami revisi kalau rakyat yang menginginkan," dalihnya.

Amran menjelaskan, hingga saat ini, harga daging masih berkisar Rp120 ribu hingga Rp140 ribu. Harga jeroan juga menyentuh Rp80 ribu-Rp90 ribu per kilogram. Harga jeroan itu, jauh lebih tinggi dibandingkan harga di luar negeri yang berkisar hanya US$1 per kilogram.

Karena khawatir konsumsi protein untuk masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah kurang, pemerintah pun memilih opsi mengimpor jeroan. "Tahu enggak, harganya dalam negeri (jeroan) ada yang Rp97 ribu, ada yang Rp60 ribu. Artinya 400-500 persen naik. Saya tanya, mau enggak rakyat dalam negeri beli mahal. Di luar hanya satu dolar (Amerika)," kata Amran.

Jeroan yang tadinya dianggap Amran sebagai makanan anjing-kucing, kini dianggap sebagai makanan layak dikonsumsi. "Memakan jeroan itu bukan yang diharamkan. Itu juga makanan manusia," kata Direktur Kesehatan Hewan Kementan I Ketut Diarmita di Jakarta, Selasa.

Ketut pun menyakinkan, jeroan juga dikonsumsi masyarakat di Italia, Spanyol, Skotlandia, Yunani, Turki. Bahkan, Korea Selatan dan Jepang menggunakan jeroan sebagai bahan makanan yang mahal. Di Inggris, jeroan dijadikan bahan campuran steak. Di Jepang, untuk campuran Yakitori. Sementara di Brasil, untuk bahan Charasco, makanan seperti sate. Sementara di Indonesia, Jeroan digunakan sebagai bahan soto, bakso, dan lainnya.

Menurut Ketut, jeroan layak dikonsumsi karena mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, B12 asam fosfat, zat besi, kalium, magnesium, fosfor, dan zeng. Namun, jeroan juga mengandung asam purin dan lemak yang tinggi.

Bila dikonsumsi berlebihan, dapat memicu penyakit jantung, radang sendi dan lain-lain. Namun, Ketut mengatakan, tidak semua jeroan seperti jantung yang mengandung kolesterol dan asam purin tinggi. Karenanya, kata dia, pemerintah tidak mengizinkan impor semua jenis jeroan. Hanya tiga jenis jeroan yang diperbolehkan masuk ke Indonesia yakni jantung, paru dan hati.

Masalah, Kementerian Pertanian tidak menyodorkan data kebutuhan jeroan dalam negeri. Apa benar kebutuhan jeroan begitu mendesak? Amran hanya menjelaskan jumlah jeroan yang diimpor, minimal 2 persen. "Kalau jeroan enggak usah bahas, kecil sekali," katanya seraya menegaskan, impor jeroan disesuaikan dengan kebutuhan. "Kalau ada yang butuh jeroan itu kita buka (impor)."

Memang, jeroan dikonsumsi sebagian masyarakat Indonesia. Namun, mayoritas masyarakat Indonesia tidak keranjingan mengonsumsi jeroan lantaran berbahaya bagi kesehatan. Wajar, jika motif impor jeroan dipertanyakan. Selain itu, dibukanya kran impor jeroan, termasuk daging sapi, sekaligus menunjukan gagalnya Kementerian Pertanian dalam meningkatkan produksi daging peternak dalam negeri.

Sejumlah kalangan mengkritik dibuka kran impor jeroan. Memang, tak sedikit masyarakat yang suka jeroan lantaran diolah sedemikian rupa. Namun, masyarakat tidak begitu keranjingan mengonsumsinya karena mengetahui dampaknya.

Beberapa literatur kesehatan menjelaskan, jeroan mengandung racun. Karenanya, jangankan manusia, sebuah penelitian menyimpulkan, anjing pun dilarang untuk mengonsumsi berlebihan jeroan, khususnya hati karena mengandung racun antibiotik tylosin, penicillin, oxytetracycline, dan kanamycin.

Mengonsumsi jeroan juga meningkatkan risiko infeksi karena mengandung parasit. Lalu, dapat menyebabkan sakit, encok, rematik, asam urat, dan sebagainya lantaran jeroan mengandung purin yang tinggi. Kandungan lemak yang kelewat tinggi di jeroan juga dapat meningkatkan kolesterol yang memicu penyakit jantung koroner, obesitas, darah tinggi, dan penyebab stroke hemoragik. Masyarakat yang punya gejala penyakit tersebut baiknya tidak usah makan jeroan, khususnya bagian otak, hati, dan usus.

Jeroan juga sulit dicerna sehingga dapat menyebabkan nyeri pada perut. Bagi ibu hamil, jeroan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin. Jeroan juga memicu alergi, tumbuhnya jerawat dan masalah kulit lainnya. Karena itu, masyarakat pun dihimbau untuk tidak terlalu berlebihan mengonsumsi jeroan. Banyak jenis makanan lainnya yang dapat mencukupi kebutuhan nutrisi, selain jeroan.

Alasan Kementerian Pertanian membuka kran impor jeroan untuk menekan harga daging sulit diterima nalar. Pasalnya, saat ini jumlah permintaan akan jeroan tidak jelas. Kementerian Pertanian tidak menyodorkan data-data pasti yang mengurai kebutuhan domestik jeroan. Karenanya, tidak ada alasan pembenaran bagi pemerintah membuka kran impor jeroan.

Impor jeroan dan daging menjadi catatan buruk kinerja Menteri Pertanian. Selain gagal meredam harga daging sapi lantaran minimnya produksi daging peternak domestik, impor daging dan jeroan adalah bukti ketidakmampuan Kementerian Pertanian dalam meningkatkan produksi peternakan domestik untuk memenuhi kebutuhan daging sapi nasional per tahun yang angkanya mencapai 653 ribu ton atau setara 3.657.000 ekor sapi. Sementara angka produksi dari peternak lokal hanya 406 ribu ton atau setara dengan 2.339.000 ekor sapi. Lantaran stok selalu kurang, pemerintah pun terpaksa impor.

Anggota Komisi IV DPR Firman Soebagyo menentang, rencana Kementerian Pertanian yang ingin mengimpor daging kerbau dari India untuk menurunkan harga daging. Alasannya, masyarakat Indonesia tidak biasa makan daging kerbau.

Firman juga mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan nasib petani lokal. Realisasi impor lambat laut akan mematikan peternak lokal. Bupati Bondowoso Amin Said Husni juga menentang masuknya daging sapi dan beras impor ke daerahnya. Dia menegaskan, Bondowoso telah mencapai swasembada, mampu mencukupi kebutuhan masyarakat. "Kalau beras dan daging impor masuk ke sini tentunya akan merugikan petani, pedagang dan juga peternak sapi di Bondowoso. Saya tegaskan akan menolak impor daging maupun beras," katanya.

Kementerian Pertanian harusnya tidak melulu berorientasi impor. Kerajingan impor menunjukan buruknya kinerja Kementerian Pertanian. Selain itu, rasanya sulit merealisasikan target swasembada daging di tahun 2019.

Karenanya pemerintah perlu merealisasikan cara meningkatkan produksi daging nasional, dengan mengembangkan model peternakan yang berkelanjutan. Pemerintah juga perlu memfasilitasi peternakan rakyat, baik modal, bibit, pakan, dan memberikan pengetahuan maupun keterampilan mengenai cara-cara berternak yang modern, termasuk membuka pasar dan manajemen usaha yang baik kepada para peternak.

M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : Antara
 
Energi & Tambang
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1174
Rumput Tetangga
Selanjutnya