JAKARTA, AKARPADINEWS. Com-Ekonomi Indonesia berjalan pada pijak yang tepat. Bank Dunia menyebut, tahun 2013 merupakan tahun penyesuaian ekonomi Indonesia. Dari laporan kantor Bank Dunia di Indonesia mengemuka pertanyaan, apa faktor penggerak penyesuaian itu, dan bagaiamana kebijakan meresponnya.
Jawabannya adalah: sejak awal 2013 (meski perekonomian dunia terguncang), kinerja ekonomi Indonesia tetap kuat. Tekanan dari dalam negeripun lumayan beragam. Mulai dari tuntutan penurunan harga untuk banyak produk ekspor dan terus berkembangnya noice information di ranah politik.
Selama tahun 2013 berbagai kalangan masyarakat mengkritisi menurunnya volume ekspor pada neraca perdagangan Indonesia. Sebaliknya, impor barang konsumsi, termasuk daging sapi dan consumers good meningkat.
Di sisi lain, berkembang kekhawatiran tentang arah kebijakan perdagangan dan investasi, termasuk kekhawatiran tentang kualitas belanja pemerintah yang masih didominasi oleh belanja rutin dan bukan belanja pembangunan. Belum lagi belanja subsidi, meski akhirnya pemerintah mengambil keputusan menaikkan harga BBM, yang sempat dipoltisasi oleh kalangan politisi.
Sejumlah kalangan bisnis mengeluhkan berbagai kebijakan investasi yang dikeluarkan di era Gita Wirjawan menjabat Kepala BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), termasuk berbagai janji insentif bagi penanam modal di sektor migas. “Meski sudah dilakukan pembenahan oleh Pak Chatib Basri, yang kini menjabat menteri Keuangan, kami rasakan praktik investasi kita masih ruwet, ungkap Parma. Dia akhirnya memutuskan mengalihkan investasi tambang emasnya ke Malaysia. “Malaysia lebih simpel,” katanya.
Walaupun demikian, Bank Dunia menilai, ketahanan ekonomi Indonesia sepanjang 2013 menjadi kekuatan utama. Konsumsi swasta menyerap sekitar 55 persen total output Indonesia. Kenyataan ini melebihi konsumsi yang sama di negara lain yang lebih tergantung pada ekspor. Tapi, belanja produksi untuk mesin dan peralatan, masih melambat, tertinggal dari negara lain. Pertumbuhan harga juga melambat secara keseluruhan, menandai melemahnya permintaan.
Meskipun begitu, Indonesia relatif lebih siap merespon perubahan, ketika spekulas atas kebijakan tapering Federal Reserve AS, mereda. Di sisi lain, fluktuasi ketahanan rupiah di pasar valuta asing, oleh Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo justru dipandang sebagai dinamika memasuki fase konvergen.
Bank Dunia masih memandang, dalam konteks pengetatan likuiditas global, pembiayaan eksternal di Indonesia masih relatif tinggi. Hal itu disebabkan oleh biaya pembayaran utang eksternal yang cukup besar (walaupun masih di bawah 30 persen dari PDB). Akibatnya permintaan terhadap mata yang asing juga masih besar. Pada Agustus 2013 pembayaran utang Indonesia mencapai USD257 miliar.
Selain itu, arus besar defisit neraca berkisar pada USD8,4 miliar pada kuartal ketiga, sehingga meningkatkan keperlua pembiayaan saat kondisi keuangan eksternal sedang harus dikendalikan lebih ketat. Apalagi harga komoditas terus melemah. Rupiah pun sempat terdepresiasi 17 persen terhadap Dolar Amerika Serikat (USD) pada kuartal ketiga yang mendorong Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan menaikkan suku bunga menjadi 175 basis poin sejak Juni 2013.
Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM dan mengurangi subsidi berdampak positif bagi penyehatan ekonomi Indonesia. Pada saat bersamaan tuntutan buruh untuk mengakhiri era buruh murah sangat berpengaruh terhadap upaya menaikkan daya saing Indonesia secara lebih kompetitif di tingkat regional.
Kesemua itu membuat pertumbuhan ekonomi yang diramal mencapai 6.2 persen, faktanya, pada tahun 2013 hanya mencapai 5,6 persen. “Mungkin karena aksi pemasaran terlalu optimistis dan ramalan pengamat ekonomi. Padahal sering kelirunya,” ungkap Hermawan Kertajaya, yang menganjurkan para pemasar untuk tidak terjebak oleh analisis para pengamat ekonomi. Hal itu dikemukakannya di hadapan ribuam peserta MarkPlus Conference 2014, 12 Desember lalu.
Diperkirakan, ketika tutup tahun 2016, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan mencapai 5,6 persen. Tahun 2014 akan turun lagi menjadi 5,3 persen, mengingat akan terjadi gonjang-ganjing politik berlangsungnya Pemilihan Umum legislatif 2014 dan pemilihan Presiden – Wakil Presiden.
Bank Dunia memandang, pertumbuhan 5,3 persen masih terhormat, dan wajar dibandingan dengan laju pertumbuhan ekonomi negara-negara maju yang juga mengalami penurunan. Persoalannya tinggal, bagaimana pemerintahan SBY terus memelihara kepercayaan rakyat sampai berakhirnya pemerintahan.
Dari penelusuran Akarpadinews, sepanjang 2013 banyak kebijakan Presiden SBY yang tertunda-tunda eksekusinya di lapangan. Terutama karena sejumlah menterinya sibuk mengurusi aktivitas politik praktis, katimbang mengurusi tugas utama di kementeriannya masing-masing. Belum lagi menteri yang rada cuek dengan instruksi dan arahan Presiden.
Presiden dan Wapres berjibaku untuk mempertahankan perekonomian Indonesia agar berjalan terus di pijakan yang tepat.| Bang Sem