Cerpen Agustian
Aku yang pernah tinggal di alam rahim ibu, hidup berkecukupan tanpa kekurangan nutrisi dan kaya protein. Aku adalah pemenang dari ratusan juta sel sperma yang terus melesat pada dinding ovum.
Aku di sana berkat ayah yang berhasil melakukan koitus dengan ibu dengan rasa cinta yang sedang disimbolisasikan. Aku yang mewarisi karakter penyumbang sperma dan ovum dengan 23 kromosom dari satu sel yang terus hidup dalam bilangan 46 kromosom.
Aku yang terus hidup dan tumbuh berkat darah yang dialirkan lewat plasenta milik ibu. Aku bahagia dan nyaman di sana.
Tetapi kebahagiaan ku terusik. Sayup-sayup aku mendengar doa dari ibu di luar kelaziman.
“ Gusti Pangeran
Hamba haturkan doa dengan perasaan dan kesungguhan untuk
masa depan anak hamba
Engkau Maha Pencipta
Lahirkan anak hamba ke dunia ini tanpa memilki kedua belah tangan
Lahirkan ia tanpa kemampuan berjalan
Engkau Yang Maha Tahu
Janganlah Engkau berikan penglihatan
Janganlah Engkau berikan pendengaran kepada anak yang hamba kandung ini
Engkau Penguasa Alam Semesta
Bisukan Mulutnya
Perdayakan alat kemaluannya
Kabulkanlah doa hamba mu ini
Demi keselamatan anak hamba ”
Begitulah ibu berdoa siang dan malam sepanjang aku tinggal dalam rahimnya, ketika hari perpindahan alam tiba. Ternyata aku terlahir sempurna.
Punya dua bola mata yang satu bola matanya mengandung kurang lebih 125 juta sel yang berbentuk mirip baksil dan sekitar 6 juta sel berbentuk konikal.
Punya indera pendengar dengan kemampuan tidak melebihi batas frekeunsi 20.000 per 1/60 detik. Punya kemampuan motorik dan otak yang ku gunakan untuk berpikir. Dan aku berkelamin laki-laki. Doa ibu ternyata bualan saja.
Saat pertamakali aku keluar dari rahim ibu, aku menangis sekencang-kencangnya berharap ibu segera memeluk dan menyegerakan memberi puting susunya, ibu hanya diam saja aku menduga ibu kecewa karena aku terlahir sempurna. Aku pun tak mau menyerah begitu saja, kugunakan menangis sekeras-kerasnya dan berlama-lama sebagai senjata untuk memperdaya ibu. Akhirnya luluh juga, ibu menyegerakan menyusui dan untuk pertamakali dalam sejarah aku memulai kehidupan di atas muka bumi.
Melihat aku terlahir sempurna dengan jenis kelamin laki-laki lengkap dengan kemaluan dan testis, ibu menangis sejadi-jadinya.
Air matanya terus jatuh tanpa putus melewati muka dan jatuh menetes mengenai kedua telapak kakinya. Aku terus didekapnya, aku hangat dalam tubuhnya, aku yang terus tumbuh dengan air mata ibu yang terus jatuh mengenai kedua belah tapak kakinya.
Menangis tanpa suara dan kata-kata.
Ketika masa kanak-kanak tiba. Aku mempertunjukan kemampuan psikomotorik di hadapan ibu. Bukan kelucuan yang ia rasakan lagi-lagi ibu menangis. Semakin aku berkelakuan petakilan semakin banyak air mata yang tumpah.
Ibu selalu menangis dan menangis entah alasan apa yang membuat ibu selalu menangis.
Seiring meningkatnya hormon testosteron. Aku mulai tumbuh dewasa, kuberanikan diri untuk bertanya kepada ibu kenapa ia selalu menangis. Kenapa ibu tidak bangga terhadap aku yang cerdas lagi tampan.
Ibu selalu diam seribu bahasa. Ibu tak pernah mau untuk mengungkapkan misteri airmatanya. Semakin dicecar dengan pertanyaan? ibu pasti menangis.
Ibu menemui takdirnya saat aku sudah merasakan tumbuh menjadi manusia dewasa. Aku ditinggalkan dengan nasehat air mata tanpa kata-kata. Aku dibesarkan dengan air mata tanpa penjelasan dan alasan-alasan. Ibu pergi dengan doa-doa yang tidak dikabulkan Gusti Pangeran.
Usia ku terus berjalan dan memasuki masa penghentian. Di depan pusara ibu kini aku menangis sejadi-jadinya. Air mata dengan kata-kata. Lama aku menyadari akhirnya terungkap juga.
Aku yang memiliki kedua belah tangan telah bertindak mempergunakan untuk memperdaya kaum rendahan. Menandatangani surat-surat keputusan yang menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan. Mereka tergusur dari tanah-tanah yang mereka miliki secara turun-temurun.
Begitu pun kedua kaki ku, berjalan atas nama kekuasaan dan kekuatan. Aku akan menyepak siapa saja yang berani melawan!, menyingkirkan siapa saja sampai mereka duduk bersimpuh memohon ampun sambil mencengkeram atas kedua kaki yang kokoh ini.
Mulutku liar memaki, menghina dan mencerca siapa saja yang aku anggap makhluk Tuhan yang paling sial, ku rendahkan derajatnya, ku permalukan harga dirinya.
Pendengaran, penglihatan dan kemaluan ku … ? Aku tak sanggup menguraikannya di sini.
Aku yang sudah menjadi penindas.
Aku yang pandai melakukan korupsi uang Negara.
Aku yang mencuri tiap butir nasi pada piring-piring kemiskinan.
Aku yang mengabaikan rasa kemanusiaan.
Aku yang selalu menebar berita fitnah.
Aku yang selalu pura-pura berpihak kepada kaum miskin.
Aku yang selalu kasar terhadap perempuan.
Benar kata Ibu ku,
Mestinya aku lahir tanpa kedua belah tangan
Tanpa kemampuan berjalan
Tanpa mulut
Tanpa mata
Tanpa telinga
Dan tanpa kemaluan.
Kini giliran aku yang menangis
Air matanya jatuh tapi tak mengenai kedua belah kakinya. |