Obituari

Wawan Wanisar Tak Sekadar Aktor

| dilihat 1094

catatan Bang Sém

SAYA sedang menyelesaikan penulisan buku yang tertunda lama, IImagineering, ketika putera sulung saya menampakkan wajahnya dari balik pintu ruang kerja, Senin (29/3/21).

"Ma'af.. Yah, ganggu sebentar," ujarnya. "Om Wawan Wanisar wafat," cetusnya. Inna lillahi wa inna ilaihi roji'uun. Saya tertegun sesaat. Lama saya tak jumpa dengannya. Beberapa hari lalu, dalam suatu virtual conference proses kreatif rekonstruksi visual sebuah peristiwa bersejarah di Toli-Toli, saya teringat almarhum.

Bagi saya, Wawan Wanisar, tak hanya sebuah nama. Anak Betawi Kemayoran yang pernah berkecimpung di dunia ekspedisi laut, ini terjun ke dunia film, ketika dramawan dan sutradara legendaris Arifin C. Noer (Teater Kecil), memberinya peran sebagai Kapten Pierre Tendean dalam film Pengkhianatan G 30 S/PKI, produksi PPFN (Perusahaan Produksi Film Negara).

Tiga tahun kemudian, Wawan berperan dalam film Matahari-Matahari garapan Arifin C. Noer juga. Dari pemeran tentara ajudan panglima angkatan bersenjata di film pertama, dia memainkan lakon sebagai petani yang juga penjudi. Untuk memerankan tokohnya, Wawan tak segan-segan mencoba menjadi ‘kuli galian’ tanah beberapa lama.

Lima tahun kemudian, Wawan mendapat peran menantang dan monumental untuk tokoh Hanafi dalam sinetron terbaik TVRI garapan almarhum Irwinsyah, Sayekti dan Hanafi.

Di sinetron ini, Wawan bermain sangat baik bersama Neno Warisman dan Renny Djajusman. Wawan juga melakukan observasi interns, karena Sayekti dan Hanafi bercerita tentang realitas hidup kaum marginal, kuli panggul pasar dan tukang becak.

Aktor yang hidupnya mengalir saja di antara konsistensi dan persistensi, itu tumbuh menjadi satu dari sedikit aktor senior yang masih “diburu” para desainer kreatif dan produser untuk memberi ruh atas sinetron atau filem seri televisi. Baik karena perangai Wawan yang mau berbagi pengalaman dan pengetahuan kepada para aktor muda. Juga karena dia menjalani profesi keaktorannya secara total.

Wawan sebagai aktor selalu siap mengeksplorasi watak tokoh yang mesti dilakoninya, dan siap eksploitasi kemampuan aktingnya, dan ta'at pada arahan sutradara, meski usianya sebaya dengan anaknya, dan belum punya jam terbang. Setiap sutradara yang getun mengeksplorasi kemampuan akting Wawan akan mendapat karakter tokoh yang dikehendaki dari sosok aktor yang peduli pada kehidupan sosial kemasyarakatan sehari-hari.

Di Naga Bonar, Wawan berperan sebagai Letnan Lukman. Di film ini, ia beradu padan akting dengan Deddy Mizwar (Nagabonar), Afrizal Anoda (Bujang), serta bersama-sama menganggit Nurul Arifin (Kirana).  Wawan memang tak sekadar aktor.

Kepiawaiannya berakting terasah melalui berbagai film yang menantang, seperti Misteri Kebun Tebu (1997). Sebelumnya dia memainkan peran yang beragam di  Ayahku, Suamiku Sayang, Opera Tiga Jaman, Melompati Angin, Enam Langkah dan lainnya.

Perannya sebagai Kyai Abdullah dalam sinetron seri bertajuk Pesantren dan Rock’n Roll dalam beberapa sisi, mengekspresikan karakter dan watak dirinya sehari-hari.

Kala sedang syuting sinetron inilah, saya mengunjunginya ke lokasi syuting di antara Cipanas dan Cugenang.  Kami berbincang tentang film seri televisi yang berwajah lain. 

Kami juga berdiskusi tentang mosaik karakternya yang punya warna khas di Cintailah Daku (SCTV,1998),  Cinta Dara Kembar (RCTI,1998) Menjemput Impian (SCTV,2001), PadaMu Aku Bersimpuh (RCTI,2001), Melati Putih (Trans TV,2001/2002), Alung (RCTI,2002), Mahligai Diatas Pasir (Indosiar,2002), Kemilau Kemuning Senja (Indosiar,2003), Disini Cinta Pertama Kali Bersemi (Indosiar,2004) dan lainnya.

Suatu malam, sambil ngopi di sela break syuting, Wawan Wanisar mengusik saya kembali menerjuni dunia audio visual.

“Di dunia satu ini kan kita gak pernah tua, Syam,”ujar Wawan.

Beberapa kali kami berkomunikasi, dan lagi, Wawan mengusik saya untuk memproduksi. “Terserah mau mulai dari mana, bikin sinetron kek, FTV kek, yang penting balik lagi ke dunia ini,” ujarnya.

Selama beberapa waktu saya berusaha mencari dan menemukan jalan. Terutama, karena Wawan Wanisar mengingatkan perlunya memperkaya produksi drama televisi yang memungkinkan anak-anak muda kreatif saling berinteraksi dalam mengelola kreativitas. Wawan juga mengingatkan, perlunya mewadahi pikiran-pikiran saya. Menghadirkan kearifan dan kecerdasan lokal dalam sinetron.

“Pengetahuan ente jangan dikasih buat anak-anak di negara lain melulu,” ujarnya.

Kalimat itu sangat memengaruhi saya, justru ketika saya sedang harus mengeja kembali dunia industri film televisi di tanah air, yang jauh melenceng dari fatsoen saat saya berada di dunia pertelevisian. 

Memonitor dan hasil analisis konten sebagian besar sinetron Indonesia, saya memang agak ragu. Sejumlah mantan staf saya yang jadi produser bercerita tentang jalan industrial yang keliru, karena memaksakan pemirsa menjadi konsumen pasif.

Seorang teman dekat mengatakan, “Mau nyari apa lagi? Ngapain harus terjun ke dunia sinetron yang memerlukan perhitungan ekstra, karena berbeda dengan jiran, di sini sinetron atau sejenisnya belum menjanjikan harapan. Beda dengan masa ketika kau dulu di televisi.”

Saya hampir terpengaruh berbagai opini itu, sampai Wawan dalam suatu kesempatan komunikasi meyakinkan saya, “Bikin aja dulu. Nanti akan ada jalannya sendiri. Allah gak tidur, Syam..” 

Saya pun mengalir saja mengisi masa ‘pensiun.’ Suatu hari saya ketemu teman lain dan berdiskusi tentang dunia yang cukup lama saya tinggalkan ini. Berkat dukungan Wawan dan seorang teman, lahir gagasan memproduksi film seri televisi 30 episode bertajuk Rindu Satpam Kita (RSK), yang kemudian ditayangkan TVRI.

Saya coba berikan kesempatan sejumlah anak muda untuk mengeksekusi produksi dan kreatifnya. Antara lain, Tito Kurnianto. Kebetulan saya punya manajer, yang juga orang teater: Lisa Syahtiani, yang sempat meraih predikat Artis Terbaik Festival Film Independen. Krisnie Dieta pemeran utama RSK, sempat terseleksi sebagai nominee sebagai Aktris Terpuji dalam Festival Film Bandung 2016.

Saya minta Wawan meluangkan waktu memerankan tokoh Jendral Gendon, Ida Zein sebagai Bu Gendon, Iwan Gardiawan sebagai Jendral Baron, juga Andi Bersama, untuk bergabung dalam produksi ini, sambil 'mengasuh' mitra aktingnya.

Selain Asrul Dahlan dan Erma Zarina, sejumlah anak muda bermain di film serial televisi ini: Krisnie Dita, Wina Marrino, Karina Meitha, Christy Carol, Hendrayan, Lisa Syahtiani dan lainnya.

RSK berjalan sebagai film televisi dengan tawaran akal sehat dan nurani  kebangsaan dan kemanusiaan, menyajikan hiburan yang berdimensi edukasi. Beberapa rencana produksi sempat saya siapkan, terhenti sementara, karena berbagai hal, termasuk kendala pandemi, yang saya manfaatkan untuk menyiapkan beberapa cerita.

Dalam RSK yang skenarionya saya tulis sendiri, beberapa scene, Wawan sebagai Jenderal Gendon bercerita tentang kesendirian, dan bagaimana menabung kebajikan sebagai bekal ke haribaan Ilahi.

Wawan dan sejumlah sahabat menghadapi kendala juga. Allahyarham sakit, lalu wafat pada Senin (29 Maret 2021) dan dimakamkan Selasa, 30 Maret 2021, tepat di Hari Film Nasional. Saya berdo'a dari jauh, terhalang oleh kondisi. Semoga salah seorang sahabat terbaik ini husnul khatimah.. dan Allah mengganti sosok lain yang sebaik allahyarham di jagad perfilman kita.  

Selamat berpulang ke haribaan Sang Maha Sutradara, sobat ! |

Editor : eCatri
 
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 426
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 997
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 233
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 709
Momentum Cinta
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1157
Rumput Tetangga
Selanjutnya