Musik Melayu Jangan Layu

| dilihat 2867

AKARPADINEWS.COM | LANGIT di kala petang di Pantai Ancol, terlihat cerah. Kawasan wisata pesisir di Jakarta Utara kala itu ramai pengunjung yang menikmati libur di akhir pekan.

Di sekitar bibir Pantai Karnaval, anak-anak, didampingi orang tuanya, bermain riang di atas hamparan pasir pantai. Beberapa pengunjung ada pula yang menumpangi kapal. Mencoba merasakan pengalaman baru. Menjelajahi perairan Teluk Jakarta. Ada juga yang memilih berjalan-jalan, menikmati suasana di sekitar pantai, sambil berfoto ria bersama. Kecerian nampak di wajah mereka.

Tak jauh dari mal Beach Ancol City, terlihat beberapa orang sibuk mempersiapkan peralatan musik dan memastikan fungsi sound system. Sesekali mereka memainkan alat musik dan bernyanyi di atas panggung besar yang dilengkapi dua layar besar. Ada pula yang sibuk menata kursi dan meja. Terdapat pula stand yang menjual makanan dan minuman, pakaian, dan sebagainya di sana.

Sebuah perhelatan rupanya akan digelar malam itu: Jakarta Melayu Festival (JMF). Perhelatan kali kelima yang dihelat Gita Cinta Production itu mengangkat tema Daulat Negeri. Sebelumnya, JMF digelar di Crown Hotel, Bidakara Ball Room, Teater Jakarta (Taman Ismail Marzuki), dan Hotel Sultan Jakarta. Perhelatan di Ancol Beach City kali ini digelar gratis untuk khalayak.

Sama halnya dengan penyelenggaraan sebelumnya, JMF kali ini digelar untuk memperingati hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-71. JMF sengaja diselenggarakan bertepatan dengan perayaan kemerdekaan karena merupakan bagian dari gerakan budaya. Kegiatan itu diselenggarakan sebagai ikhtiar mempertahankan eksistensi musik Melayu sebagai karya kreatif budaya yang menjadi identitas bangsa.

Sejalan dengan karakteristik musik Melayu yang liriknya kaya akan pesan-pesan moral, JMF kali ini mengangkat tema Daulat Negeri untuk mengajak khalayak intropeksi, sekaligus mempertanyakan lagi soal kedaulatan bangsa ini. Apakah penghuni bangsa ini berdaulat di negerinya sendiri? Bangsa ini memang sudah merdeka. Namun, belum merdeka dari ketergantungan terhadap bangsa lain.

Dan, di tengah gempuran budaya modern yang artifisial, upaya mempertahankan budaya bangsa memang harus terus dilakukan. Penetrasi budaya luar yang begitu massif, bahkan cenderung destruktif dan menggerus budaya bangsa, perlu dihadang dengan membangkitkan lagi kecintaan terhadap seni budaya tradisi yang kaya nilai, estetis dan etis.

Salah satunya adalah musik Melayu yang sudah sekian lama menjadi bagian dalam tradisi di negara ini. Keberadaannya kian meredup oleh serbuan musik-musik barat yang kerap diklaim sebagai bagian dari budaya populer di era modern.

*****

Petang berubah malam. Sinar rembulan terpancar di langit yang terlihat sedikit bintang. Lampu-lampu yang berjejer di sekitar bibir pantai, dan lighting panggung yang rada menyilaukan, memperindah malam itu. Pengunjung pun kian ramai. Mereka tentu tak ingin melewatkan lantunan musik Melayu yang disuguhkan beberapa penyanyi Melayu Indonesia.

Nampak, beberapa tokoh hadir. Di antaranya mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, mantan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ferry Mursidan Baldan, Wakil Ketua DPR Fadli Zon, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiqurrahman Ruki, anggota DPR Kurtubi dan Irgan Chairil Mahfuz, politisi Bursah Zarnubi, Ketua Yayasan Setiakawan Rakyat Malaysia-Indonesia (YIRMI) Indonesia Saiful Hadi Chalid, dan beberapa tokoh maupun seniman lainnya. Hadir pula Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, Dato’ Seri Zahrain Mohammed Hashim.

Dan, tepat pukul 19.00 WIB, perhelatan digelar. "Hikayat Negeri Melayu boleh dihafal. Penanda jiwa selalu terbuka. Silakan dilantun siang dan malam. Selamat datang di Jakarta Melayu Festival. Daulat Negeri Indonesia Merdeka. Sekarang terimalah salam," kata pembawa acara, Fryda Lucyana, menyapa hadirin.

Fryda lalu mengajak hadirin untuk menghabisi malam itu dengan menikmati rangkaian dendang musik dan lagu Melayu. "Musik dan lagu Melayu, akar budaya asli nusantara. Jiwa Indonesia. Jiwa bangsa. Jiwa yang menyatukan kita," imbuhnya.

Lalu, Fryda melontarkan pantun yang nadanya serupa dengan lirik lagu Lancang Kuning. "Ibarat sebuah perahu/Bangsa kita sedang berlayar malam menuju samudera luas lepas yang dalam/Kita berharap/ Nahkoda yang memimpin seluruh anak buah kapal selalu paham."

Dan, Lancang Kuning pun didendangkan Darmansyah. Beberapa penari menari, mengikuti irama rentak gembira lagu itu. Penonton pun tak mau kalah. Mereka bergoyang. Lagu yang liriknya singkat dan mudah diingat itu sangat populer di telinga masyarakat Melayu, khususnya di Propinsi Riau. Sampai-sampai, propinsi kaya sumber daya mineral itu dijuluki Bumi Lancang Kuning.

Lagu itu, konon mengisahkan kapal Lancang Kuning yang tenggelam di Tanjung Jati, perairan Bengkalis. Liriknya mengandung makna mendalam. Pesan yang disampaikan ditujukan kepada nakhoda agar selalu paham dengan tugasnya. Jika nahkoda tak paham, maka alamat kapal akan tenggelam.

Lirik lagu itu mengesankan jika negara sebagai kapal yang berlayar, akan sering dihadapi badai. Karenanya, dibutuhkan kepiawaian nakhoda dalam mengarahkan kapal agar bisa bertahan, menghadapi terjangan badai.

Dengan kata lain, seorang pemimpin di negara ini harus memahami situasi, kondisi, dan kebutuhan rakyatnya. Jika pemimpinnya tak paham, maka bisa saja negeri ini bakal seperti kapal Lancang Kuning yang tenggelam di laut yang dalam. "Kalau Nakhoda/Kalau nahkoda kuranglah faham/Hai kuranglah faham/Alamatlah kapal/Alamatlah kapal akan tenggelam/..."

Usai bernyanyi, Darmansyah memperkenalkan Nong Niken Astri untuk berduet bersamanya, menyanyikan lagu berjudul Perawan dan Bujang. Sebelum bernyanyi, Nong Niken berpantun. "Di dalam hutan terdapat musang/Untuk apa mencari biri-biri/Sudah lama adik melajang/Kenapa lama dibiarkan seorang diri," kata Nong Niken.

Darmansyah yang juga Ketua Lembaga Pengembangan Budaya Melayu (LPBM), tak mau kalah berpantun. Dia membalasnya. "Kalau tidak karena bulan/Tidaklah bintang terbitnya pagi/Kalau tidak karena Nong Niken/Tidaklah pula abang sampai di sini," katanya.

Lalu, keduanya bernyanyi. Lagu Perawan dan Bujang menceritakan kegalauan seorang gadis perawan yang sudah lama menanti pinangan lelaki pujaannya. Dia tak ingin disebut perawan yang tak laku. Si perjaka pun demikian. Tak mau juga disebut bujang tak laku.

Giliran Tom Salim berduet dengan Kiki Ameera, menyanyikan Pantun Cinta. Sebelum berdendang, Kiki pun melontarkan pantun. Nadanya mengingatkan akan pentingnya menjaga kelestarian budaya Melayu. "Bunga mawar bunga melati/Mekar di taman indah berseri/Inilah persembahan kami anak negeri/Semoga tak hilang Melayu di bumi."

Lalu, tabuhan gendang pun bertalu, diiringi petikan gitar dan gesekan biola yang merdu. Keduanya bernyanyi. Penonton dibuat larut. Dalam kesempatan itu, Tom Salim juga mendendangkan lagu Kembali Pulang.

Animo penonton makin meningkat tatkala Iyeth Bustami hadir di atas panggung. Iyeth yang dikenal sudah lama sebagai penyanyi pop Melayu itu menyempatkan bercakap-cakap dengan penonton.

"Assalamulaikum. Ini nampak-nampaknya bukan orang Melayu saja yang hadir di sini. Betul idak?" sapa Iyeth dengan logat Melayu-nya yang khas.

Iyeth pun mengapresiasi penyelenggaraan JMF. Menurut dia, JMF merupakan ikhtiar untuk mempertahankan musik Melayu. "Musik melayu adalah milik kita bersama. Menurut dia, musik melayu bisa berkolaborasi dengan jenis musik apapun. Kesenian tradisional Indonesia sangat membanggakan. Mudah-mudahan dengan acara malam ini, kita semua bisa merapatkan silaturahim," katanya. Iyeth dan Kiki lalu berduet, menyanyi lagu Sabda Cinta.

Selanjutnya, Iyeth kembali berinteraksi dengan para pengunjung. Dia terkesima lantaran yang bertandang di JMF berasal dari beberapa daerah seperti Medan (Sumatera Utara), Makassar (Sulawesi Selatan), Aceh, dan daerah lainnya. Bahkan, kata dia, ada seorang perempuan dari Malaysia yang menyempatkan datang ke Jakarta untuk menyimak JMF.

Tak lama kemudian, perempuan kelahiran Bengkalis, 24 Agustus 1974 itu mendendangkan lagu Laksmana Raja di Laut yang dipopulerkannya tahun 2004 saat meluncurkan album Zapin-Dut. Para penonton pun pada berjoget.

Suasana makin "panas" tatkala Geiz Khalifah, Ketua Panitia Penyelenggara JMF mengajak seluruh pihak yang terlibat dalam mempersiapkan JMF untuk naik ke atas panggung. Geiz memperkenalkan satu persatu para pihak yang turut serta mendukung JMF.

Mereka lalu berjoget dan bernyanyi bersama tatkala Iyeth bersama penyanyi lainnya menyanyikan lagu Rentak 106. Dato’ Seri Zahrain Mohammed Hashim, Anies Baswedan, Ferry Mursidan Baldan, Fadli Zon, Syamsuddin Haesy, Bursah Zarnubi, dan lainnya, diajak Geiz untuk bernyanyi dan berjoget di atas panggung. Mereka begitu bergembira. Bergoyang sambil bernyanyi. Di bawah panggung, penonton lainnya juga tak kalah bergoyang. Suasana malam itu benar-benar meriah.

Dalam sambutannya, Geiz mengapresiasi para pihak yang terlibat dalam JMF. "Anda semua yang hadir di sini adalah orang-orang yang berjasa bagi berjayanya budaya Melayu di republik ini," ucapnya.

Setelah mendengarkan lagu dengan rentak gembira, giliran Butong melantunlah lagu Budi dan Nong Niken yang mendendangkan Beban Asmara. Selanjutnya, Darmansyah mendendangkan Madu Tiga, Kiki Ameera menyanyikan Dosa dan Siksa, dan Tom Salmin dengan Layu Sebelum Berkembang. Lagu-lagu lain yang juga didendangkan antara lain Suamiku, Kuda Sumbawa, Zafin Melayu, Kalau Ku Turutkan, dan Hilang Tak Berkesan.

Fryda lalu mencoba berinteraksi dengan penonton. Dia ingin tahu pendapat penonton terkait penyelenggaraan JMF. "Luar biasa...! Saya berharap (musik Melayu) lebih disenangi anak muda. Jadi, musik melayu lebih kontemporer sehingga anak muda suka," kata Hanifah Husein, isteri Ferry Mursidan Baldan yang mengaku suka musik Melayu. Doli, seorang penonton mengaku baru pertama kali menyaksikan JMF. "Setelah melihat, pasti akan menonton lagi," katanya.

Penonton perempuan asal Makassar mengaku menyukai irama musik Melayu sejak kecil. "Dan, sampai sekarang, dengan update, musik Melayu kontemporer, semakin asyik musik Melayu ini," ujarnya. Ada juga yang menganggap musik melayu membikin rindu. "Penuh makna dan arti liriknya," kata penonton itu.

Malam kian larut. Dan, giliran Amigos Band yang menghibur penonton. Band itu mengawali lagunya berjudul Tanjung Katung. Amigos juga menyanyikan Jangan Ditanya, dengan ritme yang rada cepat, membuat penonton turut berjoget.

Amigos juga menyanyikan lagu Renungkanlah karya M Mashabi dan Timang-timang Anakku Sayang karya Said Effendi.

Dalam kesempatan itu, Amigos berharap, remaja muda Indonesia mengembangkan musik Melayu. "Anak-anak muda kita lebih suka musik R&B. Kita harapkan dengan berkembangnya musik Melayu sebagai kebanggaan anak Indonesia. Lagu Melayu harus menjadi tuan rumah di negerinya sendiri," ucap seorang personil Amigos.

******

Lagu dan musik Melayu patut dipertahankan. Dibutuhkan dukungan semua pihak untuk menjaga eksistensi seni budaya tradisi itu. Lagu dan musik Melayu tak hanya menghibur dengan ritme melodi yang harmonis, rapi, dan tenang. Namun, liriknya juga sarat dengan makna, mengandung pesan-pesan moral.

Tak salah bila Anies Baswedan menilai, musik Melayu bisa merasuk ke dalam alam bawah sadar bagi yang mendengar dan menghayatinya.

Ferry Mursidan Baldan yang juga pecinta musik Melayu menyebut, musik Melayu merupakan identitas asli bangsa Indonesia. Dengan menyanyikan lagu Melayu, dia menilai, menunjukkan rasa cinta untuk negerinya.

Dengan karakteristik khasnya, Fadli Zon menyayangkan jika lagu dan musik Melayu tidak lagi menjadi tuan di negeri sendiri. Banyak anak-anak Indonesia yang tak tahu musik Melayu. Padahal, seperti kata Ferry, menurut Fadli Zon, musik Melayu merupakan bagian dari identitas bangsa sehingga keberadaannya di tanah air harus terus didukung. (Baca: Musik Melayu Identitas Bangsa).

Rentak musik melayu pun sangat menghibur. Mengutip pendapat Fadlin (1998), ada tiga jenis rentak musik Melayu. Pertama, rentak senandung, dengan metrik 4/4, di mana dalam satu siklus terdapat delapan ketukan. Iramanya lambat dan lagu berlirik sedih. Contoh lagu adalah Kuala Deli, Laila Manja.

Kedua, rentak mak inang, dengan metrik 2/4. Temponya sedang, lagunya bertemakan kasih sayang dan persahabatan. Contoh, lagu Mak Inang Pulau Kampa, Mak Inang Stanggi, Pautan Hati.

Ketiga, rentak lagu dua, dengan metrik 6/8, sifatnya riang dan gembira, menggiring pendengarnya untuk joget. Temponya agak cepat. Misalnya, lagu Tanjung Katung, Hitam Manis, Selayang Pandang, dan sebagainya.

Perjalanan musik Melayu memiliki sejarah yang cukup panjang di negara ini. Dipekirakan, musik itu masuk ke Nusantara sejak tahun 635 - 1600, seiring penyebaran Islam dari Arab, Gujarat, dan Persia. Ada yang menyebut, musik itu berakar dari Qasidah dengan syair Gurindam yang isinya pujian kepada Allah SWT.

Dalam perkembangan selanjutnya, musik Melayu diiringi tarian. Dihelat di acara-acara adat, persembahan kepada tamu kehormatan, dan sebagainya. Selanjutnya, sekitar tahun 1870-1888, musik Melayu mengalami perkembangan pesat. Alat musiknya gambus, rebana, serunai, rebab, dan sebagainya.

Memasuki era 1950-an, musik Melayu makin mendapat sambutan luas khalayak karena menjadi hiburan dan diiringi tarian khas Masyarakat Melayu di pesisir timur Sumatera dan Semenanjung Malaysia. Lagu Melayu juga berkembang di Singapura dan Brunei Darussalam yang merupakan negara dengan rumpun Melayu.

Dan, sejak masuknya alat-alat musik modern, arasemen musik Melayu kian maju, menggunakan gitar listrik, keyboard, dan alat musik lainnya. Namun, tetap dengan karakteristik musik Melayu, dengan tabuhan rebana, petikan gambus, gesekan biola, picitan akordion, gong, dan tiupan serunai.

Di era tahun 1980-1990-an, musik Melayu masih bertahan dengan munculnya sejumlah penyanyi dan grup musik Melayu. Kala itu, musik Melayu menghadapi tekanan musik barat beraliran pop dan rock. Guna mempertahankan eksistensinya, musik Melayu pun berkolaborasi dengan sebutan Music Rock Melayu yang sempat menghentak tahun 1997-2001, meski sebagian menyebutnya musik kampungan, cengeng, ketinggalan jaman, dan sebagainya.

Soal tudingan itu, Iyeth mengingatkan, musik dan seni Melayu tidak kuno. "Dulu dianggap kuno. Tetapi, sekarang, tak boleh cakap gitu (menilai seni Melayu kuno) karena seni Melayu sudah berkembang, dengan berbagai karya. Seniman Melayu melakukan kolaborasi sehingga musik Melayu menjadi beranekargam," katanya disambut tepuk tangan penonton. Ya, musik Melayu jangan layu. Musik Melayu harus terus melaju.

M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 522
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1613
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1394
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 737
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 895
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 846
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya