IMAGINEERING banyak diterapkan untuk menemukan berbagai solusi atas berbagai masalah yang menimpa begitu banyak perusahaan dan bahkan bangsa. Perkembangannya bergerak cepat di belantara Eropa dan Amerika dan merambah ke berbagai sektor kehidupan.
Thomas Wallace, mengembangkan Human Imagineering, diikuti oleh Jack Rasso, 1997. Terutama untuk melakukan perubahan di lingkungan divisi sumberdaya manusia perusahaan.
Jack mengembangkan metode visual therapy sebagai salah satu teknik imagineering. Akan halnya Richard Bach, memperkaya imagineering dengan berbagai kajian perencanaan bisnis dalam melakukan “drawing” pada proses perencanaan bisnis.
Tidak hanya melihat visualisasi kesuksesan yang banyak dilahirkan oleh mimpi kolektif pada saat mendirikan perusahaan. Melainkan juga, beragam kemungkinan buruk yang bakal terjadi. Termasuk kebangkrutan pada suatu masa tertentu.
Imagineering dipergunakan sebagai basic guide line dalam menyusun master business plan. Terutama untuk memisahkan aneka obsesi dari fantasi liar yang hanya didorong oleh hasrat dan keinginan subyektif, dan realitas pertama yang akan terjadi dan dialami, ketika terjadi penyimpangan atas master business plan yang “ biasanya “ disusun berdasarkan obsesi dan asumsi-asumsi idealistik.
Dalam memprediksi masa depan suatu perusahaan, serta menemukan solusi atas berbagai problematika bisnis yang akan dihadapi, imagineering dipergunakan sebagai panduan menemukan masalah, mencari dan melaksanakan solusinya. Salah satu metode yang dikembangkan adalah visioneering, melalui metode sceenario planning.
Suatu teknik perencanaan memprediksi masa depan dengan menggunakan berbagai pendekatan secara egaliter dan tetap berada dalam koridor manajemen bisnis.
Norman Vincent Peale, seorang motivator bisnis yang banyak menulis buku tentang pengembangan pribadi di lingkungan bisnis, di luar kesadarannya menerapkan metode imagineering, untuk sampai kepada pemahaman asasi atas pandangan Marcus Aurelius.
Wiseman dari Roma, itu menyatakan: “Hidup kita adalah apa yang diciptakan oleh pikiran kita”. Aurelius sampai pada kesimpulan itu, setelah bertahun-tahun merenungkan hakekat pikiran, yang selalu berinteraksi dengan mimpi (yang kemudian melahirkan ilusi, fantasi, dan imajinasi).
Ia, sebagaimana halnya Arthur Brisbane, pakar man power planning dari negerinya Obama, baru memahami kebiasaan John D. Rockheffeler Sr, yang membayar mahal seorang laki-laki, yang pekerjaannya hanya duduk-duduk dan memikirkan gagasan-gagasan kreatif, ide-ide baru untuk bisnisnya. Kesadaran Rockeffeler Sr., itulah yang oleh De Bono, disebut sebagai ‘kesadaran imagineering‘ .
Sevara metodologi, imagineering memandu siapa saja, untuk mau dan mampu merumuskan sentra kepedulian terhadap masalah yang dihadapi suatu perusahaan, di tengah begitu banyaknya want dan need berhamburan di benak para pendirinya. Sentra kepedulian itu dihadapkan dengan berbagai indikator realitas di seluruh aspek kekuatan pendorong yang dimiliki perusahaan. Untuk akhirnya mampu mendeskripsikan kondisi terburuk dan kondisi ideal masa depannya.
Imagineering dalam keseluruhan konteks keberadaannya sebagai suatu pengetahuan aplikatif, juga disebut sebagai instrumen strategis dalam melakukan proses perubahan.
Di dunia bisnis, imagineering menawarkan alternatif progresif terkait perubahan mindset tentang anti marketing mind. Faktor asasi aktivitas bisnis, untuk menendang jauh-jauh kedunguan yang menyebabkan potensi sumberdaya manusia di suatu perusahaan tergiring oleh orientasi struktural, memburu posisi, hanya untuk memperoleh imbalan besar.
Membekuk kedunguan sebagian manusia yang memandang posisi managerial tertinggi sebagai puncak profesionalitas. Melempar jauh-jauh para pengambil keputusan yang ragu-ragu mengambil keputusan, lantaran menganggap para pemikir kreatif sebagai risktaker yang karib dengan para gambler.
Imagineering membantu siapa saja, terutama para profesional, membebaskan dirinya dari kemandegan berpikir, dan kelelahan batin menghadapi situasi dan kondisi yang berubah dan bergerak terlampau dinamis.
Para ‘tukang‘ yang ditugaskan mengelola manajemen, dan mencapai puncak karirnya hanya sebagai robot bagi para owners. Padahal, perkembangan bisnis kontemporer lebih memerlukan para profesional yang bisa memberikan prediksi yang seimbang.
Imagineering sebagai instrumen perubahan, menurut Nijs, laksana rahim ibu yang hanya melahirkan bayi unggulan bagi masa depan.| Bang Sem