Bersihkan PSSI Demi Prestasi Sepakbola

| dilihat 2159

AKARPADINEWS.COM | Badai tak kunjung usai mengguncang biduk persepakbolaan Indonesia. Pangkalnya adalah perselisihan yang tak berkesudahan antara Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dengan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Akibatnya, sepakbola Indonesia minim prestasi.

Sungguh Ironi tatkala mencium aroma busuk dari praktik politisasi hingga korupsi di tubuh PSSI yang kian menyeruak ke permukaan. Karenanya, perlu pembenahan dan reformasi di tubuh PSSI jika prestasi adalah cita-cita yang ingin diwujudkan. Tidak hanya para pemain yang terkena getah kemelut di tubuh PSSI. Masyarakat sepakbola Indonesia juga turut merasakan dampaknya. Mereka sangat sakit hati dan gerah atas laku negatif oknum di PSSI selama ini. Karenanya, mereka bergerak sendiri untuk membeberkan bukti bahwa PSSI adalah lembaga “kotor” yang perlu dibersihkan.

Adalah Komunitas Suporter Antikorupsi (KORUPSSI) yang berinisiatif melaporkan PSSI ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin lalu (8/6) lalu. Mereka melaporkan dugaan penyelewenangan dana APBN 2013 oleh PSSI.

Menurut komunitas itu, PSSI menjadi biang keladi kerusakan persepakbolaan di Indonesia karena permainan kotor oknumnya, mirip seperti pola korupsi yang terjadi di induk organisasi sepak bola internasional, Federation Internationale de Football Association (FIFA).  Bahkan, cenderung lebih parah karena diduga ada tindak korupsi APBN di dalamnya. Pola korupsi di tubuh PSSI melingkupi pengaturan skor, jual beli pertandingan, judi sepak bola, pengemplangan pajak, klub tanpa Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan lain-lain.

Salah satu dari dugaan yang disebutkan KORUPSSI itu, seperti praktik jual beli pertandingan, mengingatkan kembali insiden “sepakbola gajah” pada tahun lalu. Ketika itu, pertandingan PSS Sleman melawan PSIS Semarang diwarnai aksi memalukan lewat lima gol bunuh diri yang sengaja dilakukan kedua tim.

Belakangan diketahui jika kedua klub yang berlaga di divisi utama itu sama-sama tak ingin menjadi juara Grup 1. Diduga kuat karena ingin menghindar dari Borneo FC di partai semifinal. Aksi sepakbola gajah itu rasa-rasanya tidak mungkin dilakukan spontan oleh pemain yang melakukan gol bunuh diri. Meski sampai sekarang kasus itu belum diusut tuntas, namun kecurigaan akan adanya pihak yang menyetir kedua klub tersebut telah menjadi pertanyaan besar yang belum pernah terjawab hingga kini.

Ujungnya, hukuman hanya dijatuhkan kepada pelatih, pemain, serta klub. Siapa aktor di balik skenario itu pun tak pernah terungkap. PSSI berdalih kecolongan. Namun bagaimana bisa? Mengingat, segala tetek-bengek administrasi pertandingan diatur dan dirancang oleh PSSI bersama PT Liga Indonesia sebagai operator kompetisi.

Maka, timbul sebuah anggapan bahwa segala bentuk kegiatan yang bersifat administrasif telah menjadi sumber masalah bagi PSSI. Misalnya saja akuntanbilitas PSSI yang tidak pernah dilaporkan secara transparan. Lewat laporan yang dibawa KORUPSSI ke KPK, dan berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2014, diduga PSSI telah menyelewengkan dana bantuan sosial dari APBN 2013. Dalam APBN tahun itu, bagian anggaran untuk Kemenpora sebesar Rp439.740.000 disalurkan kepada PSSI untuk pemberdayaan sosial dalam bentuk uang untuk Pemusatan Latihan Asian Youth Games Timnas U-14.

Perjanjian kerjasama antara Kemenpora dengan PSSI itu disepakati 24 Juni 2013. Pencairan dana dilakukan pada 29 Juli 2013 sebesar anggaran yang sudah disetujui, yakni Rp 439.740.000 ditransfer ke rekening Bank Mandiri. Anehnya, meski dana baru dicairkan tanggal 29 Juli, kegiatan Pemusatan Latihan Asian Youth Games Timnas U-14 sudah terlebih dahulu dilakukan di Lapangan Sepakbola Lenteng Agung, Jakarta Selatan, pada tanggal 3 Juni, dan 7-9 Juli. Serta, di Kuningan, Jawa Barat, pada 4-6 Juli 2013.

Mundur ke tahun 2010, dana APBN pada tahun itu juga menjadi lumbung korupsi PSSI. Misalnya, bantuan untuk Timnas ASEAN Football Federation sebesar Rp414.952.060 dari Kemenpora digunakan PSSI di luar perjanjian yang  telah disepakati kedua belah pihak. Akibatnya, pajak penghasilan dari program itu minus sebesar Rp167.816.654. Kemudian, Biro Hukum Kemenpora menyebut dalam sidang sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat bahwa bantuan Kemenpora untuk Kongres Luar Biasa PSSI tahun 2013 sekitar Rp3,5 miliar belum dipertanggungjawabkan oleh PSSI.

Selain itu, ketua Tim Transisi, Bibit Samad Rianto mendapatkan temuan lain dari hasil penyelidikan dana APBN 2010 yang diselewengkan PSSI. Ia menemukan kejanggalan terkait proses audit keuangan di dalamnya. Lewat hasil audit BPK tahun tahun 2011, tertulis bahwa PSSI menerima dana dari Kemenpora sebesar Rp19.477.640.123 untuk keikutsertaan Timnas Indonesia mengikuti kejuaraan sepakbola ASEAN Football Federation (AFF) dan Asian Football Confederation (AFC).

Namun, terdapat penyelewengan alokasi dana untuk pembebanan biaya kegiatan lain, yakni pembayaran gaji atau honor, serta fasilitas hidup untuk pelatih dan asisten pelatih timnas sebesar Rp212.625.200. Padahal, dana bantuan bukan untuk itu. Dalam perjanjian antara Kemenpora dengan PSSI, dana bantuan dialokasikan hanya untuk biaya operasional selama AFF berlangsung.

Kemudian, Bibit juga menemukan kejanggalan terkait laporan keuangan PSSI tahun 2014 yang ternyata belum teraudit secara resmi. Namun, laporan keuangan itu dibuat sendiri oleh PSSI secara in house per 31 Desember 2014. PSSI beralasan kala itu kongres tahunan pada awal Januari membuat pengurus tidak memungkinankan laporan tahunan dapat teraudit. Pertanyaannya, bagaimana bisa sebuah institusi mengaudit laporan keuangannya secara mandiri?

Maka, dari hasil audit BPK atas PSSI tersebut, dan temuan Tim Transisi dapat disimpulkan bahwa PSSI adalah aktor utama kehancuran masa depan sepakbola Indonesia. Besarnya bantuan dana untuk mencetak bibit-bibit potensial pemain muda itu ternyata tidak pernah diimplementasikan secara baik dan benar. Maka, tidak pernah ada pemain muda berbakat yang berhasil dicetak. Hal ini tentu mengancam masa depan sepakbola Indonesia menjadi semakin kelam.

Tapi, perlu digarisbawahi bahwa upaya untuk membuktikan borok PSSI oleh KORUPSSI itu bisa menjadi hal yang sia-sia belaka. Mengingat, sebelumnya telah ada aksi serupa para suporter atau aktivis sepakbola yang berujung pada ketidakjelasan proses hukum. Misalnya, aksi Jaringan Suporter untuk Perubahan Sepakbola Indonesia (JASPSI) dan komunitas Save Our Soccer pada tahun 2012 yang melaporkan dugaan tindak korupsi oleh oknum PSSI ke KPK.

Kemudian, beragam aksi pelaporan tindak “kotor” PSSI lainnya oleh berbagai aktivis sepakbola Indonesia juga pernah dilancarkan ke Kejaksaan Agung, Kepolisian, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, hingga Ombudsman. Namun, nihil, kasus yang dilaporkan itu tidak pernah jelas ujungnya. Alhasil, di saat-saat kondisi kritis sepakbola Indonesia seperti ini, PSSI masih saja menjadi organisasi “gelap,” arogan, dan terkesan tidak “tersentuh.”

Dengan demikian, andai saja PSSI terbukti korup, apakah persepakbolaan Indonesia dapat berprestasi kembali? Karena fokus sekarang tertuju pada ketidakjelasan nasib klub saat masa jeda kompetisi selama tiga bulan ke depan. Seperti diketahui sebelumnya bahwa upaya Kemenpora untuk membersihkan segala macam bentuk politisasi dan korupsi di tubuh PSSI justru dihadang aksi pemberhentian kompetisi liga Indonesia musim 2015-2016 oleh PSSI. Dampaknya, bukan hanya klub yang membubarkan diri, tapi nasib official klub, pelatih, hingga ratusan pemainnya terancam kehilangan mata pencaharian.

Seperti yang terjadi pada Persis Solo dan Persipura Jayapura misalnya, dua klub ini akhirnya membubarkan diri akibat dampak pemberhentian kompetisi. Manajemen tak lagi sanggup membayar biaya operasional klub dan gaji pemain karena tidak ada pemasukan uang selama kompetisi berhenti. Sponsor pun ikut merugi dan angkat koper. Pemain Sriwijaya FC, Fatur Rahman sudah mengisyaratkan gantung sepatu. Kemudian Benny Dolo, pelatih Laskar Wong Kito itu akhirnya “dirumahkan” oleh manajemen klub.

Kini, persoalan yang dihadapi sekarang bukan hanya membuktikan PSSI korup atau tidak, namun solusi taktis terkait dampak sistemik akibat pembekuan PSSI. Satu sisi, upaya pembekuan dan langkah membentuk Tim Transisi sebagai pijakan awal membersihkan dan menggantikan PSSI yang korup itu bisa jadi tepat. Namun, di sisi lain, pemerintah juga terbebani dampak negatif dari kekosongan jadwal kompetisi resmi yang baru akan dimulai September mendatang.

Sesuai hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Luar Biasa yang diinisiasi Tim Transisi pada bulan lalu, dibuatlah alternatif untuk mengisi kekosongan kompetisi. Alternatifnya, pemerintah akan menggulirkan kompetisi mini bernama Piala Kemerdakaan dan Piala Presiden pada Agustus nanti. Namun, alternatif itu justru menimbulkan keresahan-keresahan baru. Misalnya, siapa saja klub yang mau turut serta dan mendaftar kompetisi mini itu? Sedangkan banyak dari mereka masih terkendala masalah finansial di internal klub.

Selain itu, PT Liga Indonesia sebagai operator resmi langganan kompetisi liga domestik, telah berkomitmen tidak akan menggelar kompetisi di luar otoritas PSSI. Karena, pihaknya masih terkendala ketidakjelasan terkait seluruh nominal uang yang telah diinvestasikan klub peserta kompetisi terhadap PT Liga Indonesia. Pihaknya merasa perlu ada pertanggungjawaban terlebih dahulu dari PSSI terkait kejelasan uang itu. Melihat kondisi PSSI saat ini, mustahil kompetisi resmi September mendatang dapat bergulir sesuai rencana awal.

Keresahan lainnya terletak pada lemahnya faktor finansial Piala Sudirman nanti. Pasalnya, Tim Transisi yang bergerak untuk menjalankan kompetisi mini itu masih terkendala pendanaan kompetisi. Sampai saat ini, Tim Transisi belum mendapatkan operator baru dan sponsor untuk mendanai operasional kompetisi itu. Jika tidak ada ada dana, apakah Kemenpora akan memakai dana pemerintah? Mengingat, pada lawatan Menpora Imam Nahrawi ke Presiden Jokowi beberapa waktu lalu, sempat tercetus kabar terkait pemakaian dana pemerintah untuk menggelar kompetisi mini Agustus mendatang.

Namun, hal itu bisa jadi upaya yang terlalu gegabah. Mengingat, dana pemerintah itu dipastikan diambil dari APBD. Tentunya, hal ini akan sulit terwujud karena bertentangan terhadap Undang-Undang Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri). Seperti diketahui sejak 2011 klub-klub profesional resmi dilarang menggunakan dana APBD. Hal itu diatur lewat Permendagri No 1 Tahun 2011. Sejak saat itu, klub-klub yang berlaga di kompetisi profesional berjibaku mencari sponsor demi mendanai perjalanan mereka setiap musimnya.

Tapi, di luar itu, PSSI yang bermasalah harus benar-benar dibuktikan secara hukum terlebih dahulu. Dengan demikian, Tim Transisi dapat membentuk PSSI baru yang akan menggelar kompetisi resmi pada September nanti. Sementara itu, Tim Transisi juga harus mendapatkan operator selain PT Liga Indonesia yang diharapkan dapat menstimulus sponsor-sponsor baru sebagai penyokong dana. Baru akhirnya menyusun roadmap yang jelas demi menyongsong kompetisi resmi pada September mendatang secara mapan dan legal di hadapan FIFA. 

Jika skenario di atas berjalan tanpa cela, Indonesia dapat membangun kembali sejarahnya. Menghapus luka lama dan membangun kepercayaan diri baru. Serta paling penting adalah untuk sama-sama berkomitmen menjauhkan praktik politisasi hingga korupsi yang dapat merusak citra sepakbola itu sendiri. Selain itu, publik sepakbola juga harus berpikir jernih, tenang, dan rada bersabar dalam menyikapi kondisi genting seperti ini. Karena, penantian dan kesabaran akan selalu berbuah manis.

Adhimas Faisal

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 200
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 375
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 221
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Energi & Tambang