Bang Sem
SIAPAKAH yang pantas disebut elite ? Kamus Besar Bahasa Indonesia (ed. II – 1995) menyebut, elite adalah “orang orang terbaik atau pilihan di suatu kelompok,” dan “kelompok kecil orang terpandang atau berderajat tinggi (kaum bangsawam, cendekiawan dan lain-lain)”.
Kita bisa sepakat memahami elite sebagai “orang-orang terbaik atau pilihan di suatu kelompok.” Tapi, apakah masih bisa kita tolerir pemahaman, bahwa elite merupakan “kelompok kecil orang terpandang atau berderajat tinggi” ?
Praktik berdemokrasi sejak berlangsungnya proses demokratisasi, ternyata belum mampu menjaring ‘orang orang terbaik’ meski mereka terpilih melalui suatu sistem yang dijamin Undang Undang.
Seringkali, mereka yang terpilih melalui sistem tersebut (termasuk melalui proses fit and proper) justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Banyak dari mereka, yang mengakhiri karirnya di penjara. Bukan karena mempertahankan kualifikasi sebagai ‘orang orang baik dan pilihan,’ melainkan karena hal hal buruk. Korupsi dan kejahatan moral, misalnya.
Maraknya ‘politik uang’ pada proses pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah – yang dimaknakan sebagai bukti telah berlangsungnya proses demokratisasi – menunjukkan dengan ‘telanjang’, bagaimana kualitas dan kapabilitas ‘orang orang terbaik atau pilihan’ itu.
Kolusi dan nepotisme masih mewarnai berlangsungnya proses ‘pemilihan’, yang terlanjur dianggap sebagai instrumen demokrasi itu.
Seringkali, kita merasa tidak nyaman, saat membaca atau mendengar kata elite politik di Indonesia. Bahkan ketika membaca dan mendengar istilah elite bangsa. Elite menjadi fatamorgana hirarkial, ketika demokratisasi hendak dipahami sebagai suatu proses pembentukan masyarakat modern yang demokratis, ditupang oleh nilai hidup egaliter.
Demokrasi, semestinya dipahami sebagai suatu sistem yang menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan antar warga bangsa. Tidak lagi terpenjara oleh pola relasi sosial patron client yang cenderung feodal.
Dalam kesetaraan itulah, menurut Farabi, manusia dipilih untuk mengemban amanat dan fungsi sosial tertentu. Bukan karena keturunan dan hartanya, melainkan karena kelayakan, kepatutannya, adab (moral)-nya, kearifannya, kecerdasannya, pengetahuannya, pendidikannya, dan prestasi positifnya (Louise, 1999).
Manusia pilihan seperti ini mengemban fungsi sebagai pencerah. Mereka konsisten terhadap fungsi sosial yang disandangnya sebagai kepercayaan yang tidak boleh terhianati sekejappun. Mereka menjadi teladan bagi masyarakatnya. Sebab itulah mereka disebut elite (khashshah). Sungguh orang-orang baik yang terpilih karena kebaikannya. Orang-orang yang teruji dan terpuji, dan tidak membuat keburukan ketika menyandang amanat yang diberikan rakyat kepadanya. Bukan orang-orang yang tercela (musi’).
Melihat realitas sosial yang berlangsung sepanjang Indonesia merdeka, apa yang selama ini disebut elite, sesungguh lebih tepat disebut petinggi. Yaitu orang yang mempunyai kedudukan dan jabatan tinggi di organisasi, masyarakat, dan negara.
Karenanya, kita harus bertegas-tegas menggunakan istilah yang paling tepat sesuai dengan kondisi masyarakat dan bangsa. Bila sungguh telah memenuhi kriteria elite, baru istilah itu digunakan kembali. Bila tidak memenuhi syarat, kita sebut saja petinggi. Meski kita juga mesti menghadapkannya dengan pesan moral: mereka yang paling tinggi adalah yang paling rendah hatinya, dan yang paling rendah adalah yang paling tinggi hatinya.
Silakan catat sendiri, siapa saja yang pantas kita sebut elite bangsa ini.