Gunung Padang: Pengetahuan Tinggi Menuju Tuhan

| dilihat 4418

AKARPADINEWS.COM |  BANGSA ini pernah memiliki dan mengembangkan peradaban tinggi ilmu pengetahuan. Salah satunya situs megalitik Gunung Padang. Mahakarya peradaban purba ini dibangun dengan pengetahuan arsitektur, matematika hingga astronomi yang luar biasa untuk Yang Maha Kuasa dan bangsa ini patut bangga. 

Pada tahun 1914, Nj Krom, arkeolog Belanda menyatakan, di puncak gunung dekat Gunung Melati ada empat teras yang disusun dari batu kasar berlantai dan dihiasi dengan batu-batu andesit, serta dilengkapi batu runcing. Lambat laun, masyarakat menyebut situs ini sebagai Gunung Padang, karena Padang dalam bahasa Sunda berarti luas dan terang. Masyarakat seringkali melihat cahaya dari Gunung Padang saat siang hari, yang memancar dari bebatuan yang menyerap dan memantulkan suhu panas.

Sejak 1979 para arkeolog mulai melakukan penelitian, pemugaran sejak 1985 dan pada tahun 2002-2005 Balai arkeologi Bandung melakukan survei hingga akhirnya pemerintah menetapkan situs Gunung Padang seluas 3000 m2 sebagai cagar budaya. Sejak itulah Gunung Padang mulai menjadi daya tarik wisatawan dan para peneliti yang ingin mengetahui sejarah purba masyarakat Sunda. Setiap bulan situs ini dikunjungi hingga 4000 pengunjung.   

Situs ini berada di ketinggian 885 m dpl, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, sekitar 45 km dari kota Cianjur. Lokasinya dikelilingi bukit dan 5 anak sungai. Tersedia 468 anak tangga untuk mencapai puncaknya setinggi 95 meter. Tangga tersebut akan membawa pengunjung ke teras satu.

“Gunung Padang terdiri dari 5 undakan/teras, ini adalah situs megalitikum setelah zaman neo megalitikum yang berfungsi untuk tempat peribadatan” jelas Zainal (31) selaku pemandu wisata Gunung Padang ketika diwawancarai Akarpadinews pada Minggu (12/4).  Gunung Padang berdiri sebelum adanya kerajaan Sunda. Bahkan para ahli mengungkapkan bila usia Gunung Padang lebih tua dari Piramida Mesir dan sekitar Gunung Padang adalah kawasan pemukiman masyarakat.  

Gunung Padang disebut punden berundak karena menggunakan material batu alamiah, berbeda denga piramid dan candi dengan batu ukiran. Setiap teras di Gunung Padang  dikelilingi oleh balok batuan andesit yang dibentuk oleh larva gunung berapi dan memiliki kadar besi hingga 45% hingga dapat menghasilkan suara dentingan bila dipukul. Konon sebelum melaksanakan ritual, leluhur kita akan memulainya dengan membunyikan batuan menyerupai irama musik purba.

Gunung Padang memiliki 5 teras yang disimbolkan sebagai 5 tahapan spiritual yang disusun dengan hitungan matematika yang tinggi, Nj Krom salah menghitung 4 teras karena dua teras lain terlihat menyatu dan datar. Setiap teras memiliki batuan yang memberikan makna tersirat di balik mitos dan pengetahuan lokal masyarakat. Letak Gunung Padang yang menghadap Gunung Gede secara astronomi menyiratkan kebudayaan manusia lampau yang menjadikan gunung sebagai kiblat beribadah.

“Pengetahuan dan teknologi matematika dan astronomi sudah bagus. Pola pikir masyarakatnya sudah tinggi untuk menunjang ke tempat peribadatan” ucap Zainal, kagum.

Teras satu adalah teras paling luas dengan lebar 44 meter2. Setiap teras memiliki pintu masuk (lawang) berbentuk 2 batu persegi panjang seperti 2 tiang yang menancap kokoh ke tanah. Teras satu memiliki bukit bersujud atau yang disebut masyarakat “Bukit Masjid” dan  2 batu musik. Sebelah barat bernama “Batu Bonang” yang berarti “tidur tapi masih mengingat Tuhan” memiliki relief 4 jari yang kalau diperhatikan seksama mirip lahfadz Allah, batu ini bila diketuk dalam menimbulkan alunan suara. Sebelah timur “Batu Kacapi”. singkatan Kaca dan Pi. Artinya cerminan diri. Konon mempunyai 20 senar tak kasat mata yang menyimbolkan mengenai sifat-sifat Tuhan yang ada pada diri manusia.

Naik ke teras ke-2 terdapat “Bukit Mahkuta Dunia”. Artinya bukan mahkota, melainkan simbol dari jiwa sosial yang saling mengasihi. Antara teras satu dan dua memiliki ketinggian 45m2 ke bawah, dengan perhitungan matematis dan bangunan penyangga arsitektur yang tinggi sehingga teras dua tidak longsor. Di teras dua terdapat “Batu Panyawangan” untuk masyarakat pada masa itu bermusyawarah. 

Di teras ke-3, tepatnya di sebelah timur, ada “Batu Tapak Maung:. Maung di sini bukan seperti dalam bahasa Sunda berarti Macan. Melainkan Ma dan Ung, yang artinya manusia unggul. Bila diperhatikan itu ada 9 cekungan tapi bukan jejak harimau. Cekungan itu ada yang seperti bekas tapak tangan, tumit kaki, dudukan, dan tongkat seorang manusia unggul yang mungkin adalah pemimpin pada masa tersebut. Terdapat pula “Batu Kujang” yang memiliki ukuran senjata khas Sunda, kujang diartikan dengan kukuh memegang janji.

Di teras ke-4 terdapat “Batu Kanuragan” atau batu pengujian yang dimitoskan sebagai ujian terakhir bagi seseorang yang melakukan spiritual sebelum mencapai level pamungkas/tertinggi di  teras ke-5, tetapi batu ini sengaja disembunyikan pihak pengelola karena banyak wisatawan yang mencoba mengangkat batu ini hingga terluka, selain merusak batu hingga mengurangi nilai sejarah. Terakhir “Batu Singgasana Raja” sebagai puncak spiritual dari teras 1-5, konon dulu menjadi tempat bersemedi para Raja.  Para arkeolog secara ilmiah menyebut bila batu tersebut menjadi arah perbintangan dan matahari karena tidak mampu dibaca oleh kompas.  Situs Gunung Padang dengan tahapan 5 teras ini mempunyai simbol bahwa segala hal harus melalui proses untuk mencapai tingkat tertinggi menuju Tuhan atau mendapatkan yang manusia inginkan.

Selain itu, Gunung Padang menunjukan bila leluhur bangsa kita memiliki warisan peradaban dan pengetahuan yang maju bahkan bisa jadi jauh sebelum Eropa mengembangkan pengetahuan tersebut.  Ketika penjajahan beratus tahun menimbulkan mental inlander, rasa rendah diri bangsa, sebagai bangsa pribumi, bahkan politik penjajahan mengubur bukti-bukti sejarah kerajaan, menanamkan leluhur nusantara adalah bangsa primitif dan tak berilmu pengetahuan tinggi. Gunung Padang menjadi saksi tingginya pola pikir  leluhur kita yang tidak hanya berorientasi pada pengetahuan, tetapi pencapaian spiritual pada alam semesta dan yang maha segalanya. | Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 748
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 902
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 857
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Energi & Tambang