Membangkitkan Keadaban Bangsa yang Runtuh

| dilihat 363

Refleksi Bang Sèm

FENOMENA sosial yang berkembang belakangan hari, sungguh membuat risau. Lembaga-lembaga tinggi negara tercoreng noktah hitam. Sejumlah petinggi negeri yang pernah berkuasa di masa lalu, menjilat ludahnya sendiri.

Belum lagi kerisauan berakhir, lantaran Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman diberhentikan dari jabatannya karena melakukan pelanggaran etik berat dalam memutus perkara substansial, ihwal syarat pencalonan Presiden - Wakil Presiden, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri dinyatakan sebagai tersangka kasus korupsi (gratifikasi dan pemerasan atas Syahrul Yasin Limpo ketika menjabat Menteri Pertanian yang disangkakan sebagai koruptor).

Sebelumnya, salah seorang pimpinan (Anggota) Badan Pemeriksa Keuangan, Achsanul Qosasih ditangkap dan dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus korupsi BTS (Base Transceiver Station) yang melibatkan Johnny G. Plate ketika menjabat Menteri Komunikasi dan Teknologi Informasi. Tak ketinggalan, Wakil Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej dinyatakan sebagai tersangka korupsi oleh KPK.

Di layar televisi serta seluruh saluran dan platform media, kita saksikan tak hanya sinetron yang tak sepenuhnya merupakan realitas kedua kehidupan nyata. Tapi juga tayangan 'sentak sengor' alias 'adu omong' berbagai ihwal isu mutakhir, yang  memberi keruwetan dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Semua itu menggambarkan, bangsa ini sedang mengalami runtuhnya keadaban.

Selain didominasi oleh cara pandang negatif dan kehilangan cinta, juga mengekspresikan buruknya pola interaksi dan komunikasi publik. Sejumlah kalangan yang terlanjur mempunyai posisi sebagai petinggi – khasnya di lapangan sosial, politik, budaya - bahkan nampak senang mencerca dan bergaduh. Saling ngotot satu dengan lain, tejebak dikotomi pemikiran ‘kalah dan menang.’

Kita bertanya: Sungguhkah bangsa bernama Indonesia, ini masih bangsa yang sejak 18 Agustus 1945 menerapkan konstitusi berbasis Pancasila sebagai dasar dan tujuan eksistensinya. Bangsa yang hidup di atas nilai-nilai religius, berkemanusiaan, berkomitmen pada persatuan, berdemokrasi melalui jalan musyawarah untuk menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.

Jangan-jangan mereka yang tampak di layar televisi dan berkespresi melalui media massa hanya sekadar orang-orang Indonesia, berayah dan ibu Indonesia, berbahasa Indonesia, warga negara Indonesia, namun sesungguhnya bukan orang Indonesia?

Hilang Muruah

Ke-Indonesia-an kita seolah-olah tak lagi berdimensi, terbawa arus kuat berbagai kebiasaan dan pemikiran entah dari mana, untuk dan atas nama demokrasi. Untuk dan atas nama reformasi yang dijalani dengan logika deformatif.

Sebagian petinggi negeri terkesan tak pernah menyadari, bahwa semua fenomena yang berkembang telah membuat kita -- sebagai bangsa -- kehilangan muruah, dignity? Lalu kita menganggap realitas semacam itu, biasa-biasa saja. sebagaimana kita bangga dengan pencapaian ekonomi yang akhirnya juga dilecehkan oleh bangsa sendiri? 

Apa yang salah dengan bangsa ini, kini? Sungguhkah angsa ini sedang mengalami disorientasi kebudayaan. Artinya kita sedang hidup di tengah realitas ironi yang laten. Kita melecehkan dimensi kebudayaan kita untuk menjadikan bangsa ini mandiri, berdaya saing tinggi, dan berperadaban unggul, justru kala kita secara mujdah menyerimpung kebudayaan kita sendiri.

Nilai-nilai berdimensi-kedalaman insani, yang pernah dipolemikkan dengan sangat berbudaya oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Sutomo, Purbatjaraka, Adinegoro, Tjindarbumi, dan Ki Hajar Dewantara, seolah pupus begitu saja. Hilang tak berbekas.

Nilai-nilai ideologi yang terakumulasi dengan indah dalam harmoni pluralitas yang dibangun HOS Tjokroaminoto, KH Achmad Dahlan, KH Hasyim Asy'ari, Haji Agus Salim, Abdul Muis, Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir, M. Natsir, I.J. Kasimo, TAM Simatupang, Mohammad Hoesni Thamtin, AR Fachruddin, Wahid Hasyim, Soemitro Djojohadikusumo, dan lainnya, seolah menguap begitu saja menjadi masa lalu yang tak berbekas.

Nilai-nilai baru yang ramai-ramai ditegakkan adalah nilai paling rendah dalam praktik demokrasi, yakni politik transaksional dan pragmatisme tanpa ideologi, kecerdasan, kesantunan, dan kejujuran. Nilai-nilai masyarakat purba ketika akal budi diabaikan dan orientasi hidup masa depan dihadang oleh kepentingan-kepentingan sesat sesaat.

Kita, seolah sedang menyaksikan para petinggi bertarung tanpa jelas siapa lawan dan siapa kawan, karena tiba-tiba yangt mereka anggap kawan kemudian jadi lawan, dan sebaliknya, selain ada juga pengkhianat yang menikam kawan seiring.


Ambivalensia

Disorientasi budaya  secara serta merta menanggalkan begitu saja kesadaran dan penyadaran tentang hakekat akal budi. Merusak formasi nalar, naluri, rasa, dan indria yang menyeret situasi ke dalam realitas getir: disharmoni sosial, diikuti oleh kondisi social dissatisfaction yang sansai.

Semua itu terjadi justru di tengah bangsa yang secara historis terbentuk oleh beragamnya kearifan dan kecerdasan budaya lokal. Nilai-nilai originalitas budaya yang tak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain.  

Indonesia dan rumpun bangsanya, dalam terminologi Ibn Rusyd disebut bangsa-bangsa di Timur Matahari, yang mengundang penjelalajah Ibn Batutah berkelana ke sini. Bangsa-bangsa berperadaban mulia, yang memungkinkan bertemunya keluhuran nilai agama samawi dan laku budaya agama ardhi, itu kini sedang mengalami arus balik. Sekaligus terjebak oleh kenangan tentang peradaban adiluhung.

Bangsa-bangsa yang di masanya, berjaya melintasi era agraris dan industri melalui proses perubahan gradual, namun kehilangan arah ketika bergerak sangat cepat melintasi era informasi dan memasuki era konseptual. Kemudian, tetiba menjadi bangsa pamberang dan nyaris kehilangan akal budi.

Kondisi ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Kondisi yang terjadi karena perubahan cepat bangsa ini -- memasuki era konseptual --  tak disertai strategi kebudayaan yang jelas, harus segera disadari oleh semua kalangan dan elemen bangsa ini.

Bila tidak, masyarakat bangsa ini akan mengalami ambivalensia yang kian parah. Kemudian akan mengalami keterbelahan jati diri. Terus dibekap ketidak-seimbangan budaya, politik, dan ekonomi, sehingga membentuk masyarakat yang terfragmentasi begitu rupa.

Apalagi, lebih dari empat dasawarsa berlangsung reduksi kebudayaan. Terutama karena kebudayaannya dipreteli hanya untuk kepentingan ekonomi semata.

Secara filosofis, bangsa Indonesia sedang mengalami replikasi pemikiran a la Aristoteles dengan Plato di masanya. Dari waktu ke waktu, dihadapkan oleh benturan kuat persoalan-persoalan empiris yang kongkret dengan fantasi yang abstrak.


Pilih Pemimpin yang Tepat

Dalam situasi demikian, etika tak lagi dipandang sebagai bagian dari realitas kehidupan empiris. Pada saat bersamaan juga berlangsung benturan-benturan pemikiran yang tersebab oleh bercampur aduknya antara intuisi rasional dengan ilusi irrasional dalam praktik-praktik kehidupan sosial, politik, dan ekonomi.

Lihatlah bagaimana riuhnya praktik demokrasi ekonomi di tengah dinamika pasar modal dan uang. Tengoklah bagaimana gaduhnya pragmatisme politik di tengah praktik demokrasi gamang. Tengoklah juga bagaimana berkembangnya noice atmosfir pada setiap menjelang pergantian atau mutasi penyelenggara negara dan pemerintahan.

Nalar dan nurani dicampakkan. Naluri dimanjakan. Emosi dipermainkan. Indria dibenturkan. Etika diabaikan. Akhirnya, akal budi dicampakkan. Situasi ini tak akan pernah mempan diobati oleh hanya kecerdasan emosional, intelektual, dan spiritual semata. Tak pula manjur diseimbangkan hanya oleh intuitive motivation. Karena sumber persoalan terletak pada ketidak-seimbangan minda (mind) dan sukma (soul).

Realitas semacam inilah yang me, mendorong warga bangsa terjebak ambivalensianisma sosial alias jebakan fantasi (fantacy trap). Secara fisik kita berada di era konseptual, alaf (millenium) 21, yang menuntut dayacipta untuk mengelola inspirasi menjadi kreativitas, inovasi, dan melakukan invensi berkelanjutan secara terukur. Namun, secara mental: minda dan sukma, tertambah di alaf ke 17 dan 18.

Para petinggi yang mestinya menjadi teladan, terpikat kebesaran dan kejayaan yang maya bersandang social status symbol, sehingga menjadikan kita para pemburu tahta dan harta. Bahkan meraihnya dengan cara-cara yang tak berbudaya. Jabatan dan kekayaan material menjadi berhala yang diagungkan dan diperebutkan dengan membanting akal budi (meme).

Padahal, proses peradaban telah berproses begitu rupa ketika Musa as ditugaskan Tuhan mengajarkan manusia menegakkan hukum, kemudian dikembangkan dengan perubahan orientasi saat Daud as mengajarkan estetika, diperkuat oleh Isa as mengajarkan cinta. Lalu oleh Rasulullah Muhammad SAW disempurnakan dengan keadilan (justice), peradaban (civilization), dan kemanusiaan (humanity).

Untuk mengembalikan bangsa ini ke garis tujuan pencapaian dan azimuth-nya, pasang mata hati dengan siaga. Ajang Pemilihan Presiden-Wakil Presiden 2024, harus kita kondisikan bersama menjadi ajang kompetisi kompetensi dan kontestasi gagasan perubahan.

Pilih pemimpin yang tepat untuk membangkitkan keadaban baru bangsa. Pemimpin yang sungguh mampu menawarkan gagasan dan punya rekam jejak mampu menunaikan kampanye dan gagasannya, yang terbaik. Bukan calon pemimpin yang mengandalkan relasi kuasa, dan meraba dalam gelap, ketika memaknai hakikat gagasan kemajuan di hari esok. |

 

Rumah Akarpadi, 24.11.23

Editor : delanova | Sumber : berbagai sumber
 
Energi & Tambang
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1268
Rumput Tetangga
Selanjutnya