Refleksi Teater Garasi Kala Krisis Membelit Negeri

| dilihat 3077

AKARPADINEWS.COM | SIMBOL-simbol kekerasan disuguhkan di awal pertunjukan. Seorang laki-laki muda mengepalkan tinjunya. Lalu, dia menggerakan kepalanya, dan sesekali membenturkan badannya. Dia beraksi tepat di dekat sebuah patung militer yang tertutup wajahnya.

Di sudut panggung lainnya, dengan latar sebuah warung, seorang lelaki setengah baya memotong daging sapi segar secara perlahan. Nyaris tanpa suara. Namun, sayatannya terasa dalam.

Visual kekerasan ini semakin jelas ketika kepungan asap menyeruak. Sosok teletubbies berkostum merah menari kegirangan, diiringi musik yang menghentak. Lalu, kuncuran darah menetes dari atas panggung, memberikan efek dramatik saat peralihan dimensi ruang. Para aktor bergerak, maju mundur, tarik menarik, hingga tak beraturan. Tubuhnya jatuh bangun di lantai.

Simbol-simbol kekerasan itu mengawali pementasan Teater Garasi/Garasi Performance Institute bertajuk Yang Fana Adalah Waktu. Kita Abadi (YFaWKA) yang digelar di Gedung IX, Fakultas Ilmu Budaya-Universitas Indonesia (UI), 26 Juli 2016. Suguhan diawal pementasan itu mampu menggiring penonton pada situasi chaos di kala krisis melanda negeri pasca tahun 1998. Lebih dari 330 penonton yang kebanyakan mahasiswa dan akademisi, terpukau dan dibuat hening oleh suguhan pementasan tersebut.

Judul pertunjukan Yang Fana Adalah Waktu. Kita Abadi, dipinjam dari puisi Sapardi Djoko Damono (1978). Pertunjukan ini adalah lanjutan dari pertunjukan pendek berjudul Sehabis Suara yang dipentaskan di Erasmus Huis, Jakarta, 26 Maret 2014 lalu.

Dalam rentang waktu 20 tahun lebih, Teater Garasi masih konsisten menjadikan seni sebagai alternatif dalam membaca kenyataan sosial. Kali ini, mereka melakukan pembacaan dan refleksi atas “tatanan” dan “berantakan” (order dan disorder), menyoal “narasi” dalam konteks ideologis, agama, dan identitas yang terjadi di Indonesia pasca 1998. Krisis kala itu penuh dengan ketegangan dan kekerasan.

Realitas kekerasan kala itu, digali, diriset, dan dianalisa bersama tim Garasi di studio latihan. Hingga akhirnya, tercipta kodifikasi dan komposisi. Itulah kehebatan grup asal Yogyakarta ini, yang memiliki metode khusus dalam menciptakan karyanya lewat penciptaan bersama. Sebuah kerja kreatif yang langka dilakukan para kelompok teater saat ini, yang minim riset dalam narasi teks dan tubuh.

Proses kreatif YFaWKA ini disutradarai Yudi Ahmad Tajudin, yang diciptakan bersama oleh Andreas Ari Dwianto, Arsita Iswardhani, Erythrina Baskoro, Gunawan Maryanto, Ignatius Sugiarto, Jompet Kuswidanato, Muhammad Nur Qomaruddin, Sri Qadariatin,  Ugoran Prasad, Vassia Valkanioti, Yennu Ariendra. Mereka adalah periset yang juga berperan sebagai aktor.

Tubuh dan Perubahan Identitas Kekerasan

“Ini potret keluarga saya,” tutur Erythrina Baskoro yang berperan sebagai ibu. Di belakangnya, terlihat ayah dan tiga orang anak yang berkumpul di sebuah meja makan dengan empat kursi. Dan, di sudut lain, sebuah jam menjadi penanda peralihan waktu. Sang ibu memperkenalkan satu persatu anggota keluarganya.

Rosnah yang diperankan Arsita Iswardhani, mantan buruh migran. Dia bermimpi menjadi artis di Jakarta, dengan modal tubuh, lekukan payudara, dan kata-kata manjanya. Kakak lelakinya, yang dilakoni Muhammad Nur Qomaruddin, sangat membenci komunis dan bercita-cita menjadi jihadis ke Afganistan. Sampai-sampai, lantaran kelewat ideologisnya, ibunya sering dibentak jika salah mengucapkan istilah yang menggunakan bahasa Arab. Sosoknya mengingatkan teroris Imam Samudera.

Sementara adiknya, yang diperankan Andreas Ari Dwianto disebut “sedeng” olehnya. Dia selalu terobsesi mengumandangkan adzan. Sedangkan sang bapak yang dilakoni Gunawan Maryanto, yang berkostum sarung, bertopi koboi, tak lepas membawa senapan dan hobi menembaki burung.

Fragmen selanjutnya, keluarga ini memperlihatkan narasi tentang manusia yang menjadi serigala untuk manusia lainnya (homo homini lupus). Kebuasan itu diperlihatkan ketika mereka memakan daging mentah yang tersaji di atas meja, dengan suara lalat yang mengelilingi. Mereka lalu berebut makanan serupa anjing. Tetesan darah menetes dari sudut bibir mereka. Meja makan tersebut seakan menjadi arena pertarungan, untuk saling memakan, yang tidak pernah henti diperebutkan.

Berubahnya waktu dan zaman turut mengubah identitas dan nasib mereka. Momen lebaran menjadi sebuah transformasi bentuk kegilaan. Rosnah pulang bersama anaknya yang terlantar. Sementara kakaknya mengirim sebuah surat pada ibunya yang berisi jihad untuk pertemuannya dengan surga. Pada setiap kekacauan, ditandai dengan suara tembakan yang direspon dengan seekor monyet yang nampak kegirangan di atas penderitaan.

Potret keluarga dalam YFaWKA menjadi ihwal persoalan domestik. Keluarga sebagai institusi pertama bagi tumbuh dan berkembangnya manusia, sangat menarik untuk diselami. Refleksi keluarga serupa akar yang digunakan untuk menata masyarakat yang juga terikat dengan model kekuasaan.

Orde Baru menjadi fase sejarah penting ketika pengaturan masyarakat Indonesia mengedepankan pendekatan sentralistik, di mana masyarakat harus senantiasa tunduk terhadap negara. Fenomena masyarakat pasca 1998, memperlihatkan ruang, identitas, dan kekerasan yang bertransformasi mempengaruhi kekuatan kolektif.

Perempuan muda seperti Rosnah, serupa dengan  perempuan muda lainnya, datang ke Jakarta, bermimpi dan memiliki “hak atas kota” melalui modus dan tujuan serta “kehendak untuk memamerkan diri”. Sedangkan perpindahan ruang dan waktu, melalui tujuan ideologi dan agama dengan janji-janji surga, justru menciptakan kekerasan baru yang lebih massif.

Surga yang Berwujud Pasar Kekerasan

Apakah ini surga? Menjadi pertanyaan yang terngiang di benak penonton. Apakah surga adalah keabadian, sesuatu yang order (tatanan), mapan dan untuk menggapainya diperlukan cara-cara disorder (berantakan) serupa pasar?

Penafsiran surga begitu paradoks dalam pertunjukan ini. Surga tidak hanya dekat dengan agama yang penuh dengan pesan-pesan damai. Namun, begitu intim dengan kekuasaan, materi, kapitalisme, dan kekerasan. Surga justru menyerupai sebuah pasar yang menampilkan tumpukan persoalan, dengan orang-orang yang menari di sana untuk mendapatkan kenikmatan surga tersebut. Apakah menggapai surga harus melalui cara-cara yang paradoks?

Dalam melihat realitas pasca 1998, tentu tidak terlepas dari praktik kehidupan politik. Perseteruan antara militer dengan masyarakat sipil, yang menumbalkan banyak orang lantaran diduga komunis dalam peristiwa kudeta 1965. Dan, pasca 1998, masih dibayangi hantu-hantu di ranah domestik. Pertentangan antara agama dan Pancasila, hingga menyeruak pada persoalan terorisme dalam ranah global.

Imajinasi tentang surga juga disuguhkan dalam pertunjukan ini dengan begitu paradoks. Di tempat yang katanya indah, justru menyerupai pasar, yang merekonstruksi pembunuhan kolektif, tanpa kata, hanya tubuh dan senjata-senjata yang berbicara.

Begitu pula Jakarta yang dianggap sebagai kota impian, serupa surga yang justru laksana pasar keriuhan. Seperti mereka yang menyimpan mimpi dari supir metro mini hingga perempuan muda yang bertransaksi dengan nasib, meski harus merugi.

Persoalan ruang, waktu, perpindahan zaman hingga imajinasi tentang surga, ditampilkan secara simbolik dalam gerak dan visual. Sedangkan dalam bunyi, sangat mengejutkan ketika Garasi memperdengarkan lantunan rekaman suara asli Imam Samudera yang diiringi band. Lagu dalam kaset tersebut pernah beredar di ruang-ruang publik. Namun, segera ditarik peredarannya karena dikhawatirkan dapat mempengarui individu lainnya untuk terlibat dalam gerakan fundamentalis. Lirik-lirik berisi syahid dan janji surga yang dinyanyikan Imam Samudra tersebut, direkonstruksikan secara paradoks dengan visual dan gerak panggung.

Menyoal surga dan kekerasan juga tersirat dari penari asal Yunani, Vassia Valkanioti, yang mengisahkan kepingan mitologi Agave, pengikut dewa Dionysus yang membunuh anaknya sendiri demi sang dewa.

Panggung pertunjukan YFaWKA serupa pasar yang di dalamnya menelanjangi secara simbolik transaksi kekerasan, dengan berbagai keriuhan. Pementasan itu mempreteli persoalan dalam masyarakat modern pasca 1998 dengan mengambil benang merah dari krisis kekerasan dan budaya di setiap zamannya.

Dan, kita masih terus dihantui komunisme dan hantu-hantu kekerasan. Menjelang akhir pertunjukan, yang tersisa adalah situasi chaos. Para aktor bergerak saling silang sengkarut dengan memainkan kain hingga yang tersisa hanya segelintir aktor.

Salah seorang aktor ditembak berkali-kali dalam jarak dekat, darah merembes perlahan dari kemeja putihnya. Namun, ia tak menunjukan upaya perlawanan. Sementara di sisi panggung lainnya, Sri Qadariatin tetap menari yang merepresentasikan kehidupan yang akan terus berjalan.

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Energi & Tambang
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 633
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 781
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 750
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya