Lindu

| dilihat 2583

SIANG basah oleh rinai gerimis yang turun sejak pagi. Desa Indrajaya diselimuti diam. Mban Pedangan termangu di balik juada: tahu konde, mendo’an, gethuk tela, keripik nyong, dan segala rupa makanan ringan, yang tersusun rapi di atas meja. Ia termangu sambil memandang jauh, seolah sedang melihat puteranya bangga bermandi hujan, ditonton ribuan kawula.

Diam dan sunyi kian terasa ketika hujan lebat turun, merontokkan daun-daun pohon Jaran, dondong lanang yang dulu ditanam serempak oleh kawula. Di kediamannya, Cangik pun termangu melihat Limbuk, goler-goleran di atas amben jati, peninggalan almarhum suaminya. Sesaat Limbuk terkejut, bangun dan tersedar, ketika ranting Sengon yang patah, menimpa atap rumahnya.

Bilung sedang sibuk di ruang kerjanya, di salah satu sudut pendopo Ki Lurah Badranaya. Sudah tiga hari ini, dia sibuk dengan seluruh lembaran naskah perjanjian dagang minyak dan gas bumi desa. Urusan itu kini menjadi tugasnya, karena majelis tinggi adat utama desa, mencabut ‘nyawa’ Burmigas alias badan urusan minyak dan gas bumi.

Hujan kian lebat, seolah-olah telaga di kahyangan sedang tumpah. Sawerigading yang sudah berpamitan pulang ke kampungnya di Luwuk, puser Celebes, harus menunda keberangkatannya. Kapal yang ia tambatkan di pantai, bergoyang-goyang dipermainkan gelombang laut.

Seorang bocah lelaki berlari melintasi hujan. Melesat cepat bagai anak panah, masuk ke pendapa Ki Lurah. Badannya kuyup. Ia terengah, begitu tiba di pinggir pendapa. Sesaat ia mengatur nafas sambil bersandar di tiang.

Ana apa Lhe?” tanya petugas pendapa.

“Banjir.. Banjir, Pak Lek. Beberapa bagian desa kita sudah dialiri banjir. Air sungai Sidabagja meluap,” ujarnya.

Petugas itu buru-buru melapor kepada Suryanata yang mengurusi bencana. Lelaki berkumis itu, segera mengerahkan anggotanya, berlari menembus hujan, mengepung Sidabagja.

Di kediamannya, Cangik sedang mendongeng. Kepada Limbuk, ia berkisah tentang bumi yang gonjang-ganjing, ketika Shanghyang Syiwa menggeliat, jelang bertahta. Kala itu, halilintar sambar menyambar. Hujan tak berhenti berhari-hari. Banjir dan bah menghabiskan Jawa, membentuk daratan rada aneh. Bagian ujung utara timur, terlepas jadi Madura. Kala itu pula, Gunung Kelud gemuruh. Suaranya membanting para durjana. Laharnya, menyeret ratusan kawula beserta sapi, kambing, dasn dangaunya.

“Mudah-mudahan, hujan kali ini tidak sama dengan peristiwa bumi gonjang – ganjing menjelang Sanghyang Syiwa bertegak jadi raja,” ujar Cangik.

Limbuk bangun dari tidur, baru saja duduk, seketika itu dia limbung. Gempa mengguncang. Bumi bergoyang-goyang. “Biyung... Biyung...,” teriak Cangik.

Seantero desa merasakan gempa, itu. Mban Pedangan yang sendirian di Kedai Gambuh nampak pucat pasi. Ia was-was tak alang kepalang.

Bilung segera keluar dari ruang kerjanya. Tapi, Ki Lurah dan Sawerigading tenang-tenang saja, dan nampak masih serius berbincang, seolah tak terusik oleh gempa. Padahal, kepala jagabaya, Satriapurnama sudah siaga. Tapi, gempa memang segera reda.

Bilung terkejut, ketika bahunya digenggam Dawala.

“Mengapa mesti was-was, Bilung? Ini gejala alam biasa. Suasana beberapa hari ini merupakan isyarat bagi kita, agar kita tersedar, selalu berusaha untuk sabar, semakin rajin bersyukur, dan ikhlas menjalankan kehidupan,” tuturnya.

“Koq Ki Lurah dan Sawerigading bisa tenang seperti itu, ya?”

Dawala dengan logat Sunda buhun yang kental menjelaskan, ketenangan kedua pemimpin itu dikarenakan mereka sudah menguasai ilmu leluhur: ulah inggis ka linduan, ulah geudag ka anginan. Jangan panik ketika gempa melanda, jangan pula menantang angin.

Suasana segera tenang kembali. Mentari agak malu-malu muncul, sambil sekali-sekala terhalang awan. Ki Lurah segera memanggil seluruh stafnya untuk musyawarah. Ketika Ki Lurah membuka kesempatan bicara, Dawala ambil kesempatan pertama. Dia mengungkap, musim hujan akan memberi banyak pekerjaan besar. Alam diberi kesempatan oleh Tuhan memperingatkan kita untuk berhenti merusak.

Semua fenomena alam yang akan berakhir duka, ujarnya, disebabkan oleh laku manusia. Fenomena alam itu bereaksi atas perilaku manusia yang senang memburu rente dan tak berdaya menghadapi hawa nafsunya. Manusia yang diberi amanah menjaga alam nan kaya tak berdaya menghadapi mereka yang mempunyai suprakuasa.

Gunung-gunung dibarubuh, tatangkalan dituaran, cai caah babanjiran, buwana marudah montah !” tegasnya. Gunung-gunung telah dirobohkan oleh penambangan yang buruk (dan serakah), hutan ditebangi, air akan meluap menjadi banjir bandang,... lalu, bumi akan memuntahkan isi perutnya. Inilah lindu, isyarat bumi menggeliat. Jadi, siagalah !! |

Editor : sem haesy
 
Humaniora
08 Mei 24, 19:52 WIB | Dilihat : 148
Sorbonne Bersama Gaza
03 Mei 24, 10:39 WIB | Dilihat : 435
Pendidikan Manusia Indonesia Merdeka
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 637
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1376
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
Selanjutnya
Energi & Tambang