MARI bicara tentang pemanfaatan danau, sungai, dan sumber daya alam potensial untuk dikembangkan sebagai sumberdaya energi, pertanian, dan perikehidupan masyarakat. Semua itu, dalam berbagai pandangan, berpulang pada bagaimana masyarakat disiapkan untuk berinteraksi dengan beragam perubahan sosio budaya yang pasti terjadi. Tak terkecuali proses transformasi peradaban tanpa menghilangkan kearifan dan kecerdasan lokal.
Kearifan dan kecerdasan yang hidup dan berkembang melalui sumberdaya manusia yang mampu berfikir, bersikap, dan bertindak menjamin keberlanjutan (sustainabilitas) kehidupan masyarakat ke masa mendatang.
Kekayaan bahan mineral, mulai dari nikel, bijih besi, dan lainnya di Luwu Timur dan sekitarnya, yang berada di kawasan Kawasan Nasional Strategis Sorowako, ini sesungguhnya telah dicatat sejak lama oleh berbagai pemikir Yunani, berdasarkan beragam informasi yang diperoleh para pelaut yang mendarat di Pulau Sulawesi, khususnya di Teluk Bone.
Ptolemeus, lewat Naturale Historiae, yang memperoleh informasi lanjutan dari pelaut Alexander, mengungkapkan secara metaforik gambaran kekayaan itu, dengan julukan “Negeri Emas” dan “Negeri Perak”, dan bahkan “Semenanjung emas”. Sebelumnya dalam Ramayana, dikisahkan ihwal Jawadwipa, pulau Padi yang dikelilingi oleh Pulau Emas dan Perak, mempunyai sumberdaya alam yang kaya dengan tambang emas di masa depan. Di negeri yang paling jauh di bumi, dari cerita epik itu, terdapat gunung Çiçira, tempat turun para Dewa dan Raksasa. Di pulau itu pula, pujangga Parakitri, menyebut bahan utama perkakas dan senjata dari logam, memperoleh bahan baku utama.
Bernard H.M Vlakke (1961) meyakini apa yang digambarkan Ptolemeus dan Parakitri itu, adalah kepulauan Indonesia, berdasarkan informasi para pelaut yang memang betul-betul telah mengunjungi kepulauan Nusantara, khasnya Indonesia. Dalam konteks La Galigo dan Negarakretagama, banyak kalangan yang meyakini, bahwa tempat tegaknya gunung Çiçira itu adalah Luwu, dan kepulauan emas dan perak itu adalah pulau-pulau di kawasan Timur Indonesia, yang terkait persepsi Perry, boleh disebut sebagai kawasan ‘di Timur Matahari’.
BUKIT BAGIAN PEGUNUNGAN VERBECK DI ATAS PANTAI LAMPIA YANG DIYAKINI MENJADI SALAH SATU TEMPAT MENDARAT PELAUT EROPA MASA LAMPAU
Sangat boleh jadi, keyakinan atas turunnya Bhatara Guru, dewa tertinggi dari mazhab Shiwaisme dalam Hindu, di Luwu memperoleh pembenaran -- dengan aneka prasasti dan artefak yang ditemukan di berbagai wilayah Indonesia. Termasuk prasasti yang ditemukan di Kaman, Kutai, sebagai prasasti tertua dan pertama yang ditemukan di kepulauan Indonesia. Prasasti, yang secara tersirat memberi petunjuk, bahwa sebelum Hindu masuk ke Indonesia, sudah terdapat masyarakat yang hidup dengan tata sosial yang teratur.
Eksistensi Bhatara Guru sendiri melekat dalam begitu banyak dokumen perkembangan peradaban manusia di Jawa, dan berbagai bagian wilayah kepulauan Nusantara.
Kesemua itu memberi gambaran dengan seksama, alam sebagai cawandatu mengisyaratkan manusia untuk tak pernah henti melakukan upaya cerdas dan bijak mengelola dan memeliharanya. Potensi sumber daya alam, selalu dijaga oleh para dewa, para datu, dan bahkan makhluk lain yang sama diciptakan Tuhan. Esensi asasinya adalah, sumberdaya alam merupakan wahana hidup dan kehidupan seluruh makhluk, yang dari masa ke masa harus dipelihara dengan sebaik-baiknya.
Ketika agama-agama samawi menjadi pilihan nilai bagi masyarakat bangsa-bangsa di belahan Timur Matahari, yang terlebih dahulu memegang teguh nilai panteisme, kesadaran untuk melindungi, menjaga, dan memelihara sumberdaya alam, semakin teguh.
Untuk Kebutuhan Primer
DALAM mengelola potensi sumberdaya alam yang sedemikian kaya, itu masyarakat di kepulauan Nusantara, melalui para Datu (Raja dan Sultan), mengekspresikan berbagai ketegasan sikap, yang sekaligus merefleksikan pola fikir masyarakatnya.
Pertama, alam diciptakan dan disediakan bagi manusia untuk kemaslahatan kolektif, yang mampu memenuhi hajat atau kebutuhan hidup dari masa ke masa, yang tak pernah mereka ketahui akhirnya. Karena itu, pengelolaan sumberdaya alam, harus dilakukan sesuai kebutuhan primer belaka. Apa yang nampak dari pola fikir masyarakat Dayak dan masyarakat dari kelompok etnis lainnya menunjukkan, pola ini dalam bahasa kini, dapat disebut sebagai pola pembudidayaan potensi sumberdaya alam secara efektif dan efisien. Jauh dari keserakahan, apalagi eksploitasi berlebih-lebihan;
MENUJU MUARA TELUK BONE DARI SUNGAI MALILI
Kedua, karena sumberdaya alam diciptakan untuk kemaslahatan kolektif, maka harus dilakukan pengaturan secara adat, melalui regulasi yang disepakati dan dipatuhi bersama. Regulasi inilah yang mengendalikan setiap unsur yang berhubungan langsung dan tak langsung terhadap budidaya sumberdaya alam, untuk melihat hubungan korelasi manusia dan alam dalam harmonitas hidup berkelanjutan. Tidak boleh satupun komunitas yang dapat semena-mena melakukan eksploitasi atas sumberdaya alam secara monopolistik. Sistem regulasi atau hukum adat memberikan sanksi yang keras untuk setiap pelanggaran yang terjadi.
Ketiga, karena manusia berhak atas sumberdaya alam yang disediakan Tuhan kepadanya, maka bagi mereka juga berlaku kewajiban untuk memelihara alam dengan sebaik-baiknya. Lalu, mengembalikan kondisi sumber daya alam yang telah dieksplorasi dan dieksploitasi, secara efektif dan efisien, sebagaimana kondisi sebelum dibudi-dayakan.
Ketiga faktor ini, patut diduga, menumbuhkan tanggung jawab para datu dan sultan, baik atas tanah maupun air, daratan maupun lautan. Hal ini, relevan dengan mata pencaharian masyarakat di Kepulauan Nusantara, yang sejak masa sebelumnya, hidup dari kekayaan sumberdaya alam. Baik sebagai petani, nelayan, maupun pedagang. Khusus di Sulawesi dan bagian-bagian Indonesia Timur lainnya, kesemua itu merefleksikan ketegasan sikap seluruh pemimpin suku-suku di Kepulauan Nusantara, yang tidak memberi toleransi kepada bangsa manapun untuk melakukan intervensi dan menguasai potensi sumberdaya alam yang diberikan Tuhan.
Mereka mengolah potensi sumberdaya alam berupa hutan, kebun, ladang, dan sawah dengan beragam sistem dan model pengembangan bagi kemaslahatan kolektif. Antara lain, melalui prinsip-prinsip seperti tercermin dalam tudang sipulung, yang menjadi model kelembagaan sosial untuk melakukan musyawarah dalam mengelola pertanian sebagai sumber nafkah utama.
Kondisi di iklim dan relief alam di kawasan timur Indonesia yang beragam, memungkinkan beragamnya pola pertanian. Termasuk pertanian di perladangan, yang dalam banyak hal, juga memengaruhi terbentuknya pola migrasi penduduk. Namun, dengan dinamikanya yang spesifik, secara bertahap berkembang pula relasi – korelasi sosial, yang kemudian, membentuk kerjasama antar komunitas. Pada mulanya, memang untuk proses pembudidayaan sumberdaya alam yang disediakan Tuhan kepadanya. | BERSAMBUNG