Iasha Unos
Bulan Ramadan dan Bubur Lambuk laksana dua hal yang tak terpisahkan bagi umat Islam di Malaysia, tak peduli status sosialnya.
Belakangan hari, ketika Sultan Pahang Al Sultan Abdullah mengemban amanah sebagai Yang di-Pertuan Agong Malaysia ke 16 (2019-2024, Bubur Lambuk kian bermakna.
Pasalnya, Raja Permaisuri Agong - Tengku Ampuan Pahang, Tunku Azizah Aminah Maimunah Iskandariah yang gemar dan lihai memasak, sering memasak bubur khas di lingkungan rakyat kebanyakan untuk santapan khalayak ramai dan di istana untuk kaki tangan (pegawai) Istana Negara.
Tak hanya Tunku Azizah yang pandai memasak Bubur Lambuk, kakak kandungnya, Sultan Johor Sultan Ibrahim Iskandar yang kini memangku amanah sebagai Yang di-Pertuan Agong Malaysia ke 17 (2024-2029) pun piawai memasak bubur khas tersebut, selain memasak aneka resep masakan lain.
Bubur Lambuk berbahan beras, daging bercampur lemak, kaldu sapi, bumbu sup (antara lain lada hitam, jahe), bawang merah dan bawang putih cincang, kentang, wortel, daun bawang dan saledri, serta bawang goreng tak hanya santapan ramadan.
Medium Budaya
Kini, Bubur Lambuk menjadi medium budaya berdaya yang mengkaribkan hubungan rakyat dengan pemimpinnya (sultan atau permaisurinya), mengejawantahkan sesanti 'raja dan rakyat berpisah tiada.'
Karenanya, santapan tradisional ramadan yang selama berbilang tahun menjadi hidangan utama berbuka puasa umat Islam di surau dan masjid, itu lantas dinikmati oleh semua kalangan berbilang kaum dan latar belakang agama.
Berbagai organisasi sosial dan partai politik, khasnya bagian perempuan (wanita) menggelar aktivitas sosial berbagi Bubur Lambuk di setiap desa dan lingkungan kota di berbagai wilayah parlemen.
Secara sosiologis, aktivitas memasak Bubur Lambuk juga menjadi penanda aksi gotong royong umat, menghimpun yang terserak, mendekatkan yang jauh, mengkaribkan yang dekat, saling bergotong royong memasak, menyantap dan menikmatinya.
Cara memasak Bubur Lambuk dalam jumlah besar di bulan ramadan, mengingatkan aksi memasak pada masa panen raya di berbagai belahan wilayah Asia, khasnya Asia Tenggara.
Dari Terengganu ke Melaka
Berbagai referensi literatif ihwal Bubur Lambuk mengisahkan asal muasal bubur ini menjadi sedemikian populer. Sebagai santapan rakyat, Bubur Lambuk sudah dikenal sebelum abad ke 14, ketika jazirah semenanjung Melayu masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme.
Kendati demikian beberapa referensi literatif menunjukkan, Bubur Lambuk mentradisi sejak tahun 1303 bersamaan dengan masuknya ajaran Islam seperti ditandai Batu Bersurat, Negeri Terengganu.
Sumber literasi lain menyebutkan, Bubur Lambuk secara khas menjadi santapan tradisional khalayak yang bermarwah, kala dihidangkan sebagai santapan istana oleh Prameswara atau Sultan Iskandar Shah, pendiri dan penguasa Kesultanan Melayu Melaka. Khasnya ketika menjamu selera Kaisar Kamboja, Hun Jen di abad ke 15.
Sultan Melaka secara khas meminta kesultanan Terengganu menyiapkan resep masakan istimewa untuk menjamu selera tetamunya, itu. Maka dibawalah resep masak Bubur Lambuk yang hasil olahannya menyenangkan hati Kaisar Hun Jen. Selain karena lezat, bergizi, memenuhi selera, juga mudah ditelan. Sesuai dengan kebiasan kaisar menyantap masakan.
Pasa masa-masa sesudahnya, Bubur Lambuk pun kian populer sebagai produk kuliner islami yang mempunyai makna khas dalam kegiatan syiar agama Islam. Terutama kala pendakwah dari Terengganu membuka surau, masjid, atau majelis taklimat baru.
Bubur Lambuk Masjid Jamek Kampong Bahru
Pada dekade 1950-an Bubur Lambuk populer sebagai santapan khas buka puasa bulan Ramadan di Masjid Jamek Kampong Bahru - Kuala Lumpur.
Bubur Lambuk diolah dari resep yang dicatat oleh Said Benk, juru masak Mamak dari Pakistan tahun 1949. Said Benk sengaja menuliskan resep masak Bubur Lambuk yang diketahuinya dari aktivitas dapur peristiwa kenduri dan taklimat para da'i dari Terengganu.
Sebelum meninggal, resep khas Bubur Lambuk Masjid Jamek - Kampong Bahru - Kuala Lumpur, itu diteruskan kepada Mohmmad Tahir Jaafar, imam Masjid Jamek saat itu.
Said juga memberi amanah kepada imam Tahir, untuk menjadikan Bubur Lambuk sebagai santapan pokok dan utama berbuka puasa selama bulan Ramadan, dan harus dibagikan kepada masyarakat.
Sejak masa itu, resep peninggalan Said Benk dijaga dan dilestarikan dengan aman oleh para jamaah masjid. Salah satu kekhasan Bubur Lambuk Masjid Jamek Kampong Bahru - Kuala Lumpur adalah kerupuk lekor dan budu yang renyah.
Resep Tengku Azizah
Kini resep Bubur Lambuk di Malaysia menjadi lebih kaya, karena mengalami inovasi dari para juru masak yang kreatif dan disesuaikan dengan kekhasan masing-masing negeri.
Di Terengganu, Bubur Lambuk dicampur dengan daun kesom (kemangi), pucuk ubi, daun kadok atau karuk -- tanaman herbal yang berhasiat untuk mencegah batuk dan malaria --, serta dimakan dengan keropok lekor dan budu (saus ikan) yang renyah.
Di Johor, Bubur Lambuk bercitarasa briyani yang lebih kuat, karena ditambahkan pasta briyani dan pasta kurma. Di Masjid India Kuala Lumpur, Bubur Lambuk diolah dengan citarasa India.
Di tangan kreatif Tengku Ampuan Pahang Azizah, Bubur Lambuk kaya rasa, menggunakan kayu manis, bunga lawang, bunga cengkih, pelaga (kapulaga), udang kering, daun pandan, biji halba, jintan, halia, dan santan pekat.
Tengku Ampuan Pahang Azizah selama bulan Ramadan, tanpa kecuali tahun ini mempunyai program khas memasak Bubur Lambuk. Antara lain di lingkungan pesantren - ma'ahad dan rumah tahfiz dan beberapa penjara di Negeri Pahang.
Bersama para pangeran dan puteri, termasuk Tengku Mahkota Pahang Hasanal, Tengku Panglima Perang Ahmad Ismail, Puteri Ilisha Ameera, dan kerabat kesultanan lainnya, Tengku Ampuan Pahang giat merawat Bubur Lambuk dari ramadan ke ramadan. |