Dimensi Kata di Tangan Sapardi Djoko Damono

| dilihat 1712

N. Syamsuddin Ch. Haesy

Sejak belia, saya bersentuhan dengan puisi-puisi pernyair yang memantik kehendak dan keinginan untuk membaca, mengapresiasi, dan menulis puisi. Salah satu dari sedikit penyair yang karyanya banyak menggugah saya untuk mencintai dan menyelami puisi adalah Sapardi Djoko Damono.

Adalah Sapardi Djoko Damono juga -- selain Abdul Hadi WM -- yang dalam banyak hal memberi isyarat menarik antara dunia kepenyairan dan kecendekiaan dalam makna yang sesungguhnya, dan mengabdikan dirinya dalam dunia akademik yang formal. Boleh jadi, dua dunia ini kepenyairan dan intelektualitas - akademik ini, yang menghidupkan dimensi kata dalam puisi-puisinya.

Penyair sekaligus Profesor -- yang tak hanya sekadar sandangan jabatan akademik -- Sapardi Djoko Damono, sejak dulu, tak tergoda dengan cangkang, karena kualitas dirinya, memang selalu cenderung mengutamakan isi pemikiran dan pergulatan batin. Karya monumentalnya, Mata Pisau, menghentak saya pada usia belia, di tengah gebalau dinamika orang muda berekspresi di jalan kota, menolak dominasi modal asing (Jepun) dalam proses pembangunan yang menjadikan ekonomi sebagai panglima, menggantikan 'politik sebagai panglima' di era sebelumnya, yang membuat kehidupan sosial ekonomi rakyat morat marit.

Adalah puisi Mata Pisau, yang mengusik pemahaman awal saya tentang hakekat kata, menghadapkan nalar dan naluri dengan fantasi, dan begitu dramatis. Belakangan, bahkan sampai kini, puisi ini selalu menghadapkan saya pada kenyataan, "belum sungguh mampu menulis puisi." Coba rasakan, bagaimana puisi ini begitu 'bernyawa,' dan memberikan pilihan bebas kepada penikmatnya untuk memilih perspektif sendiri: Mata pisau itu tak berkejap menatap mu / kau yang baru saja mengasahnya / berfikir: ia tajam untuk mengiris apel / yang tersedia di atas meja / sehabis makan malam; /  ia berkilat ketika terbayang olehnya urat leher mu //>

Rasa bahasa, makna bahasa, dan daya bahasa, membuat kata menjadi berdimensi. Mengusik penikmat puisinya untuk tidak hanya berfantasi secara tidak sederhana atas sesuatu yang sederhana. Jauh dari itu, menempatkan kesederhanaan dan kesahajaan menjadi medium maknawi atas kata. Di balik puisi ini, manusia memang dihadapkan kepada pilihan, bagaimana mesti mengambil posisi dan jarak atas realitas dan fantasi. Puisi Mata Pisau, juga menyediakan jarak nalar, naluri, rasa, dan dria sebagai daya kedalaman insaniah manusia atas benda mati, yang fungsinya sangat bergantung pada kematangan jiwa manusianya.  

Dimensi kata dalam pembebasan ruang dan waktu (yang belakangan saja baru tersadari oleh banyak kalangan) ketika singularitas - interaksi manusia dengan teknologi informasi dan kecerdasan buatan (artificial intelligent) secara penetratif hipodermis begitu kuat mempengaruhi kehidupan manusia. Sapardi Djoko Damono - membuka wawasan kita tentang dimensi ruang waktu lewat novel Yang Fana adalah Waktu dalam trilogi Hujan Bulan Juni dan Pingkan Melipat Jarak. Lewat tokoh-tokohnya: Pingkan, Sarwono dan Katsuo Noriko, Sapardi menyediakan ruang bagi pembaca untuk mengembara dalam ruang fantasi yang begitu luas. Tak hanya ihwal monolog batin Pingkan yang mengubah hatinya menjadi sungguh mencintai Sarwono - lelaki kerempeng asal Solo. Salah satu dialog yang menggoda adalah : “Aku tidak suka orang  yang sinis    kecuali    kamu    sebab kalau  kamu  sinis  benar-benar sampai    keakarnya    dengan keyakinan yang tak tergoyahkan."  Dan puisi bertajuk sama, melengkapi dimensi kata sebagai suatu daya bahasa yang sungguh orisinal: Yang fana adalah waktu / Kita abadi:  memungut detik demi detik, / merangkainya seperti bunga  / sampai pada suatu hari  / kita lupa untuk apa.  / "Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?"  tanyamu / Kita abadi. 

Imaji tentang ruang dan waktu mengalir dalam puisi ini, mempertemukan manusia dengan empirisma dan non empirisma, kefanaan waktu terpahami, sebagai 'sesuatu yang tak pernah bisa didaur ulang,' 'sesuatu yang terus bergerak dan tak tertambat.' Puisi alit naratif, ini kini, bila hendak dimanifestasikan dalam perspektif kehidupan sehari-hari akan menjadi sesuatu yang nyata. Terutama, kala kita terombang-ambing dalam ketidakpastian, kala kepastian tentang ajal, mesti berkompromi dengan momentum kematian. "Kita abadi," menjadi sesuatu yang menarik, kala hendak diselami dengan tantangan-tantangan abad ke 21, khasnya tentang risiko eksistensi manusia. Karena eksistensi yang sesungguhnya ada dalam karya (amal saleh), kepatuhan dan kesetiaan manusia kepada Pencipta-Nya. "Kita abadi," karena "aku " dan "kau" dipersatukan oleh cinta menjadi "kita." Karena anak keturunan sebagai buah cinta, mengabadikan karya: amal jariah dan ilmu yang bermanfaat.

Dalam konteks itu, puisinya bertajuk "Pada Suatu Hari Nanti,"  menegaskan bagaimana "Kita Abadi."  Saya mesti mengulang baca puisi ini: " pada suatu hari nanti / jasadku tak akan ada lagi / tapi dalam bait-bait sajak ini / kau tak akan kurelakan sendiri // pada suatu hari nanti  / suaraku tak terdengar lagi  / tapi di antara larik-larik sajak ini / kau akan tetap kusiasati // pada suatu hari nanti / impianku pun tak dikenal lagi / namun di sela-sela huruf sajak ini / kau tak akan letih-letihnya kucari."  Saya merasakan betapa cinta dan kesetiaan yang menghidupkannya menjadi ruh dalam puisi ini, meski kata "cinta" tak ada di dalamnya.

Jarak fisik menjadi tak relevan lagi, ketika hubungan antar manusia yang saling menyinta justru kian mesra dalam keseimbangan rasa dan harmoni batin, pun dalam konteks hubungan manusia dengan Tuhannya, kala 'hubungan cinta' antara makhluk dengan Khaliq-nya memandu manusia untuk mengenali hakikat ketiadaan kala ada, dan menjelma menjadi sesuatu yang selalu ada, justru ketika tiada. Hal itu abadi dalam sesuatu yang dikenal dengan suwung. Sapardi Djoko Damono, sampai pada kualifikasi manusia terbaik, bila meminjam pandangan al Ghazali. Yakni, manusia yang "merasakan sunyi di tengah ramai, dan ramai dalam sunyi."  Saya merasakan itu, saat membaca puisi bertajuk Hanya : “Hanya suara burung yang kau dengar / dan tak pernah kaulihat burung itu / tapi tahu burung itu ada di sana // hanya desir angin yang kaurasa / dan tak pernah kaulihat angin itu / tapi percaya angin itu di sekitarmu // hanya doaku yang bergetar malam ini / dan tak pernah kaulihat siapa aku / tapi yakin aku ada dalam dirimu.”

Oleh kematangan intelektualitasnya sebagai pensyarah dan guru besar, Sapardi Djoko Damono, membiarkan begitu saja dimensi kata hadir dan mengalir dengan beragam makna dan nilai yang bisa didekati siapa saja pembaca dan penikmat puisinya dengan berbagai perspektif. Bahkan bagi mereka yang hendak mendekati puisinya dengan pendekatan epistemologi. Sapardi sendiri, agaknya menyadari, manusia, tak hanya penyair, perlu mengambil jarak dengan kata. Terutama, ketika kata bermetamorfosa di tangan begitu banyak kalangan: politisi, jurnalis, sastrawan, ekonom, atau siapapun. Termasuk kecenderungan mengkapitalisasi kata-kata, atau bahkan mereduksi makna kata, yang sering kita saksikan di layar televisi.

Kapitalisme global yang rapuh fundamentalnya, seringkali memandu manusia melakukan konvergensi kata-kata menjadi angka-angka. Sapardi melihat realitas, itu. Pada puisinya bertajuk Metamorfosis, saya merasakan hal itu. Begini, puisi itu: ada yang sedang menanggalkan kata-kata /  yang satu demi satu mendudukkanmu di depan cermin / dan membuatmu bertanya / tubuh siapakah gerangan / yang kukenakan ini // ada yang sedang diam-diam / menulis riwayat hidupmu / menimbang-nimbang hari lahirmu / mereka-reka sebab-sebab kematianmu / ada yang sedang diam-diam / berubah menjadi dirimu.//

Obsesi manusia tentang formalisme dengan pola fikir strukturalis, para pemburu cangkang, menggeluti kata tanpa dimensi, bahkan nyaris menjadi 'sabda tanpa makna.' Semua dapat terlihat dalam tesis, disertai, pidato politik, orasi pengukuhan guru besar, pidato resmi kenegaraan, presentasi bisnis, aksi pemasaran produk, berita-berita yang tak terkonfirmasi, opini influencer politik dan ekonomi, sedangkan sebagian kalangan berhemat kata, karena lebih memilih bahasa tubuh yang jelma dalam manifestasi imaji kreatif ke dalam gerak tarian, gerak tubuh dalam ritual-ritual tradisi dan bahkan gumaman doa dalam komunikasi amat personal manusia dengan Tuhan-nya. Aksi yang lebih bernilai lebih.

Dalam konteks itu, boleh jadi, fenomena alam justru memberi dimensi kata lebih terasakan dayanya. Hujan, misalnya. Coba simak Sapardi Djoko Damono tentang Sihir Hujan:  Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan -- swaranya bisa dibeda-bedakan; / kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela./ Meskipun sudah kau matikan lampu. / Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, / telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan - - menyihirmu / agar sama sekali tak sempat mengaduh / waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan //

Aksara dan kata, memang tak kan pernah kehilangan peran, sepanjang manusia masih menjadi homo socius, tak terlena hanya sebagai homo faber apalagi homo economicus. Melainkan manusia berbudaya yang mesti bergelut dengan artistika, estetika dan etika. Sapardi, yang wafat pada Ahad (19/07/20) mewariskan kita ilmu memaknai kata, sehingga kata sungguh berdimensi dan bermakna. Baik yang mewujud dalam puisi, prosa, temasuk novel, esai, dan lainnya.

Makna dimensi kata di tangan Sapardi Djoko Damono, dapat ditelusuri lewat karya-karyanya: “Duka-Mu Abadi”, Bandung (1969); “Lelaki Tua dan Laut” (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway); “Mata Pisau” (1974); “Sepilihan Sajak George Seferis” (1975; terjemahan karya George Seferis); “Puisi Klasik Cina” (1976; terjemahan); “Lirik Klasik Parsi” (1977; terjemahan); “Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak” (1982, Pustaka Jaya); “Perahu Kertas” (1983); “Sihir Hujan” (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia); “Water Color Poems” (1986; translated by J.H. McGlynn); “Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono” (1988; translated by J.H. McGlynn); “Afrika yang Resah (1988; terjemahan); “Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia” (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R.F: Brissenden dan David Broks); “Hujan Bulan Juni” (1994); “Black Magic Rain” (translated by Harry G Aveling); “Arloji” (1998); “Ayat-ayat Api” (2000); “Pengarang Telah Mati” (2001; kumpulan cerpen); “Mata Jendela” (2002); “Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro?” (2002); “Membunuh Orang Gila” (2003; kumpulan cerpen); “Nona Koelit Koetjing : Antologi cerita pendek Indonesia periode awal (1870an – 1910an)” (2005; salah seorang penyusun); “Mantra Orang Jawa” (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia).

Ode, barangkali kita perlukan untuk menghormati Sapardi Djoko Damono, meski ia tak memerlukannya. Karena, kepergiannya telah meninggalkan banyak warisan literasi, seperti :  “Sastra Lisan Indonesia” (1983),  yang ditulisnya bersama Subagio Sastrowardoyo dan A. Kasim Achmad - tokoh teater yang pernah menjabat Direktur Kesenian - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (yang diraibkan di masa Nabiel Makarim kini); Seri Bunga Rampai Sastra ASEAN.; “Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan”; “Dimensi Mistik dalam Islam” (1986), terjemahan karya Annemarie Schimmel “Mystical Dimension of Islam” (dia sebagai salah seorang penulis). Ia juga mewariskan, “Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia” (2004), sebagai salah seorang penulis; “Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas” (1978); “Politik ideologi dan sastra hibrida” (1999); “Pegangan Penelitian Sastra Bandingan” (2005); “Babad Tanah Jawi” (2005; sebagai penyunting bersama Sonya Sondakh, terjemahan bahasa Indonesia dari versi bahasa Jawa karya Yasadipura, Balai Pustaka 1939).

Nama Sapardi Djoko Damono, tentu akan kita kenang dan akan menegaskan keyakinannya, 'Yang Fana adalah Waktu.. Kita Abadi.'  Sekaligus menegaskan eksistensi manusia sebagai 'Hanya.' Selaku orang Jawa ( asal Solo ), profesor bersahaja dan menikmati hidup dengan nyaman, ini boleh jadi, dia karib dengan karya-karya dan ajaran hidup Ronggowarsito, Yosodipuro, dan Honggowongso. Memaknai hidup sebagai kesahajaan, karena yang utama adalah "urip iku urup," seperti telah dibuktikannya lewat beragam karyanya.

Orang baik itu berpulang. Saya yakin, dia kembali ke haribaan Tuhan dengan sukacita, karena telah meninggalkan karya yang akan abadi. Selamat jalan, melintasi jalan suwung tanpa kata, karena dimensi kata, telah tersimpan dalam kefanaan ruang dan waktu, dunia.. | (Jakarta, 19/07/20)>

 

Editor : Web Administrator | Sumber : foto berbagai sumber: balairung, antaranews
 
Ekonomi & Bisnis
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 273
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 136
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 633
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 781
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 750
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya