Opini

Siapa Elite Politik Bangsa Ini

| dilihat 1798

Bang Sem

SIAPAKAH yang pantas disebut elite ? Kamus Besar Bahasa Indonesia (ed. II – 1995) menyebut, elite adalah “orang orang terbaik atau pilihan di suatu kelompok,” dan “kelompok kecil orang ter­pandang atau berderajat tinggi (kaum bangsawam, cende­kiawan dan lain-lain)”.

Kita bisa sepakat memahami elite sebagai “orang-orang terbaik atau pilihan di suatu kelompok.” Tapi, apakah masih bisa kita tolerir pemahaman, bahwa elite merupakan “kelompok kecil orang ter­pandang atau berderajat tinggi” ?

Praktik berdemokrasi sejak berlangsungnya proses demokratisasi, ternyata belum mampu menjaring ‘orang orang terbaik’ meski mereka terpilih melalui suatu sistem yang dijamin Undang Undang.

Seringkali, mereka yang terpilih melalui sistem tersebut (termasuk melalui proses fit and proper) justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Banyak dari mereka, yang mengakhiri karirnya di penjara. Bukan karena mempertahankan kualifikasi­ sebagai ‘orang orang baik dan pilihan,’ melainkan karena hal hal buruk. Korupsi dan kejahatan moral, misalnya.

Maraknya ‘politik uang’ pada proses pe­milihan umum dan pemilihan kepala daerah – yang dimaknakan sebagai bukti telah berlangsungnya proses demokratisasi – menunjukkan dengan ‘telanjang’, bagaimana kualitas dan kapabilitas ‘orang orang ter­baik atau pilihan’ itu.

Kolusi dan nepotisme masih mewarnai berlangsungnya proses ‘pemilihan’, yang terlanjur dianggap se­bagai instrumen demokrasi itu.

Seringkali, kita merasa tidak nyaman, saat membaca atau mendengar kata elite politik di Indo­nesia. Bahkan ketika membaca dan men­dengar istilah elite bangsa. Elite menjadi fatamorgana hirarkial, ketika demo­kratisasi hendak dipahami sebagai suatu proses pembentukan masyarakat modern yang demokratis, ditupang oleh nilai hidup egaliter.

Demokrasi, semestinya dipahami sebagai suatu sistem yang menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan antar warga bangsa. Tidak lagi terpenjara oleh pola relasi sosial patron client yang cenderung feodal.

Dalam kesetaraan itulah, menurut Farabi, manusia dipilih untuk mengemban amanat dan fungsi sosial tertentu. Bukan karena keturunan dan hartanya, melainkan karena kelayakan, kepatut­annya, adab (moral)-nya, kearifannya, kecerdasannya, pengetahuannya, pendidikannya, dan prestasi positifnya (Louise, 1999).

Manusia pilihan seperti ini mengemban fungsi sebagai pencerah. Mereka konsisten terhadap fungsi sosial yang disandangnya sebagai kepercayaan yang tidak boleh terhianati sekejappun. Mereka menjadi teladan bagi masyarakat­nya.  Sebab itulah mereka disebut elite (khashshah). Sungguh orang-orang baik yang terpilih karena kebaik­an­nya. Orang-orang yang teruji dan terpuji, dan tidak mem­buat keburukan ketika menyandang amanat yang diberikan rakyat ke­pada­nya. Bukan orang-orang yang tercela (musi’).

Melihat realitas sosial yang berlangsung sepanjang Indonesia merdeka, apa yang selama ini disebut elite, sesungguh lebih tepat disebut petinggi. Yaitu orang yang mempunyai ke­duduk­­­an dan jabatan tinggi di organisasi, masyarakat, dan negara.

Karenanya, kita harus bertegas-tegas menggunakan istilah yang paling tepat sesuai dengan kondisi masyarakat dan bangsa. Bila sungguh telah memenuhi kriteria elite, baru istilah itu diguna­kan kembali. Bila tidak memenuhi syarat, kita sebut saja petinggi. Meski kita juga mesti menghadapkannya dengan pesan moral: mereka yang paling tinggi adalah yang paling rendah hatinya, dan yang paling rendah adalah yang paling tinggi hatinya.

Silakan catat sendiri, siapa saja yang pantas kita sebut elite bangsa ini. 

Editor : Web Administrator
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1190
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 947
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1172
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1435
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1583
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya