Ihwal Puisi Perempuan

Warkah Pelangi di Ujung Cakrawala

| dilihat 1262

N. Syamsuddin Ch. Haesy

yang. / ini bunga terakhir / yang tak mangkir / dari petir (Terakhir, Resti Nurfaidah)

Ini salah satu puisi yang terpumpun dalam antoloji puisi karya ASEAN Women Writers Association (AWWA) -  Asosiasi Penulis Perempuan ASEAN, yang belum lama terbit. Puisi sederhana empat dimensi.

Secara impressif, saya merasakan kelebihan penyair perempuan dalam berekspresi adalah indahnya keseimbangan nalar, naluri, rasa, dan dria (think, instink, sense, feel)-nya.

Puisi ini sekaligus memberi isyarat, bagaimana penyair perempuan menempatkan puisi sebagai medium untuk mentransfer kemampuannya mengelola instrumen ilahiyah yang menempatkan manusia sebagai makhluk sempurna dibanding dengan makhluk lain. Puisi Terakhir, mendeskripsikan secara sederhana, namun bermakna

Dimensi cinta yang menyimpan harmoni nalar, naluri, rasa, dan dria terasa dalam pilihan dan aksentuasi kata, yang mencerminkan sikap dalam menempatkan diri sebagai subyek.

Lugas di dalam kelembutan dan keindahan, yang memandu penikmat puisi ini untuk menyelami lebih jauh hakikat cinta sebagai formula kasih sayang, yang terikat ruang dan waktu, konsistensi, dan luah renjana (gejolak spiritual) di dalam diri. Sikap tegas manusia berdaulat kepada manusia lain, untuk tidak bermain-main dengan sesuatu yang dianggap esensial dalam hidup.

Puisi alit ini merupakan representasi ungkapan asasi para penyair dengan karya-karyanya yang tepumpun di dalam buku bertajuk "Mengeja Semesta," yang merupakan warkah pelangi di ujung cakrawala.

Tidak hanya karena keragaman dan keberbagaian tema, perspektif, format, dan formula penulisannya yang dalam banyak hal tergambarkan sebagai pelangi. Juga, karena pesan yang tersimpan di dalam buku pumpunan puisi ini, laksana warkah, mencerminkan suara personal penyairnya kepada siapa saja. Di dalamnya mengalir elegi, epic, dan didaktik.

Puisi-puisi yang terpumpun di dalam buku ini, ditulis oleh para penyair yang dalam banyak hal memahami esensi puisi sebagai kodrat fikiran yang terhubung dengan nilai hidup (budaya) masing-masing dalam melihat berbagai hal yang menjadi inspirasi puisinya. Inspirasi yang memercik sebagai akibat dari interaksi dengan sesama manusia, alam semesta, dan Tuhan. Interaksi dengan sesuatu yang bersifat empiris maupun non empiris (ilusi dan fantasi), infinitif - tidak berbatas dan tidak terbatas.

Saya sepakat dengan berbagai pandangan Jean Luc (Guru Besar senior di Universiti Nantes - Perancis) bahwa puisi luput dari semua definisi yang sering dirumuskan di kalangan akademisi. Luc mengemukakan, sejak era penyair Horace puisi sering dianggap sebagai lukisan yang menyenangkan, representasi alam. Misinya adalah menghadirkan pesona keindahan. Puisi yang paling indah adalah karya dengan warna tinggi, lukisan bergenre sejati.

Lebih buruk lagi, menurut Luc, gagasan yang menyatakan bahwa puisi hanya akan menjadi seni yang mampu menyatakan dengan fasih ornamen pemikiran (seperti di abad ke 17 dan 18). Tapi, kemudian, penyair dan para penulis menempatkan lirik-lirik puisi dalam koleksi filosofis, karya sejarah dan bahkan buku teks matematika.

Perubahan besar terjadi dalam penulisan puisi, ketika memasuki abad ke 19 dan 20, kemudian ketika era industri secara gradual bergerak memasuki era informasi, pada saat itu terjadi pemberontakan atas beragam nilai hidup yang dianggap mapan di lingkungan peradaban Barat. 

Berkembangnya musik rock dan musik pop yang lebih lugas dan apa adanya, elegan dan populis modes. Meskipun demikian, di berbagai belahan dunia lain, khasnya Timur Tengah (Arab dan Persia) dan Asia yang mempunyai tradisi lama terkait sastra - puisi berkembang dalam beragam bentuk (pantun, soneta, rubaiyat, qasidah, talibun, gurindam, haiku, rumpaka, pakacaping, sinrilik, tembang, dolabolo, dan lainnya).

Sejumlah penyair menggunakan struktur logika dan memilih cara bertutur untuk berefleksi dan berekspresi. Sejumlah penyair lainnya menggunakan keindahan bahasa dengan plastika linguistik alias gaya bahasa khas untuk berefleksi dan bertutur. Sejumlah penyair lainnya, memilih jalan lain: berpegang pada kekuatan kata sebagai daya bahasa. Jarak yang sangat dekat antara penyair dengan budayanya, di wilayah peradaban Timur, masih memelihara metafora dan plastis bahasa sebagai pola ungkap artistika dan estetika dalam puisi.

Pumpunan puisi ini, menghadirkan situasi kultural itu. Terutama ketika penyair menggambarkan secara metaforik posisi geografis keberadaannya dan dimensi nilai yang mempengaruhinya.

Sesuatu yang juga melekatkan dignity, kebanggaan dan sikap budaya secara artikulatif, seperti terasa dalam Nature's Story of The Paradise (Berti Nurul Khajati) : here's a true story for you / through the greet of the morning dew / perhaps you'll get a clue / since the sea and the sky are still blue // here's a true story of the paradise  / along the line of equator it lies  / there grow every kind of maize / and the land has no limited size // here's a true story about the land / with the welcome greet of the sand / all people make friend without any ban / getting along to each other with the hand // here's a true story of the creature / live and love to each other / hug the bug and dance together  / in the feeling of sure  // Here's a rainbow rise / the nature's story of the paradise |.

Pesona alamiah puisi ini, terlihat dari detil lain yang simpel pada Sansivierra (Elis Tating Bardiah) :  in the morning, my glance at protrude green branch / it arise from plant in terrace of my house / it is white, shining, and long, like white lace / It seems wearing princes gown, little lined up and some strands rise // my heart is very happy / my sansivierra is flowering / I was really fascinated by it // there are some lessons, we can learn about sharing from sansievierra / we figured out what it means to give / it isn't have to sweet faces for giving / just enough  by sharing beauty of flower / so you will be  a true beauty lady / just look like sansievierra whose meaningful learning|.

Dari dua puisi ini, kesadaran tentang realitas bumi sebagai bagian dari semesta mengemuka. Tapi di sisi lain, ada ancaman yang menyergap, ketika fase-fase perkembangan peradaban manusia sejak era industri mengepung 'pesona surga' yang memungkinkan 'sansivierra' berbagai keindahan. Industri dan birahi kapitalistik yang memproduksi polusi dan kepenatan nan teruk, tak boleh dibiarkan.

Polusi yang tersebab beragam produk industri menghadirkan kecemasan. Perlu entusiasme untuk menyelamatkan bumi sebagai lingkungan kehidupan. Puisi bertajuk Whisper of Wind (Semanur Eski), mengingatkan dengan artikulasi getir : it is not appearing pleasure / already damaged by all of us / we need to breath / without pollution that worrying / but, there is no place without it / it is not hard to care about source of life / throw garbage in its place / save the environment / with don't use plastic / who don't want to bright sky / try to listen whisper of the wind / save earth for all creatures.

Teriakan sebagai ekspresi entusiasme itu penting, terutama, ketika realitas kehidupan sehari-hari tak pernah henti mengepung manusia dengan kecemasan.  Ketika segala kecerahan berubah terancam kegelapan yang menghantarkan pedih, karena di balik 'cerobong asap' penghantar polusi pabrik-pabrik, kehidupan laksana pesona sansivierra juga terancam oleh ketamakan yang menganga. Simak kegamangan insani, itu dalam The Forest of Iron (Senny Suzan Alwasilah) : I was creating a crispness of evening / beneath the blazing lamp / as I thought back of the years / when the street was still in a shadow of trees / when birds were still singing beautiful songs / and the glamorous roses gave way to clear the colors // I could still remember all that moment vividly / sitting at the wooden swing of my back yard  / I found the sky was glistening in the sunset / I felt a sensation of deja vu / as if the moment had suddenly been returned / but actually all had changed / there was nothing more but stillness / what I only heard were dried leaves rattling // no more to see the bloom / only the darkness around me / my mood was suddenly indifferent / though the evening was young I felt painful / I broke into deep sadness / knowing that I seemed powerless to return the green  / to our neighborhood / all because of the greedy people / who change our trees into the forest of iron // no more to see the bloom / only the darkness around me / my mood was suddenly indifferent / though the evening was young I felt painful / I broke into deep sadness / knowing that I seemed powerless to return the green  / to our neighborhood / all because of the greedy people / who change our tress into the forest of iron |.

Kegamangan ini akan terasa, ketika terbayangkan  kehidupan di kawasan tambang yang gemar melubangi bumi dan melantakkan kebudayaan. Sesuatu yang barangkali hanya bisa dibayangkan oleh mereka yang lama hidup di dormitori dengan kontainer yang disulap menjadi asrama, di antara situs tambang dan mesin pemasak bahan tambang, serta padang pembuangan limbah beracun (B3) berupa slag hasil tambang, berupa lelehan cairan 'api neraka' yang langsung mematikan seluruh makhluk (termasuk manusia), ketika lelehannya merayapi bumi.

Suasana itu terasa ketika membaca dengan kedalaman rasa, puisi Let Us Meet Inside The Sun (Violetta Simatupang) :  I am sitting here alone gazing at the sunrise  / It’s flare reflecting ballerinas dancing with small Pirouettes over the sea / the boiling of white tea in the black pantry / I adore sunrise. It’s like half of the pair of scissors dating the other half / or as if God Shammas slowly taking his twin sister Goddess Inanna up to heaven / it’s so mysterious. Unambiguous // You, my love, you are lying – perhaps – still sleeping in one of the dorm rooms  / made from shipping containers  / or the gentle ticking drops of the leaking aircon awaken your memories of  / those wonderful rainy day when we were at Bukit Cinta / it's possible on this dawn's early light you’re already at the light house / concentrating. Ensuring hundreds of mariners navigated their way  / safely around the busy waters / maybe - I keep imagining- you are spending the loom as a theorist  / ruminating at an oceanfront figuring out ways to fix the environmental fiascos // I keep thinking about you, specifically at dawn / as you always said, one million earth could fit inside the sun // Yours and mine will meet there, right in its core / one day, my love / one day / one sparkling stunning day.

Puisi ini juga akan terasa esensinya, setiap kali kita berada di ladang-ladang minyak dan gasa bumi dengan beragam lubang sumur eksploitasi, dengan flare yang menyala sia-sia di angkasa, dengan bocoran pipa yang mengirimkan mercury di laut lepas.

Situasi dalam puisi-puisi porosif yang menghadapkan manusia dengan paradox: mengaku mencintai kehidupan, tapi abai dengan ancaman kerusakan bumi dan langit. Simak puisi Satire Bumi (Ika Dahliawati) ini : mata memerah / dada sesak / asap tertawa geli // kulit digaruk gatal / sebagian melepuh / air terkekeh // badan mengurus / cacing di pantat merajalela / tanah tergelak // organisme berubah bentuk / tak terkendali / bumi miring ke kiri.

Pemanasan bumi pun menjadi isu dunia, sublimasikan imaji paradoks puisi ini dengan realitas dalam puisi Kemarau 2019 (Nella S. Wulan) : kemarau berdepa depa / embun enggan nampak / rerumput kecoklatan / menyusut batang  / terbang dedaun / memudah ditarik lepas // menyusut air tanah / mengerut kening / diterik musim hingga purnama kesebelas / jika tahun kemarin banyak dingin / semesti inikah / : 2019, didera kemarau // senyum, tersenyumlah wahai / neteskan sejuk langit / kikis gumpalan panas  / beri dingin di tanah kering / hingga meluas / basah rentangan bumi .

Kemarau adalah petaka yang terencana dan terbiarkan berulang terjadi, karena ada persoalan tersembunyi (rasuah, telingkah hukum, kehidupan lencong) di balik beragam peristiwa, seperti kebakaran hutan yang menebar berbagai titik api. Lantas menebar infeksi sesak nafas akut yang mengancam manusia.

Sangatlah muhasabah, kala manusia geram. Seperti kegeraman di balik pertanyaan dalam puisi Bilakah Kalian Akan Sedar? (Rohani Din) : panas kering / keceriaan langit cering /penghuni alam gering//berjalan tanpa toleh-menoleh / kehidupan cerongkah-cerongkeh / yang sedikit berharta meningkat jadi tokeh // peduli apa kepulan asap dari hutan dibakar / terpenting baginya urusan tidak sukar  / asap berjerebu menghalang penduduk keluar / hilang canda dan kelakar // penceroboh dan pembakar / bilakah kalian akan sedar? / kalian sudah melakukan onar / wujudkan jerebu menghalang sang suria / menebar sinar.

Rasakan kemarau yang mencekat, bayangkan kala manusia mengelola lagi harapan dengan kesah tak usai, seperti terlukis dalam puisi Menanti Hujan (Ikha Mayashofa Arifiyanti) : tiada datang hujan di bulan Juni. / hanya singgah dingin udara yang menusuk pori-pori / mungkin, dinginnya itu membekukan rintik yang nyaris gerimis / hingga urung baginya membasah tanah, menyiram alam / dan menghapus sketsa pelangi yang kadung tumpah / pada kelopak-kelopak angsana // duhai pembasuh awan / datanglah pada bumi yang mendambamu siang dan malam / apa kau tak rindu pada persetubuhan hangat antaramu dengan tanah, pohon, dan danau? / mereka lunglai kini, pun ragaku tak berenergi | .

Alam berhadapan dengan ketamakan manusia. Simak puisi bertajuk Serakah (Maftuhahboenz) : tadi pagi, aku baca berita / gajah tanpa kepala / membusuk di tengah hutan / gadingnya hilang? // tadi siang, aku terpaku / pada lembar koran yang tergeletak di sudut meja / seekor orang hutan ditemukan di rumah bordir / matanya nanar, kuyu tar berdaya / dijadikan pelayan nafsu peladang sawit? // entah apa yang terjadi pada ciptaan Tuhan bernama manusia / mungkin wujudnya telah berubah / menjadi / serakah|.

Karena keserakahan, kehidupan terancam, tradisi budaya termarginalisasi, masih mungkinkah kita tersedar, ketika geram tak henti mengangkasa, membawa kecemasan bertalu-talu, yang selalu disambut dengan diam kuasa nan pongah. Saya tersedak oleh puisi Seribu Ngeri Membumbu Diam (Shirley Idris) : seribu gunung awan tak runtuh mengepung bulan  / seribu gemintang tak berkilau memeluk bumi / seribu langit tak sampai mengapai pelangi  / seribu rindu tak sepi menyandar di pundak ingin / seribu duka sesayat tak mati dalam dupa / seribu puisi kuutus pada angin menyapa diammu / di seribu malam / menuba aku di laut pasrah / membendung hujan / menukik di hujungnya embun // datanglah Amaro // kujemput paksa ragamu / di buncah lara aku tak ngeri / dalam mantera diam membumbu / pada seribu puisi biruku.

Kergeraman yang mungkin menjelma tulah, tenung semesta, bila pesan-pesan lirih terabaikan, seperti pesan dalam puisi bertajuk Jaga Bumi (Nurhayati) :  pematang membelah sawah-sawah / menghidupi nasib dan paceklik / hijau pepadi,  rimbun daun pisang dan lambaian kelapa / hamparan pesona // "Jaga bumi ini, rawat dengan cinta" / bisik angin yang datang diantar cahaya / selarik puisi menjadi lebih berarti / kala pagi yang tenang / berjalan di pematang. Meskipun, rangkaian kata di larik puisi, hanya memercik sedikit asa, seperti tersimpan dalam puisi Hujan Sore Tadi (Sofiatin) : hujan turun lagi sore tadi/kesejukkan mulai membius lorong sukma/penantian kita tentang dendam rindu/terbayar tuntas//dedaunan meranggas sejak lama/berharap mereka re-inkernasi di surga/ ranting-ranting yang senantiasa berkeluh kesah/kini tersenyum sambil melengkungkan dahan-dahannya/doa-doa yang kita panjatkan kepada Rabb/terjawab sudah//puji syukur pada-Mu Rabb/semoga esok sore/hujan menyiram kembali/rumah kita/tanah kita/bumi kita/yang telah lama kering//

Asa wajar manusia, terutama ketika kabut tiba. Sesuai dengan apa yang terbersit dalam puisi Semai (S. Ken Atik Djatmiko).  Kemarau dan hujan, dua sisi yang saling berpunggungan, keduanya bertemu dalam fantasi kita tentang air. Lantas, manusia beramsal mengikuti gerak irama air, dan seringkaliu lupa dalam gerak air, ada pedih yang terbawa, seperti tersimpan dalam puisi Perjalanan Air (Emy Suy) :  lihatlah, perjalanan air yang menguap menjadi awan, bertemu daun dan  menjadi butiran embun, lalu menjelma hujan / anak anak hujan berkejaran, mengalir, menganak sungai bertemu laut / Aku bicara pada pecahan bebatuan, tanah gersang / hutan menjadi arang, bekas-bekas galian tambang / engkau hanya asyik bicara pada genangan harta / kita memang berdekat, namun bahasa berbeda / hatiku memanggil namamu, tapi hatimu mengeras batu/sekeras pasir-pasir hitam menggumpal/aku memandangi punggungmu dari sini/gerak tubuhmu mengundangku bumi / tenggelam dalam percakapan sunyi // Aku harus mencari dahan dan ranting tanaman / tempat burung-burung mengadukan nasib/Aku harus mencari biji-bijian yang menumbuhkan pepohonan / Aku harus mencari air sejuk melewati kerongkongan / memberi sehat pada kehidupan / Aku mendapatkan ikan-ikan di laut kehitaman akibat limbah industri/ke mana lagi mendapatkan napasku jika tak kutemukan lagi kesegaran?//tarian ilalang, nyanyian burung kutilang / ketabahan rumput, kesabaran pantai, ketangguhan karang / dan kesetiaan hujan pada akar / di mana kau, aku, kita, dan mereka ada. Mari kita rayakan rasa syukur dengan cinta yang dalam. Merawat ciptaan-Nya. Tumbuh besar untuk nanti....

Realitas kerusakan bumi yang dilakukan manusia, yang memantik global warming, misalnya, menjemput masygul. Kemasygulan, itu yang terasa pada larik-larik dan bait-bait puisi bertajuk Pencipta Api (Dian Rachma) : diam – diam engkau menunggu hingga matahari / enggan mengecupkan cahaya ke bumi / engkau mengendap, memantik maut / bagai ular kepanasan nafasmu membusuki gelap / kau gerayangi bumi, sulur daun di hutan menjadi saksi.// pohon – pohon tua kehabisan tenaga / akar rumput rebah terinjak / engkau menjala api membabi - buta, sedang di lain tempat / para pemimpin menggaungkan janji pemilu / burung – burung melebihi kecemasannya di udara / menumpahkan air mata menjadi taburan garam. // kabarnya, air mata bertukar kabut / haruskah percaya, kami membaca kematian  / satwa berpelukan satu dengan lainnya?| Pilu dan getir.

Sekali sekala melihat realitas seperti ini, kita perlu berfantasi, berdiri melihat realitas penghianatan manusia atas bumi dari awan, seperti yang tersimpan dalam puisi Sounds of Options ( Khaziah Yem ) : sounds are but just / a fraction of our existence / the frequency that travels / amidst hallucination // for those who follow / the whispers chanters, / the hellish blunders / forget not thy elders / making sounds of righteousness / for the sound that you listen / is just another option / of yet another choice / of our existence .

Suara leluhur itu sudah sejak lama tersimpan dalam beragam karya puisi, antara lain dalam rumpaka Sunda, early warning sound: gunung-gunung dibarubuh, tatangkalan dituaran, cai caah babanjiran, bhuwana marodah montah (gunung-gunung dirobohkan - hutan ditebangi, banjir melanda, bumi melepas muntahnya).  

Tapi, siapa yang mau mendengar peringatan dini, suara leluhur ini, ketika mimpi manusia adalah mimpi duniawi yang sementara, sesat sesaat. Apalagi, mendengar apa yang terucap dari Suara Semesta (Elvirawati Pasila) : perih merobek bathin / membawa diri berjalan pada labirin / serasa tujuan sangat dekat / namun langkah tersendat / jalan yang mana yang harus dilalui / menguak pintu jalan keluar // merunduk pun rasanya tak mampu / air mata jatuh membasahi bumi / mengangkat wajah ke atas / menatap langit kelam / gelap menutupi pandangan / dengan apa harus dijelaskan / langit menggelegar / kilat menyambar / dan ... hujan tertumpah / tanah jadi basah oleh air mata bumi / semesta meradang / mengapa anak manusia tak henti bertikai ? // Aku terduduk pada sudut labirin / merenungi perangai yang telah lalu / geram, sedih dan tak berdaya / kemunafikan begitu banyak mengintai //dengarlah kiranya  wahai  Penguasa  Alam / bila suaraku tak mampu menepikan ego / dan niat tulusku tak mampu mendamaikan / perdengarkan suaramu / bagaimana cara agar aku dapat keluar / dari kemelut ini // dan... hujan terhenti, awan tebal menepi / semesta bersiul, bunyi bayu berhembus / lembut, membuka pintu jalan keluar .

Kendati demikian, selalu ada yang harus disyukuri, karena kesadaran menyentuh insan yang tak bernama, yang terus mencari ruang untuk optimistis. Simaklah puisi bertajuk Kepada Bukit yang Terkelupas (Vinny Soemantri) :  pada bukit yang terkelupas / pada tanah reruntuhan / tumbuh  subur rumput hijau / tempat kerbau memanjakan perut / pohon rindang menuai hati temaram / pernah kutanam pohonnya dengan jemari berlumuran tanah / lalu kunamakan pohon kehidupan / cepat sekali dia tumbuh / tahun berganti kusaksikan batangnya ditebang / daun-daun gugur tersisa di balik batu / mereka ganti menanam besi pasak mencengkram tanah / kini batangnya adalah tembok menjulang / daun-daunnya adalah atap menolak air hujan / air tak punya celah lagi masuk ke dalam tanah / hujan tidak dipersilahkan masuk ke perut bumi / apalagi memberi minuman lezat pada akar-akar // pada bukit yang terkelupas / tanahmu telah berganti / mereka tidak peka mendengar sisa akar menangis pilu / kucari bukit lain untuk kutanam lagi pohon kehidupan / sebab dia sudah terbungkam  beton.

Dalam fantasi di atas awan gemawan yang berarak, lihatlah realitas yang berjarak dengan asa. Tentang asa membawa segenggam bunga hutan, misalnya, seperti tersimpan dalam puisi Belantara (Nurani Widaningsih) : rebah ragaku, /di antara hamparan edelweis/dan gemericik sungai/siang itu di belantara.//belaian angin rimba,/desah alam menyapa/kubiarkan./kupejamkan mata,/dan Kau ada.// mata air-Mu menggoda,/ izinkan kureguk kehidupan/dari mata air kasih-Mu/ yang dicinta para musafir/rindu akan pulang.// Membawa seikat bunga hutan,/dan sekantung cerita/siang itu di belantara. Walaupun untuk pulang, kadang kita memerlukan panggilan alam, seperti terdengar dari Suara Alam (Tuanfarida Ni’aloh) : suara alam yang memanggil kau pulang / sebiji batu menangis mencari keadilan  / pollen berlari mencari kupu-kupu / angin berlomba dengan matahari .

Tapi, pulang masih di jagad fana, seringkali disambut kecewa, seperti terlukis dalam Sawahku Tak Lagi Hijau (Raden Rita Maimunah) : sawah itu begitu indah, hijau dan berpetak petak / burung bangau putih bekerjasama dengan kerbau / mencari makan, bangau hinggap di punggung kerbau  / dengan damai // itu dulu alam masih bersih belum tercemari / kini aku terhenyak dengan jiwa yang miris // sawahku tidak lagi hijau / tak lagi kulihat bangau putih bertebaran mencari makan / tak lagi kulihat kedamaian kerbau bermain lumpur / tak lagi ada bebek – bebek sawah yang cerewet / inilah dia sawahku yang dulu, yang belum lama ini  kutinggal / sawahku tidak lagi hijau, sawahku telah menjadi ruko / yang mulai hiruk dengan suara keramaian / sawahku tidak lagi sunyi / oh, mana keindahan alam yang dulu, suara gemericik air /  mereka telah buat gedung- gedung beton / sawahku..

Dari awan gemawan, optimisme boleh dibangun, seperti dalam puisi Laut (Nurhayati) : di hadapan fajar / kulihat / sudut langit merah kesumba / ombak pulang / berkejaran / berbuih / riuh / bergulung bagai kenyataan // segalanya tampak / dalam kepak bayang / camar-camar laut fasih berkaca  / lalu terbang meninggi ke langit maha rindu // dan perahu itu / melintasi gugusan pulau-pulau / dada nelayan menyimpan / rasa yang laut / kegembiraan juga harapan / membawa tubuhnya jauh ke tengah / terumbu berdzikir  / matahari bersila / ikan-ikan menghampiri  / pasrah pada kehidupan // kelimpahan rezeki / laut / tempat segala kemewahan Tuhan dipertontonkan.

Optimisme itu, yang masih memungkinkan manusia memburu harap, karena keyakinan yang asasi, seperti terungkap dalam puisi Kejar Dia (Nurani Widaningsih) : lompatlah, jika dengan diam / hanya akan membuatmu sakit./ berjalanlah, jika dengan melompat / kau masih saja terluka.// berlarilah, terus berlari./ kejar saja Dia,/ Sang Kekasih. / Sejati.. Optimismelah yang akan memungkinkan manusia mengenali hakekat waktu mulai fajar hingga datang malam dan tiba fajar lagi. Simaklah puisi Sabit (Nona Darmawan) : mata bulat lentik itu berputar memandangi senja yang bergelayut / sunyi hening tanpa suara // pendar bintangpun terlihat samar malu-malu / karna rembulan tlah mengajaknya tidur / menarik selimut menutupi langit / menyisakan ujung tubuhnya dan membiarkan  / mengintip / terdiam hangat diperaduan / menimang mimpi bertemu para bidadari syurga / sambil menikmati  tarian lemah gemulai hingga selesai / hembusan nafas angin malam  seolah menghantar semesta menuju peristirahatan / seraya menyapa lembut // "....Selamat malam dunia...".

Optimisme juga yang akan memungkinkan ikhtiar manusia menyelamatkan bumi, beroleh rahasia yang tetap menyimpan indahnya kehidupan dan asa. Simak dan renungkan puisi Resep dari Tepian Alam (Rut Retno Astuti) : setiap dingin menyentuh ruang dan musim / keletihan menyergap napas hidup / jantung jadi lebih keras berdegup / bakteri masalah menelikung sendu / dan virus flu membuka kelemahanmu / di titik terletih itulah langsung kukenangkealamian dengan cinta dan kehangatan  // secepatnya kutangkap cahaya tenang / keintiman alam di kebun kenyamanan / menelusuri aliran air putih penyucian / di sumber air indah sebesar anugerah // alirannya tak pernah berkesudahan  / sesegar udara dihirup pernafasan / di tiap tarikan nafasnya mengalun melodi  / nada-nada ritmis berbisik  di detak nadi / kurindu slalu kehangatanmu pemuisi abadi.

Puisi ini tiba-tiba membekali kita untuk memahami hikmah di balik petaka nanomonster COVID-19 yang memaksa manusia bertekuk lutut untuk mengenali hakikat diam, kala kita melakukan dialog sunyi dengan bumi. Bayangkan dialog, itu dalam Mr. Earth (Nalisa Binwang) : oh, our goodly Mr. Earth, / you give us beautiful flowers to admire, / lovely birds to see, / fresh air to breathe, / and great forest. / you treat human well like a special guest, / you give us places to live best. / but why Mr. Earth? / why you looks sad?

Selepas ini, mungkin manusia telah menyadari, merancang peradaban baru. Lantas dapat melayari kehidupan dengan peradaban baru, seperti amsal yang terpercik dalam puisi Di Ujung Cakrawala (Rosmala Dewi) :  perahu kecil berayun diujung cakrawala / pada batas pandang senja menuju gelap / aku melangkah gontai ditopang daya sisa / pada bibir pantai yang mengejar gelombang / meninggalkan jejak yang tak terhapus waktu / kekal melekat pada hamparan yang lalu // mimpi kulepas dari genggaman / juntai harapan enggan ku urai / nurani membasuh dinding hati / mengalir pada nadi yang mengunci / selalu kurindu sapa ayat ayat Mu / menghentikan batas pencarian // kulantunkan nama megah Mu / Al Kudus, Al Malikul, Al Jabar / meluruh pada setiap nafasku / aku sungguh hanya hamba Mu|. Di ujung cakrawala itu, manusia berbisik pada insan sesama : yang…. / ini bunga terakhir / yang tak mangkir / dari petir menuju sukacita, bebas petaka. Tabek. |

 

Editor : Web Administrator | Sumber : dari pegantar buku Mengeja Semesta
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Humaniora
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 104
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 520
Momentum Cinta
12 Mar 24, 01:26 WIB | Dilihat : 529
Shaum Ramadan Kita
09 Mar 24, 04:38 WIB | Dilihat : 447
Pilot dan Co Pilot Tertidur dalam Penerbangan
Selanjutnya