Pagi Lara di Haurpugur

| dilihat 431

Nota Bang Sém

Pagi baru beranjak, sekira pukul 06.00 wib, Jum'at (05/01/23). Dua rangkaian kereta (Turangga dan Commuter Line Bandung) bertumbur 'adi banteng' di jalur tunggal antara Stasiun Haurpugur dan Stasiun Cicalengka, Kabupaten Bandung.

Pagi lara pun menjalar di Haurpugur. Belakangan diketahui, 4 (empat) awak kereta wafat, beberapa penumpang lain, luka - luka.

Takdir memang tak bisa diduga. Namun musababnya, tak semata hanya karena nasib dan takdir itu sendiri. Banyak faktor lain yang menjadi pemicu musababnya. Mulai dari faktor manusia dan sistem.

Di jalur itu, sebetulnya sedang dilaksanakan proyek pembangunan rel kereta dua jalur. Semula proyek Kementerian Perhubungan ini dirancang sudah kelar pada tahun 2023, namun sampai kecelakaan terjadi proyek pembangunan rel ganda itu belum rampung.

Pembangunan rel jalur ganda itu, dirancang tak hanya untuk memangkas waktu tempuh yang terkait dengan upaya peningkatan layanan kepada pengguna jasa transportasi kereta api.

Jauh dari itu, pembangunan jalur ganda itu, semestinya juga untuk kepentingan keselamatan perjalanan kereta api.

Maklum, jalur kereta ini memang termasuk jalur padat, karena merupakan jalur ulang alik kereta yang menghubungkan stasiun Bandung dengan berbagai stasiun di wilayah Priangan Timur (khasnya Garut, Tasik, dan Banjar), melainkan jauh ke berbagai stasiun ke arah Timur di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Jalur ini kian padat, karena juga melayani commuter line Bandung Raya.

Jalur Healing

Jalur ini merupakan jalur utama yang banyak diminati oleh pengguna jasa transportasi kereta api. Saya termasuk yang seringkali menggunakan jasa transportasi kereta api via jalur ini. Baik dari Bandung ke kota-kota di Jawa Barat (Garut, Tasikmalaya, Banjatr), Jawa Tengah (Kroya, Purwokerto, Kutoarjo, Surakarta), Yogyakarta, dan Jawa Timur (Madiun, Surabaya).

Jalur kereta api yang melintasi Stasiun Cicalengka - Stasiun Harupugur ini merupakan jalur yang kerap saya pilih tidak sekadar untuk menikmati perjalanan, melainkan juga untuk healing dalam proses pemulihan kesehatan belakangan hari.

Ketika Bandung menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda, proses pembangunan jalur kereta api sudah berlangsung sejak tahun penghujung abad ke 19, selepas pembangunan jaluir kereta Cianjur - Bandung (17 Mei 1884). Jalur ini melengkapi jalur kereta api yang sudah dibangun sebelumnya, jalur Bogor - Cianjur via Sukabumi. Jalur yang menghubungkan Bandung dengan Yogyakarta dan Surabaya.

Pengembangan jalur kereta yang menghubungkan Bandung dengan kota-kota di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Surabaya berlangsung pada mas berikutnya sekitar awal abad dua puluh sampai paruh dekade ketiga.

Bagi saya, di Jawa, jalur kereta ini merupakan jalur kereta yang membawa penumpang melintasi berbagai wilayah budaya yang kaya: Priangan, Banyumasan, Ngayogyakarta Hadiningrat, Mataraman, dan Majapahitan.

Interaksi budaya yang kaya kerap berlangsung di dalam gerbong, termasuk gerbong makan. Dalam perjalanan Bandung - Yogyakarta - Surabaya, misalnya kerap saya berjumpa dengan berbagai penumpang lain dengan latar budaya yang beragam tersebut.

Penanda Mematut Diri

Ketika melakukan perjalanan dari arah Timur, jalur Haurpugur - Cicalengka merupakan jalur penanda penumpang akan segera tiba di kota Bandung. Sejak dari stasiun Garut melintasi Kadungora, kereta bergerak perlahan dan amat berhati-hati.

Suasana batin mulai berubah secara perlahan, merayap melintasi zona rural, sub urban, dan urban. Belakangan, sejak dibangun Masjid Wisata Al Jabbar, lalu melintasi Cisaranten - Guruminda, sebelum melintasi Kiara Condong, penumpang sudah mematut-matut diri untuk segera turun di Stasiun Bandung.

Sebaliknya ketika bergerak dari Bandung ke arah Timur, di lintasan jalur Kiaracondong - Haurpugur perubahan suasana batin (apalagi ketika berangkat pada pagi hari) terasa sekali peralihan suasana urban - sub urban dan rural.

Pagi lara yang terpercik di jalur Cicalengka - Haurpugur sontak menyengat batin, itu segera menyentak. Meski hidup adalah serba kemungkinan tempat takdir memantik pristiwa dalam sejarah kehidupan manusia, saya memandang, peristiwa dua kereta bertumbur satu dengan lainnya (bak adu banteng) adalah isyarat Tuhan yang kudu menyadarkan.

Tak hanya menyadarkan manajemen Kereta Api Indonesia (KAI) untuk membenahi sistem, khasnya standard operating procedures (SOP) pengaturan perjalanan kereta. Juga mesti menyadarkan berbagai pihak terkait untuk membenahi infrastruktur (mulai dari pembangunan rel ganda - termasuk pintu perlintasan kereta api, sistem komunikasi, perangkat sensorik, dan peningkatan kompetensi manusia pengelola jasa kereta api).

Pagi lara di Haurpugur, mestinya juga memantik kesadaran tanggung jawab profesional instansi dan institusi yang harus bertanggung jawab di sektor transportasi kereta api. Peristiwa kecelakaan semacam ini, mestinya direspon optimum supaya tidak terjadi lagi. Khasnya kini, ketika era digital sedang kita telusuri alurnya menuju Society 5.0 |

Editor : delanova
 
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 236
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 333
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 530
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1051
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 278
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 746
Momentum Cinta
Selanjutnya