Obituari Jakob Oetama

Suluh Bangsa itu Padam Menuju TerangNya

| dilihat 729

N. Syamsuddin Ch. Haesy

KEMATIAN adalah niscaya. Dan ketika seorang jurnalis senior yang konsisten dengan prinsip jurnalisme berbasis kebangsaan, keilmuan dan kemanusiaan, pergi meninggalkan kita, terasa suluh bangsa padam.

Itulah yang membuat saya sangat berduka mendengar kabar wafatnya Pak Jakob Oetama (JO), Rabu - 9 September 2020, lepas tengah hari.

Pak Jakob, kelahiran Borobudur, Magelang - Jawa Tengah, 17 September 1931 kembali kepada Penciptanya, sepekan sebelum usianya genap 89 tahun.

Sebagai seorang jurnalis yang berangkat dari hasrat menjadi seorang guru, Pak JO telah memberi makna atas fungsi utama media sebagai medium titik temu, penyeimbang di tengah pluralisma dan multikulturalisma.

Pak JO adalah jurnalis jalan kebajikan yang mampu memadupadan keindonesiaan - keilmuan dan kemanusiaan itu, pergi meninggalkan keteladanan luar biasa.

Pikirannya selalu terasah, ujung penanya tak pernah patah, dan kejernihan pikirannya tentang sesuatu peristiwa sebagai fenomena merupakan rangkaian solusi yang selalu dengan porsi cukup. Tidak berlebihan.

Saya mengenal Pak JO sebagai sosok manusia humanis yang melihat siapapun, utuh seluruh sebagai manusia. Di matanya, nilai manusia sebagai potensi kebajikan, sedemikian besar.

Itulah sebabnya prinsip-prinsip kemanusiaan menjadi nilai dalam keseluruhan konteks budaya korporat di lingkungan Kelompok Kompas Gramedia.

Ketika masih mahasiswa dan giat sebagai aktivis kampus, dekade 70-an, saya sering menulis opini di berbagai surat kabar, termasuk di Harian Kompas.

Artikel saya bertajuk, "Mau Masuk Surga, Jadilah Wartawan Indonesia,"  November 1980, mempertemukan saya dengan Pak JO. Tidak sengaja. Tapi itulah awal pembelajaran panjang saya tentang jurnalisme humanis yang berpijak pada nilai dasar: akurasi, akurasi, dan akurasi !

Pak JO memberikan apresiasi atas artikel saya yang mengupas tentang ayat pertama Kode Etik Jurnalistik (KEJ), masa itu. Di situ saya seperti sedang masuk ke dalam gerbang tentang pemahaman kode etik jurnalistik sebagai suatu rumusan idealistic frame.

Jurnalis, dalam rumusan ayat 1 KEJ saat itu, tak hanya sebagai insan Pancasilais, lebih jauh lagi, menegaskan identitas wartawan Indonesia sebagai insan bertaqwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, dan berkomitmen kuat pada kebenaran, dengan dua kata penguat: konsisten dan konsekuen.

Ketika itulah Pak JO yang memanggil saya dengan "Bung." Dalam obrolan di Palmerah Selatan, itu Pak JO mentransfer nilai dasar profesi jurnalistik yang saya pegang teguh sampai kini, berjarak dengan peristiwa.

Saya suka suaranya sejak dulu. Dalam, dengan langgam yang kalem, dengan narasi yang tartil. Iramanya terjaga. Narasi dan diksinya jelas, tertata.

Ketika saya menjadi bagian dari Kelompok Kompas Gramedia (KKG) beberapa tahun kemudian -- bersama Arswendo Atmowiloto, Veven Sp Wardhana, Dwi Koendoro (Panji Koming), Rachmat Ryadi (Timun), Irwan, dan lain-lain -- pengenalan tentang pemikiran dan sikap kejuangan jurnalisme Pak JO makin berpengaruh.

Boleh jadi karena kerap mengikuti tulisan-tulisan Pak JO dalam Tajuk Rencana, saya memahami esensi 'mata hati, kata hati' sebagai daya gerak 'hati nurani rakyat,' dengan artikulasi intelektual.

Hal ini banyak mempengaruhi saya ketika sedang berproses menemukan data-style. Setidaknya. masa itu saya coba memadu-padan sikap dan cara Pak JO, Pak Mochtar Lubis, dan Kak Bo (Mahbub Djunaedi) dalam memilih sudut pandang, cara pandang, dan artikulasi. Menempatkan referensi ke dalam proses penulisan.

Saya beruntung karena beroleh panduan awal cara menggali sumber informasi dari Zainal Bintang dan Irsyad Sudiro, sehingga dapat 'mengawinkan' cara mengartikulasikan pikiran Pak JO, Mochtar Lubis, dan Kak BO.  Kesemua ini sangat membantu ketika kemudian berinteraksi dengan Masmimar Mangiang dan Zulhasril Natsir dalam mengaktualisasi akurasi melalui proses pengujian data.

Kesemua itu sangat membantu kerja jurnalistik di lapangan pada masa surat kabar mudah dibreidel, lewat pencabutan Surat Izin Terbit dan Surat Izin Cetak. Kompas sempat mengalami jeda beberapa saat, ketika bersama beberapa suratkabar lain 'dihentikan' penerbitannya.

Ketika SIT berubah menjadi SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dan kebebasan pers lebih longgar, Kompas -- mungkin -- satu-satunya surat kabar yang masih menuliskan "SIC : Laksus Pangkopkamtib... dan seterusnya."

Ketika saya tanyakan soal ini dalam suatu kesempatan Kongres SPS, Pak JO menjelaskan tentang realitas historis ini. Khasnya tentang pemahaman transformasi kelembagaan tata kelola penerbitan pers yang berbeda dari masa ke masa, sejak Undang Undang No. 11 / 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers menjadi Undang Undang No. 4 / 1967,  Undang Undang No 21 / 82, sampai UU No. 40 / 1999 tentang Pers.

Dari jawaban Pak JO saya mendapat wawasan baru tentang cara menempatkan eksistensi pers sebagai medium perjuangan kebangsaan, kemanusiaan, dan keilmuan di satu sisi, yang harus dikelola secara profesional dan proporsional dalam konteks bisnis.

Tidak hanya karena eksistensi institusi pers menyangkut kepentingan insan pers dan ikutan sosialnya dalam konteks kesejahteraan untuk menjamin independensi dan watak kepejuangannya. Juga karena institusi pers berkaitan dengan keseluruhan konteks keselamatan dan kebangsaan, yang di dalamnya termasuk kesejahteraan rakyat.

Dari pandangan ini dan berbagai pandangan Pak JO lainnya, yang lebih melihat kemerdekaan pers sebagai terminologi sekaligus idiom utuh, katimbang rumusan 'kebebasan yang bertanggungjawab.' Dengan terminologi ini, tugas utama pers (menurut Ilham Bintang) untuk menguji kebenaran, lebih jelas diaktualisasikan sekialigus diartikulasikan.

Dalam konteks institusionalisasi -- Pemerintah Orde Baru menegaskan pers sebagai institusi sosiologis -- pemahaman tentang Kemerdekaan Pers yang dikemukakan Pak JO mengantar insan pers memahami keberadaan institusional pers yang pada masanya 'ada dan ketiadaan formal.'

Terutama ketika singularity sebagai akibat langsung dari produk-produk kecerdasan buatan (artificial intelligent) menghidupkan transhumanity, seperti yang ungkapkan James Martin (2007) kemudian. Ketika skill masyarakat melampaui kearifan budaya dengan segala nilai yang menyertainya.

Beberapa pandangan dan pemikiran Pak JO terkait dengan pers, baik sebagai Pemimpin Utama Kompas ( ketika PK Ojong), maupun sebagai Ketua Umum SPS, dalam banyak hal memandu insan pers menggerakkan visioneering, sebagai penggerak visioneering bangsa. Terutama, ketika masyarakat di dunia mesti menerima realitas 'berakhirnya institusi,' seperti yang diungkapkan Georges Balandier (2008).

Paling tidak untuk menganalisis realitas perubahan, ketika dari sudut pandang industri pers mesti mengalami perubahan cepat dengan formasi baru: multimedia, multi platform, dan multi formula.

Perkembangan sains dan teknologi yang bergerak dari era kertas ke era digital, tak bisa tidak, menghadapkan kita pada proses melemahnya institusi, yang menurut Balandier, semakin tidak cocok untuk situasi yang terus berubah.

Pers, disadari atauy tidak, akan semakin kehilangan kredibilitas dan efektivitasnya, sebagai akibat dari proses 'krisis institusi' yang terus menerus menampakkan sosoknya. Di sini, komitmen kaderisasi insan pers Pak JO di lingkungan internal KKG menjadi terasa 'daya luwih'-nya. Terutama ketika KKG harus mengambil beberapa cara strategis melakukan konvergensi -- sebagai media arus utama -- di tengah kompetisi dengan media sosial, yang memungkinkan 'semua orang bisa berkecipak di samodera media.'

Khasnya, ketika menjadi pewarta dan pemilik media, seolah-olah mudah, meski faktanya di tengah kemudahan itu justru banyak media mengakhiri keberadaannya.

Tokoh Pers, sosok Manusia Indonesia yang sungguh putera terbaik, pejuang kemanusiaan - kebangsaan - keilmuan, itu dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata (Kamis, 10/9/20). Ia kembali ke Pencipta, Pemilik, dan Pemelihara semesta aksara yang mendidik manusia dengan 'kalam,' di tengah proses perubahan dahsyat penghujung era kertas ke era digital.

Satu dari sedikit suluh bangsa itu berpulang, mencapai terang-Nya, ketika kita sedang melintasi lorong gelap ketidakpastian. Selamat berpulang Pak JO. |

Editor : Web Administrator | Sumber : foto-foto Kompas Gramedia
 
Energi & Tambang
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 166
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 337
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 364
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 332
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya