Jakarta Melayu Festival 2016 di Ancol

Eksplorasi Kreatif Seniman Melayu

| dilihat 3001

Catatan Bang Sem

PERGELARAN Jakarta Melayu Festival 2016 di Ancol Beach City – Jakarta Utara, Sabtu (20/8/16) sudah berlangsung. Sukses. Sangat terasa kemampuan prima eksplorasi kreatif musikal para musisi di bawah koordinasi M. Anwar Fauzi – yang saya sebut sebagai the next Indonesia rising composer di jagad musik Indonesia.

Lebih dari seribu orang pecinta musik Melayu datang dari berbagai daerah, dari Aceh, Bolaang Mongondow, sampai Maluku. Mereka menikmati seluruh rangkaian pergelaran yang dikemas Geisz Chalifah – produser sekaligus chief executive concert (saya tak menemukan istilah yang lebih pas) dalam format one topic show.

Sejak Nong Niken Astri – penyanyi cerdas asal Aceh – mempersembahkan lagu pembuka Hikayat Cinta Negeri Melayu yang liriknya ditulis Geisz dan aransemen musiknya digarap Anwar Fauzi, sudah mengalir jiwa musikal Melayu. Lagu pembuka dengan komposisi musikal harmoni yang padat, dengan imagery melodius, telah mengabarkan kepada khalayak penonton, potret dinamis musik melayu, yang oleh Ferry Mursidan Baldan disebut ekspresi jiwa kita. Jiwa keindonesiaan dan kebangsaan kita yang berbasis multikultural.

“Dari sudut negeri kami khabarkan / Tentang cinta yang melekat di sanubari / Dari pesisir pantai anak negeri melambai / Menari kan tarian cinta tari melayu.// Di tengah gelombang kami berkhidmat / menjaga marwah budaya merawat tradisi / mengalunkan syair lagu melayu./

Tepak rebana petikan gitar / Mengiring langkah zafin saling bertaut / Elok dimata lapang di jiwa / Memandang negeri berlimpah rahmat.// Salam kami.. salam anak negeri / salam.. salam... salam / Salam dari negeri melayu //”

Lagu pembuka itu sudah menyeret penonton, penikmat musik melayu untuk menikmati repertoar malam itu, sebagai muara yang mempertemukan etnomusikalitas Timur dan Barat. Mengembalikan musik melayu ke habitatnya sebagai ekspresi masyarakat – negeri kepulauan dengan budaya bahari-nya, dengan tetap terbuka pada kosmopolitanisme.

Sungguh suatu musik yang lahir di tengah budaya masyarakat egaliter yang terbuka terhadap perubahan nilai sesuai perkembangan zaman.

Tampak dan terasa: musik melayu yang disajikan para musisi Jakarta Melayu Festival 2016 adalah ekspresi musik kontemporer yang berakar kuat pada budaya melayu.

Terutama ketika Anwar Fauzi mempertahankan oud berpadu padan dengan biola, gitar akustik dan gitar elektrik pada string, sekaligus mengawinkan drum dengan tiong / gendang campak yang biasa disebut gendang melayu pada perkusi.

Dari elemen string dan perkusi itu, Anwar Fauzi telah memilih anasir-anasir musikal medium yang khas. Terutama karena dengan menggunakan dua rangkai (empat) synthesizer, sejumlah anasir musikal melayu yang mencermin ekspresi budaya sinkretis dapat terwakili.

Dimensi melayu dalam keseluruh pergelaran menjadi lebih berdimensi, ketika di penghujung acara, Amigos Band memasukkan terompet, marwas dan ketipung (gypsi bongos) yang pernah menjadi penanda transisi musik melayu akhir dekade 60-an dan berkembang pada dekade 70-an yang dikenal dengan Melayu Pop, ketika beatle-ism meruyak dunia dan musik melayu bermetamorfosa dengan musik combo.

Karenanya, sejak mengalun lagu Hikayat Cinta Negeri Melayu sampai Tanjung Katung di penghujung acara, pergelaran Jakarta Melayu Festival 2016 telah menghadirkan konser tentang Melayu yang tak henti bertransformasi, tanpa meninggalkan basis budaya Melayu yang tetap memijak bumi, tetap pula menunjung langit budaya aseli Indonesia (dengan segala keragamannya).

Tak hanya itu. Malam itu kita juga disajikan kreasi dan inovasi musikal yang memberi pesan mendalam (terutama bagi para intelektual, politisi dan penyelenggara negara), bahwa demokrasi (sebagai bukan satu-satunya format ideal berbangsa) adalah cara mencapai harmoni.

Panggung Jakarta Melayu Festival 2016 memberi aksentuasi menarik: setiap musisi dan penyanyi bebas berkreasi, tetapi tetap dalam frame, berpijak pada partitur komposisi musikal. Beragam instrumen musikal boleh dipilih untuk membunyikan harmoni (sound), tetapi pikiran dan jiwanya (mind and soul) tetap harus dijaga.

Geisz dan Anwar Fauzi berhasil menyusun rundown acara yang mempertimbangkan psycho-rythm penonton, musisi dan penyanyi, supaya staminanya tetap terjaga dari awal sampai penghujung acara.

Dan, sebagai suatu repertoar one topic show, pertimbangan psycho-rythm itu terjaga melalui annx master of ceremony (bukan sekadar announcer) yang membunyikan pesan dan makna di balik lagu.

Penyusunan rundown acara semacam itu, membuat seluruh rangkaian pergelaran menghadirkan momen-momen khas, sehingga tidak anti klimaks.

Dimulai sejak awal, ketika Nong Niken membuka repertoar dan Darmansyah mengkili-kili dengan Lancang Kuning yang sarat makna dan relevan dengan realitas kehidupan sosial masyarakat.

Lirik lagu ini mengesankan, jika negara (diandaikan) sebagai kapal yang berlayar, akan sering dihadapkan dengan badai. Karenanya dibutuhkan kepiawaian nahkoda dalam mengarahkan kapal agar bisa bertahan, menghadapi terjangan badai. (Baca : Musik Melayu Jangan Layu)

Darmansyah lantas berduet dengan Nong Niken, menghadirkan melayu pop Perawan dan Bujang, yang dikemas menarik secara musikal.

Kemudian Kiki Ameera naik ke panggung dengan Surga Cinta, lalu berduet Pantun Cinta dengan Tom Salmin, yang kemudian mendendangkan lagu melodius Kembali Pulang.

Para musisi kemudian sangat menggoda ketika terjadi kolaborasi musikal menghantarkan Speak Softly Love kepada penonton.

Fahad Munif yang memainkan oud dengan lincah, Tom Salmin memetik dawai gitar akustik dengan bersemangat, Hendri Lamiry menjadikan dawai biola sebagai ‘alat ucap pikiran dan jiwa,’ Butong menarikan jemarinya pada tuts accordeon, dan Anwar Fauzi mengeksplorasi synthetizer yang menjentik musisi lain.

Kolaborasi memberi daya rising moment, kala mereka lanjut mengiringi Fahad Munif dan Tom Salmin mendendangkan Jangan Bermuram Durja dan Cinta Suci dari format lirik a la rubaiyyat.

Pergelaran mengambil jeda  menghantar Iyeth Bustami dan Kiki Ameera mendendangkan Sabda Cinta, sebelum menghentak naik ketika Iyeth mendendangkan lagu populernya, Laksamana Raja di Laut.

Lantas memberi ‘nafas’ kepada pentonon dan musisi, kala MC Fryda Lucyana memanggil Geisz Chalifah, yang kemudian memanggil sejumlah figur prominen (Wakil Ketua DPR RI – Fadli Zon, Dubes Malaysia Dato’Seri Zahrain, Anies Baswedan, Bursah Zarnudi, Ferry Mursidan, Irgan Chairul Mahfidz, Faisal Motik dan lainnya) naik ke pentas untuk sama berdendang Rentak 106 : Pak Ketipak Ketipung.

Di momen ini, komentar Embi C. Noer seorang etnomusisi (di akun Face Book saya), terbukti. Embi menyatakan, “Seni budaya Melayu bukan hanya khas dalam irama musik dan lagu. Budaya Melayu juga kaya akan seni gerak yang sangat khas dan kokoh nilai ketimurannya.”

Ungkapan itu menjadi kenyataan, sampai penghujung pergelaran, tak henti penonton mengekspresikan geraknya, di situ musik yang dimainkan Anwar Fauzi dan kawan-kawan dan Amigos Band ‘berdialog’ dengan penonton dan secara spontan menghadirkan seni gerak (tari, joget, dan ronggeng) dalam beragam ekspresi. Termasuk goyangan kaki dan kepala.

Tapi, suasana menjadi reda, ketika Butong menarik perasaan untuk penonton sesaat merenung tentang realitas kehidupan sosial, karena perginya budi (akhlak) dalam kehidupan sehari-hari.

Seperti kata Fryda ketika menghantar peralihan suasana pergelaran, “Hadirin dan penonton.. Tak hanya cinta yang pergi dan lepas dari tangan. Tapi juga budi. Itulah sebabnya, kita seringkali mudah bergaduh.”

Tembang lirih bertajuk Budi yang dinyanyikan Butong, memang merasuk. Begini liriknya :

Tegaknya rumah karena sendi / Roboh sendi rumah binasa / Tegaknya bangsa karena budi / Hilanglah budi bangsa binasa// Diliput runduknya padi / Dicupak datuk temenggung / Hidup kalau tidak berbudi / Duduk tegak berdiri canggung// Turutlah tuan si ilmu padi / Makin runduk makin berisi / Senjata hidup adalah budi / Dimana singgah orang kasihi // Jangan selalu memandang mega / Lembah dan danau lihatlah juga/ Jangan bandingkan emas tembaga / Masa yang baik bersama harga // Diliput runduknya padi / Dicupak datuk temenggung / Hidup kalau tidak berbudi / Duduk tegak berdiri canggung// (Idrus Hasni)

Selepas itu pergelaran kembali naik dengan lagu-lagu ritmis yang disajikan Darmansyah (Madu Tiga), Kiki Ameera (Kuda Sumbawa), Nong Niken (Beban Asmara), Tom Salmin (Kalau Kuturutkan), dan Darmansyah (Hilang tak Berkesan).

Ketika Amigos band tampil, penonton mulai terkantuk dibelai angin pantai. Tapi segera tersentak dan kembali berjoget, kala tembang Mashabi bertajuk Rasa Cinta mereka dendangkan. Lalu terus ‘membakar’ hasrat berjoget penonton dengan berbagai tembang lain, seperti Cintaku di Kota Medan dan Anak Medan. Dengan jeda Timang-Timang dan  berkemuncak pada Tanjung Katung.

Meski di awal, pergelaran sempat terganggu oleh sound system, para musisi, penyanyi dan mc tak terusik dan terus berpegang pada prinsip the show must go on. Termasuk ketika penyanyi dan mc melontar pantun. Termasuk pantun spontan yang dilontar Nong Niken untuk ‘membanting’ nervous kala salah satu sepatu hak tingginya bermasalah, sehingga dia harus bernyanyi tanpa sepatu.

Keseluruhan rangkaian pergelaran one topic show Jakarta Melayu Festival 2016 malam itu, juga berhasil karena Anggi, stage manager dan Ucie Utama floor manager, ketat dengan time line dan rundown.  Pergelaran pun menjadi semarak karena piawainya para penari dari Konsentra Sumut dan Rogesh Dancer.

Semua telah membuktikan, Musik dan Budaya Melayu adalah kontemporer, selalu kompatibel dengan zaman. Termasuk dengan zaman yang sungsang.  Tabik... !! | 

Editor : sem haesy
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 339
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 335
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Ekonomi & Bisnis
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 276
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 139
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya