Sabda Tanpa Makna

| dilihat 455

Bang Sèm

Kala kata-kata tak berlanjut aksi nyata, kata-kata hanya menjelma menjadi sabda tanpa makna. Sekadar kombur, 'omon-omon,' gumam, dan bahkan racau.

Pemimpin terukur oleh aksi nyata atas kata-kata yang dilontarkannya dengan beragam irama dan aksentuasi.

Kata-kata tanpa aksi nyata alias 'sabda tanpa makna,' biasanya hanya dilakukan oleh para petinggi. Khasnya politisi. Retorika pemanis bibir. Lip services.

Para petinggi yang berjarak dengan realita, berlindung pada sabda tanpa makna. Menutup rentak dengan gertak. Menyimpan ragu dalam kemul diksi dan aksentuasi. Menyembunyikan keberanian di balik gempita.

Retorika pemanis bibir dengan pilihan diksi dan aksentuasi retorika tertentu, hanya memantik riuh sekejap, kemudian lenyap dalam senyap.

Menekuk harapan dan optimisme khalayak menjadi apatisme pesimistik. Karena senantiasa berjarak dengan lantang teriak khalayak yang membuncah.

Alasan dan cara

Ketika jarak terus melebar karena optimisme selalu bertukar apatisme pesimistik, karena dilakukan berulang-ulang, kelak apatisme pesimistik menjadi magma yang menggelegak dan menjadi daya gerak perlawanan tak terkendali.

Sebagai bangsa, agaknya kita mempunyai pengalaman historis yang panjang tentang akibat melebarnya jarak demikian. Khasnya, ketika fox populi fox dei, suara khalayak suara Tuhan sungguh menjadi realita.

Terutama ketika aspirasi khalayak tak ditangkap sebagai inspirasi untuk melakukan aksi nyata. Kala khalayak kecewa, lantaran para petinggi gemar memberikan alasan (dengan intuitive reason) kala khalayak sangat mendesak memerlukan cara keluar dari persoalan yang menjerat mereka.


Semakin sering petinggi mengumbar retorika pemulas bibir, sabda tanpa makna. Apalagi rinonce kata bertabur dusta. Lantaran realita tak pernah terselesaikan dengan kata-kata, sabda tanpa makna tersebut.

Akan tiba masa, realita menghempas seluruh kata-kata, kala tiba sesungguh pemimpin yang mampu mengelola retorika sebagai isyarat aksi nyata, dengan menghemat kata-kata, namun mampu beraksi nyata sesuai daya kuasa yang dipinjamkan khalayak kepadanya.

Serapah

Di masa lampau, kala komunikasi massa terbatas (secara teknis dan teknologis), kata dan retorika menjadi medium utama yang mempertemukan aspirasi khalayak dan aksi nyata pemimpinnya.

Kata (yang dikemas dalam retorika) menjadi daya perkasa menghidupkan pesona persona dan penggerak utama integrasi pemimpin dengan khalayaknya. Prinsip kepemimpinan satunya kata dengan aksi nyata, menyatukan minda dan jiwa.

Kini? Tidak lagi. Kata dalam retorika tak mempertemukan ilusi dan fantasi petinggi dengan imajinasi khalayak. Aksi petinggi tak mencerminkan aspirasi khalayak.

Apalagi, ketika khalayak tak lagi merasa punya pemimpin nyata. Hanya petinggi yang memposisikan khalayak tak lagi dalam satu kesatuan integratif, dan tak menyadari, kuasa yang melekat padanya hanya pinjaman sementara dari khalayak.

Rangkaian kata dan retorika petinggi hanya menampakkan wajah politisasi, akan halnya aksi mereka lebih menampakkan aksi kriminalisasi.

Dalam situasi demikian, tak bisa tidak, memang. Akhirnya khalayak bergerak dengan caranya sendiri. Lantas kata berubah jadi umpat dan serapah, karena terlalu kerap dibanjuri dusta oleh para petinggi yang merasa dirinya pemimpin. |

Editor : delanova
 
Humaniora
06 Mar 25, 02:43 WIB | Dilihat : 654
Buka Puasa Bersejarah di Istana Windsor Inggris
04 Mar 25, 03:55 WIB | Dilihat : 457
Shaum di Zaman Sungsang
31 Jan 25, 05:17 WIB | Dilihat : 900
Keserakahan
Selanjutnya
Lingkungan
09 Jan 25, 20:57 WIB | Dilihat : 1270
Petaka Kebakaran Terburuk Landa Los Angeles
22 Des 24, 16:25 WIB | Dilihat : 844
Awan dan Fenomena Alam
29 Nov 24, 04:10 WIB | Dilihat : 949
Banjir Terparah Menerjang Malaysia
19 Sep 24, 12:52 WIB | Dilihat : 1732
Antara Lumbung Pangan dan Kai Wait
Selanjutnya