Dhamir Kerakyatan

| dilihat 644

bang sém

KEMULIAAN seorang pemimpin adalah ketika ia secara konsekuen dan konsisten memelihara kesepakatannya dengan rakyat. Siapapun mereka, dan apapun derajat kepemimpinannya.

Rasulullah Muhammad SAW memberikan pendidikan amat berharga kepada kerabat dan sahabatnya, tentang bagaimana menjaga dan memelihara komitmen dengan rakyat.

Lantas, keluarga dan para sahabatnya, mendidik umat untuk melakukan hal yang sama.

Suatu ketika, kala menjabat khalifah, Ali bin Abi Thalib mendapatkan laporan ihwal perilaku beberapa orang pejabatnya yang mulai congkak, pongah, jumawa, dan mengingkari kesepakatan mereka dengan ummatnya.

Merujuk kepada people conscience, dhamir kerakyatan, prinsip dasar kepemimpina yang dinafasi oleh kemauan dan kemampuan mendengar suara hati nurani rakyat, yang diajarkan Rasulullah, Sayyidina Ali bin Abi Thalib memberi peringatan kepada pejabatnya, itu.

Mengacu kepada Al Qur’an, dan sunnah Rasulullah Muhammad SAW, amiril mukminin berseru kepada para petinggi di bawahnya, bahwa rakyat di pedesaan dan pedusunan, serta para petani di seluruh provinsi dalam wilayah otoritas mereka, telah melaporkan perilaku kepemimpinan mereka yang arogan dan bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan.

“Mereka mengeluh, mengapa Anda menganggap remeh, rendah, dan hina mereka. Menempatkan mereka sebagai rakyat yang tak ada artinya..... Padahal, mereka tidak boleh diperlakukan secara tidak adil, kejam, dan kasar. Mereka adalah rakyat kita. Mereka telah membuat kesepakatan tertentu dengan kita. Dan kewajiban kitalah menghormati kesepakatan, itu untuk melayani mereka,” seru Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Lalu, Sayyidina Ali memerintahkan seluruh pejabatnya, memperlakukan rakyat dengan baik, “Hormati mereka, tanpa harus kehilangan fungsi dan reputasi kalian. Lindungilah posisi dan kerhormatan otoritas yang diamanahkan kepada Anda, dengan melayani rakyat secara adil dan manusiawi.”

Dalam memelihara, menjaga, dan melaksanakan kesepakatan dengan rakyat, Sayyidina Ali menegaskan, “Dalam menjalankan roda pemerintahan, lakukan dengan tangan yang lembut namun kuat. Perlakukan mereka dengan perlakuan yang layak mereka terima sebagai individu atau sosial, secara arif dan tegas.”

Sayyidina Ali yang memelopori proses demokrasi kerakyatan berdasarkan hikmah dan kebijasanaan melalui jalan musyawarah, membentuk majelis syura sebagai institusi strategis dalam seluruh proses pengambilan keputusan.

Hal itu sesuai dengan orientasi penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat populis modes dan bukan beurocratique modes.

Dengan cara itu, Karamahu wajhah Ali bin Abi Thalib menerapkan hakekat demokrasi sebagai cara untuk mencapai harmoni kemanusiaan dan kemasyarakatan. Termasuk, bagaimana memperlakukan secara adil kaum lain (Yahudi dan Nasrani) sesuai dengan panduan Al Qur'an dan Sunnah (segala hal yang dikatakan dan dilakukan) Rasulullah Muhammad SAW.

Orientasi populis modes yang dihidupkan oleh dhamir kerakyatan, bukan populisme yang sering diutarakan sejumlah orang di belakang hari. Bukan proletarianisma yang dianut negara-negara komunis yang tak pernah sukses mengeja sosialisme demokrat. Melainkan orientasi kerakyatan proporsional yang ditopang keadilan dalam menempatkan posisi kaum khãshshash (elit) dan 'ãmma (rakyat kebanyakan) sesuai prinsip ekuitas dan ekualitas.

Dengan begitu para pejabat tinggi negara tetap berada di wilayah elit (kaum yang dengan keilmuan dan posisinya mencerahkan rakyat) dan tidak terjebak menjadi petinggi dan penguasa, yang melupakan esensi fungsi asasi yang melekat pada dirinya sebagai pelayan rakyat.

Kaum yang memandang, ihwal paling berharga dalam mengemban amanah sebagai pemimpin (khasnya dalam pemerintahan) adalah yang paling adil dalam kebenaran. Karena posisi pemimpin dibandingkan rakyat, seperti dalam falsafah Minang, hanya mereka yang didahulukan selangkah, ditinggikan seranting. Mereka yang (dalam terminologi kearifan Sunda) menjalankan praktik kepemimpinannya dengan cara teuwas peureup leumeus usap, tegas dalam menegakkan prinsip hukum dan keadilan, sekaligus mengayomi dan mengasihi rakyatnya.

Dalam konteks ini, fungsi edukasi selalu melekat pada budaya politik Islam, sekaligus melekat pada diri pemimpin. Mereka selalu melihat dan merasakan secara langsung kondisi kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya. Dan tak pernah mengemukakan beragam alasan (reason), ketika menyaksikan rakyat sedang lara. Mereka selalu punya dan mampu memberikan cara (way) kepada rakyat untuk bersama-sama pemerintah atau negara mengatasi masalah.

Dalam menjalankan dhamir kerakyatan, itu basis religiusitas, kemanusiaan, unitas - diversitas, dan keadilan sosial menyeluruh mengalir dalam satu aliran gerak pikir, sikap dan aksi.

Prinsip dhamir kerakyatan ini yang disebut sebagai pola kepemimpinan sosialisme demokratis yang mampu melindungi dirinya dari kemungkinan terkontaminasi oleh oligarki. Karenanya tegas dalam menolak transaksi politik. Dengan ketegasan itu, mereka paham dan mampu secara utuh menjalankan amanah dan tidak menghianatinya. Menjalankan otoritas dan kewenangannya tanpa congkak, pongah atau jumawa.

Dalam model sosial Sasan sebagai salah satu formula kepemimpinan egaliter, seperti dinukil Louise Marlow (Cambridge University, 1999) - dhamir kerakyatan adalah cara menempatkan pejabat atau pemimpin pemerintahan melakukan deliveri aspirasi rakyat menjadi inspirasi istana. Karena disitulah hidup isyara' (Ritter, Der Islam, 1917) tentang kaum elit dan rakyat kebanyakan.

Ritter menyatakan, "Tak seorang pun rakyat lebih membebani penguasa dalam kemudahan dan tidak mendukungnya dalam kemalangan, dan tak ada yang mempunyai keluhan lebih besar terhadap keadilan  dan lebih mendesak dalam meminta sesuatu, kurang berterima kasih menerima sesuatu, dan lebih lemah dalam menghadapi perubahan, dibandingkan kaum elit... Karenanya arahkan perhatian kalian (pemimpin) kepada rakyat." Bukan memelihara pengghibah, penebar buhtan dan fithan (subjective influencer dan buzzer).

Hanya petinggi yang lemah dan ragu dengan legitimitas kepemimpinannya yang senang memelihara pendengung klaim dan pembenaran. Karena mereka jauh dari kefasihan memahami rakyatnya. |

Editor : delanova
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 339
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 334
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 432
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1503
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1322
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya