Mencermati Peta Jalan Pendidikan 2035

Peta Jalan Keselamatan

| dilihat 1126

Bang Sém

Jangan pernah membongkar rumah, bila belum pernah tahu mengapa rumah itu dibangun pertama kali.

Ini salah satu pelajaran awal ihwal transformasi sebagai perubahan dramatik dari Lao Tse. Seluruh pemimpin Tiongkok, termasuk Mao Ze Dong konsisten dengan nilai yang terkandung di balik pelajaran ini.

Tembok Cina menjadi simbol kongkret ihwal bagaimana sustainabilitas dijaga dan terjaga, meski terminologi dari perubahan berubah-ubah, menjadi revolusi, reformasi, dan transformasi itu sendiri.

Jepang juga melakukan hal yang relatif sama ketika melakukan restorasi Meiji. Konsisten melakukan langkah tranformasi sebagai jalan perubahan membuat kondisi lebih baik dari masa ke masa.

Transformasi memandu perubahan suatu masyarakat, negara, dan bangsa melalui pendidikan yang tak terpisah dari tiangle of life : manusia - alam - Tuhan. Pendidikan yang memainkan peran strategis dalam membentuk manusia sebagai modal insan yang berkualitas paripurna. Dalam konteks Indonesia, kita dapat menyebutnya sebagai Manusia Pancasilais. Yakni manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, manusiawi dan berkeadilan, cenderung pada persatuan kebangsaan, demokratis dan berani bermusyawarah untuk mencapai mufakat, dan konsisten menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kualifikasi ini yang jelas tersirat dan tersurat dalam konstitusi dan undang-undang sistem pendidikan nasional (UU No.20/2003). Undang-undang yang secara eksplisit menegaskan, bahwa "Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara."

Pendidikan nasional yang dimaksudkan undang-undang ini tegas dinyatakan secara tersurat,   "berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman."

Bahkan secara eksplisit dinyatakan, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Maknanya adalah, pendidikan nasional tidak hanya ditujukan untuk mencapai kondisi masyarakat maju yang kompeten dan sejahtera. Jauh dari itu, yakni masyarakat pembelajar (learning society), maju dan kompeten (kreatif, inovatif, inventif), berkemauan dan berkemampuan menghabdi kepada rakyat, negara dan bangsanya, beriman dan bertaqwa, dan bertanggungjawab menciptakan masyarakat adil makmur yang diridhai Tuhan Yang Mahaesa.

Beranjak dari pandangan ini, peta jalan pendidikan nasional yang ditawarkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional, mesti disikapi supaya sungguh menjadi peta jalan menuju keselamatan bangsa di masa depan, bukan peta jalan menuju kehancuran.

Visi Pendidikan Indonesia 2035 dalam konsep Peta Jalan Pendidikan, menyatakan :  "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."

Kita perlu membaca ulang dan bisa tidak bersepakat dengan visi ini. Seperti saya tak bersepakat dengan masih digunakannya istilah sumber daya manusia (SDM) yang terkesan pasif dan masih menempatkan manusia hanya sebagai bagian dari mekanisme sistem, padahal dalam tataran global posisi manusia sebagai hasil akhir proses pendidikan, merupakan subyek.  Pun demikian, tiadanya frasa agama yang terkorelasi langsung dengan esensi iman dan takwa perlu dipertanyakan.

Setarikan nafas, melihat realitas persoalan dunia yang rapuh digempur perubahan sontak (pandemi Covid-19), keperluan masa depan kita adalah modal insan - baik dalam pengertian human capital maupun human investment yang lebih berdaya sebagai subyek dalalam keseluruhan konteks kehidupan.

Penyelenggaraan sistem pendidikan dengan demikian, harus bersifat holistik, selain bertumpu pada aspek kognitif, afektif dan psikomotorik saja dengan dimensi kedalaman insaniahnya, sebagai manusia paripurna, et perfectum hominem. Dalam konteks ini, tak perlu alergi dan mengganti terminologi pendidikan agama dengan pendidikan akhlak dan budaya, yang malah menimbulkan confusione logice alias sesat pikir.

Manusia yang dalam trilogi awal kebangkitan kebangsaan Indonesia yang diajarkan HOS Tjokroaminoto kepada Bung Karno cum suis: "sebersih-bersih tauhid (iman dan takwa), ilmu pengetahuan, dan siasah (cara hidup)."

Dengan demikian, karakteristik tipologi insan pembelajar Indonesia adalah: Beriman dan Bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa (dengan sendirinya harus berakhlak mulia); Mandiri; Berakalbudi Kritis (mempunyai harmonitas nalar, nurani, naluri, rasa dan dria); Kreatif dan Inovatif; Bersatu dan Bergotong Royong; dan Berwawasan Global.

Istilah berkebhinnekaan global cenderung mereduksi hakekat dan filososi utama bhinneka tunggal ika dan hanya berkutat pada pluralisma dan multikulturalisma. Padahal yang diperlukan kelak oleh seluruh warga bangsa Indonesia adalah menegaskan eksistensinya sebagai warga dunia yang berkomitmen pada persatuan dan perdamaian dunia, sekaligus menjadi pelopor universe prosperity (kesejahteraan semesta), sebagai alternatif di tengah rontoknya kapitalisme global dan sosialisme mondial.

'Berkebhinnekaan global' akan cenderung mendorong masyarakat didik Indonesia yang disebut sebagai 'pelajar pancasila(is)' memberikan refleksi 'internasionalisme,' yang sejak dekade akhir 1960-an sudah dikoreksi oleh proses transformasi kebangsaan Indonesia.

Penggunaan istilah 'Berkebhinnekaan global' memberi ruang bagi berlangsungnya arus balik ke masa lampau, padahal keperluan kita kini dan mendatang adalah bergerak kembali ke garis azimuth ke-Indonesia-an sebagai bangsa yang berdaulat, mandiri, dan unggul dalam peradaban.

Kompetisi global dengan internet on think, artificial intelligent, dan berbagai hal lain yang menyertainya, hanya akan mampu dikendalikan oleh manusia dengan kemerdekaan sejati. Karenanya, dimensi 'berwawasan global' dengan daya kecerdasan budaya Indonesia, mestinya menjadi pilihan kualifikasi insaniah manusia pembelajar Indonesia.

Transformasi kebangsaan adalah niscaya sebagai cara kembali kepada garis azimuth kebangsaan yang tersurat dan tersirat dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, dimulai oleh Mosi Integral Moh. Natsir, (3 April 1950) di sidang parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS), yang meneguhkan Negara Republik Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebagai remanifestasi bhinneka tunggal ika, karena KMB (Konferensi Meja Bundar) dengan spirit kebhinnekaan global, masih mengakomodasi sisa RIS, yang membuka ruang bagi terburainya Indonesia dengan 16 negara bagian. Itu sebabnya Bung Karno menyebut Moh Natsir sebagai "hij is de man," -- dialah orangnya -- sebagai teladan sosok negarawan.

Peta jalan pendidikan nasional memerlukan pematangan supaya sungguh menjadi peta jalan bagi kemuliaan bangsa. Bukan sekadar jalan untuk meneguhkan sikap 'yakin usaha sampai' dalam mewujudkan pelajar pancasila(is).

Setiap petinggi bebas merdeka mengemukakan pikiran dan gagasan apa saja, termasuk merefleksikan fantasi global di ujung rontoknya globalisme. Tapi, jangan didik anak-anak dan generasi baru ke ujung jalan buntu! Ke jalan yang menghabiskan energi dan waktu untuk bersoal dan sentak sengor soal seragam sekolah dan mencari 'ketiak ular' tentang kebhinnekaan yang sudah ada sejak manusia dilahirkan.

Manfaatkan waktu dan energi untuk menemukan cara terbaik mengendalikan singularitas, melayari transhumanisme, menyeimbangkan keterampilan dengan kearifan, merancang peradaban baru, yang mampu membalikkan kemiskinan, mampu memelihara bumi, memanfaatkan bandwidth secara efektif, melawan keserakahan dan ketamakan, sekaligus mencegah agar tak ada lagi generasi baru yang merompak bantuan sosial bagi rakyat di masa susah, tak pula mengkuras kekayaan sumberdaya manusia yang memelihara ketimpangan sosial.

Karenanya, semua kalangan mesti concern mencermati Peta Jalan Pendidikan 2035 secara kritis dengan pandangan segar, dengan perspektif: Indonesia mesti menjadi praecursor motus instituto ad sarta, pelopor perbaikan tanpa henti sebagaimana manifestasi keimanan dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Mahaesa. Karena manusia terbaik dalam dimensi ekuitas ekualitas, adalah yang paling bermutu keimanan dan ketakwaannya. Sempurnakan dan kritisi Peta Jalan Pendidikan 2035 sebagai peta jalan keselamatan !| 

Jakarta 10 Maret 2021

***


penulis, Wakil Ketua Umum Perkumpulan UMA [Usaha Memajukan Anakbangsa]

Editor : eCatri
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 340
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 335
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Energi & Tambang