Jakarta Akan Tenggelam Tahun 2030?

Membaca Sinyal Presiden Joe Biden tentang Jakarta

| dilihat 666

bang sèm

Tetiba saja, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden memberi sinyal, berisi pesan peringatan, Jakarta, terancam tenggelam dalam satu dekade ke depan.

Sinyal itu dia kemukakan, kala berbicara tentang perubahan iklim dalam pidato sambutan di kantor Direktur Intelijen Nasional AS pada 27 Juli 2021, lalu di Washington DC.

Titik berat pidato Biden adalah ihwal perubahan iklim yang menjadi ancaman terbesar bagi AS dan berbagai negara di dunia. Biden mengemukakan, beberapa waktu setelah dilantik sebagai Wakil Presiden beberapa tahun lalu, peringatan awal yang diberikan Kementeri Pertahanan, adalah soal ini.

Wakil Presiden AS Algore, sebelum Biden menjabat Wakil Presiden, begitu pensiun memusatkan perhatian pada perubahan iklim.

Pada Juli 2012, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon mengumumkan 27 anggota Panel Tingkat Tinggi untuk memberi nasihat tentang kerangka pembangunan global setelah 2015, untuk fase akhir Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs), yang dilanjutkan dengan Sustainable Development Goals (SDGs).

Panel Tingkat Tinggi tersebut diketuai bersama oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari Indonesia, Presiden Ellen Johnson Sirleaf dari Liberia, dan Perdana Menteri David Cameron dari Inggris, dan itu termasuk para pemimpin dari masyarakat sipil, sektor swasta dan pemerintah.

Pada Sidang Umum PBB 2012, panel tersebut mengumumkan seruan ihwal tantangan pembangunan baru, dengan mengambil manfaat pengalaman negara negara di dunia dalam mengimplementasikan MDGs, baik dalam hal hasil yang dicapai dan berbagai langkah perbaikan.

Tahun berikutnya, panel tersebut -- setelah menyampaikan rekomendasi kepada Sekjend PBB, 30 Mei 2013 -- pada Sidang Umum PBB 2013, kembali mengemukakan berbagai hal, termasuk dampak perubahan iklim. Termasuk perumusan SDGs yang mengemuka dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi Rio+20 di Rio Janeiro, Brazil.

Tahun 2007, James Martin dari Oxford University pendiri the 21st Century Institute and the Institute for Science and Civilization, menulis dan menerbitkan buku bertajuk The 17 Great Challenges of the Twenty - First Century.

Dalam buku ini, Martin mengemukakan 17 tantangan Abad ke 21, yang dimulai dari upaya simultan dan paralel di seluruh dunia untuk melakukan perubahan kemampuan manusia mengelola Bumi dengan baik, sesuai dengan perkembangan instrumen mikro yang memasok data komplet ke jaringan komputer. Sekaligus mendorong proses pembelajaran tentang planet. Orientasinya: membantu seluruh warga global, belajar untuk hidup dengan dana perwalian alam. Iklim planet akan berubah dan manusia harus belajar untuk hidup dengan perubahan.

Martin juga mengisyaratkan tantangan tersebut dengan tantangan lain terkait dengan tantangan membalik kemiskinan, singularitas, pengendalian penduduk, pengembangan gaya hidup ramah bumi berkelanjutan (efektivitas dan efisiensi mengelola sumberdaya alam), sehingga tidak membebani lingkungan. Presiden SBY, 10 Juni 2010 merespon hal ini dengn gagasan tentang green economy.

Gagasan itu relevan dengan tantangan lain yang disebut Martin, yakni melindungi biosfer, menaklukkan pandemi (Indonesia berhasil berjuang, menahan kasus flu burung tidak dinyatakan sebagai pandemi global oleh badan kesehatan dunia WHO).

Indonesia sebagai negara kepulauan dengan pengembangan kota dan populasi sangat cepat, bersama negara-negara lain yang rawan gempa, rawan tsunami, dan hidup bertumpu di garis pesisir dengan segla implikasinya, memang diprediksi akan mengalami persoalan besar yang serius di tahun 2030. Salah satu di antaranya adalah permukaan laut naik dua setengah kaki lagi. Penyair Taufik Ismail, lewat salah satu puisinya, juga secara eksplisit mengemukakan prediksi, "masa depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam.."

Sebagian wilayah pesisir Jakarta, Cirebon, Semarang, Surabaya di Jawa diprediksi akan sama tenggelam. Biden juga menyebutkan prediksi lama, bahwa “Jika, pada kenyataannya, permukaan laut naik dua setengah kaki lagi, jutaan orang akan melakukan migrasi, dan memperebutkan tanah yang subur."

Ini juga sudah diprediksi oleh Stephen Oppenheimer dan Arisio Santoz, ketika bicara tentang Atlantis yang disebut Plato, dan diyakini lokasinya adalah paparan Sunda (meliputi Sumatera dan Jawa). Kawasan pesisir Jawa, bahkan Indonesia pada umumnya, memang merupakan kawasan tanah kontras, karena dikepung oleh dua ancaman sekaligus, yakni naiknya permukaan laut dan menurunnya daya dukung alam di kawasan dataran tinggi akibat deforestasi - eksploitasi hutan dan eksploitasi tambang -  bad mining practices.

Prediksi yang mengemuka dalam pandangan Biden, lagu lama yang dinyanyikan ulang, bagaimanapun juga mesti direspon baik. Antara lain dengan membenahi tata ruang wilayah Jakarta sebagai bagian tak terpisahkan dengan tata ruang Jawa.

Jakarta akan tetap dihuni oleh sekitar 10 juta orang pada malam hari dan sekitar 13 juta pada siang hari dengan berbagai kompleksitas masalahnya. Melihat kondisi di pesisir utara - dengan rob dan intrusi air laut yang tak mudah dikendalikan - komitmen kuat pembangunan Jakarta yang nampak sejak empat tahun terakhir ini, perlu dipertahankan di masa depan, minimal sampai tahun 2050.

Tak hanya karena perpindahan ibukota negara ke Kalimantan Timur dalam banyak hal tak akan berpengaruh banyak. Jakarta akan terus menjadi sentra pembangunan ekonomi dan industri keuangan, yang dengan konsep pembangunan kawasan (bersama Provinsi Jawa Barat dan Banten) mesti diimbangi dengan penguatan wilayah buffer zone. Antara lain dengan pengendalian alih fungsi lahan, antara lain pembangunan kota mandiri di wilayah Jawa Barat dan Banten, yang mesti konsisten mempertahankan peruntukan lahan (budi daya dan konservasi).

Dalam konteks itu, semua kalangan, termasuk para petinggi di pemerintah pusat, mesti satu visi dalam melakukan reposisi Jakarta dan pulau Jawa dan Sumatera, karena koneksi via pembangunan infrastruktur -- jalur lintas Jawa dan jalur lintas Sumatera -- akan terus memfasilitasi migrasi penduduk. Apalagi, ketika prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab belum mewujud. Termasuk perkembangan pembangunan berbagai kota metropolitan baru.

Menyelamatkan Jakarta, tak cukup hanya dengan pendekatan teknis dan teknik, tetapi juga memerlukan pendekatan strategis kebudayaan dan kemanusiaan - meliputi seluruh aspek kehidupan: politik, sosial, ekonomi, ekologi, ekosistem, gaya hidup, norma, nilai, pendidikan, kesehatan, dan spiritual. Kesemuanya mesti tercermin dalam rencana tata ruang dan regulasi yang tepat.

Belajar dari berbagai negara maju seluruh dinamika pembangunan kota mesti terintegrasi dan bermuara pada prinsip dasar hidup berkemakmuran dan berkeadilan. Dalam konteks ini, berbagai regulasi dalam bentuk peraturan daerah, juga harus dibuat spesifik dengan sanksi pidana. Termasuk, misalnya, peraturan daerah tentang prosedur kesehatan, layanan sosial, bahkan (seperti di Jepang) tentang keselamatan anak di rumah, sekolah dan di antara rumah dan sekolah.  Tak terkecuali order dan regulasi terkait dengan code of conduct sosial ekonomi.

Di sisi lain, dari perspektif politik, ucapan Biden tentang Jakarta, mesti dibaca dengan jeli, terkait dengan perubahan geo politik dan geo ekonomi masa depan, yang bergerak dari orientasi Amerika - Eropa ke Asia Pasifik.

Ada sesuatu yang tersirat antara ucapan Biden dengan rencana agenda kunjungan Wakil Presiden AS, Kamala Harris ke Vietnam dan Singapura, tanpa mampir ke Jakarta - sebagai ibukota ASEAN. Adakah Biden dan Kamala lebih melihat Vietnam dan Singapura sebagai basis penting di ASEAN dalam konteks percaturan Laut China Selatan, karena sikap Presiden Filipina Duterte yang lebih tegas menghadapi AS dan China?

Atau Biden dan Kamala memandang Jakarta dan Kuala Lumpur masih berkutat dengan kegamangan mengatasi pandemi Covid-19 yang akan berdampak politik -- tak hanya kesehatan dan ekonomi. Meski, pemerintahan Biden - Kamala, secara spesifik -- seperti mitranya, Kerajaan Saudi Arabia - memberikan bantuan khusus pengadaan vaksin dalam memerangi Covid-19.

Pemerintah Provinsi Jakarta tak perlu bersikap reaktif merespon pernyataan sinyal Biden yang bersifat ilustratif, tetapi perlu bersikap responsif dengan menguatkan kolaborasi besar berbagai kalangan yang mempunyai rasa tanggungjawab sama dalam proses pembangunan Jakarta.  Sebaliknya, pemerintah RI perlu sangat jeli membaca isyarat di sebalik pernyataan itu. Di sini, sikap outward looking amat sangat diperlukan. |

Editor : eCatri | Sumber : berbagai sumber
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 240
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 464
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 456
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 427
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1186
Rumput Tetangga
Selanjutnya