Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia

| dilihat 1436

Tokyo menantang Beijing sebagai Pusat Data Asia, setelah kota itu mengalami peningkatan kapasitas dua kali lipat dalam 3 hingga 5 tahun terakhir.

Setarikan nafas, posisi China sebagai pusat data utama di Asia kian melemah. Banyak proyek konstruksi di Beijing dan Shanghai yang gagal karena karantina wilayah akibat COVID-19, kata Vivek Dahiya dari Cushman & Wakefield.

Di sisi lain, proyek-proyek kabel yang dimaksudkan untuk menghubungkan Hong Kong dengan Amerika Utara juga telah ditangguhkan atau direvisi sejak tahun 2020.

Kentaro Takeda and Yukiko Une, dua staf analisis Nikkei Asia, mengungkapkan (14/4/23), untuk mengimbangi dan menyalip posisi China, Jepang harus punya strategi yang komprehensif dalam upaya menarik pusat data dari luar negeri dan memimpin transformasi digital bisnis.

Diungkapkan oleh Takeda dan Une, Tokyo dan sekitarnya mengalami peningkatan tajam sebagai pusat data, berkat peningkatan dramatis permintaan pemrosesan data di dalam dan luar negeri.

Total kapasitas fasilitas data di wilayah Tokyo diperkirakan akan meningkat dua kali lipat dalam tiga hingga lima tahun, menjadikannya pusat data terbesar kedua di Asia setelah Beijing.

Tokyo dengan cepat menutup kesenjangannya dengan Beijing, karena perusahaan teknologi informasi global dan bisnis lainnya beralih dari Beijing, karena meningkatnya masalah keamanan dan ketegangan antara AS dengan China.

Banyak pusat data bermunculan di dalam dan sekitar Tokyo, termasuk di distrik Tama. Inzai, prefektur Chiba, sebelah timur Tokyo, menjadi tuan rumah bagi berbagai fasilitas yang digunakan berbagai perusahaan Teknologi Informasi, termasuk Google, Amazon, dan NEC. Semuanya ingin mengambil keuntungan dari kedekatannya dengan Tokyo, dan fakta bahwa daerah ini tidak terlalu rentan terhadap bencana alam dan pemadaman listrik.

"Permintaan untuk pusat data berkembang pesat di Jepang, dan Inzai berada di lokasi yang strategis," kata Norihiro Matsushita, kepala unit Jepang AirTrunk, operator pusat data Australia yang membuka fasilitas besar di Inzai pada tahun 2021.

Kapasitas pusat data di Greater Tokyo mencapai 865 megawatt pada akhir tahun 2022, setengah dari kapasitas Beijing, tetapi dapat mencapai 1.970 MW dalam tiga hingga lima tahun, menurut Cushman & Wakefield.

Perusahaan jasa real estate AS ini memperkirakan bahwa wilayah ini akan menyalip Singapura pada periode tersebut, menyusul Beijing yang diproyeksikan akan meningkatkan kapasitasnya menjadi 2.069 MW.

Pemicu ledakan konstruksi di Jepang adalah peningkatan tajam lalu lintas data lokal karena bisnis bergerak maju dengan transformasi digital dan lebih banyak karyawan yang bekerja dari rumah.

Lebih banyak perusahaan juga memindahkan server lebih dekat ke rumah untuk mempercepat transfer data dan mengurangi risiko kebocoran data.

Persaingan AS-Tiongkok yang semakin tajam dalam hal perdagangan dan isu-isu lainnya juga membuat banyak bisnis khawatir untuk menggunakan fasilitas data di Tiongkok. Jepang dipandang sebagai alternatif yang menarik.

Terletak di antara Amerika Utara dan Eurasia, Jepang dapat berfungsi sebagai stasiun relay yang ideal untuk Meta (perusahaan induk Facebook), Google dan raksasa IT AS lainnya untuk memindahkan data dalam jumlah besar, kata seorang ahli.

"Meningkatnya kekhawatiran tentang 'risiko China' telah meningkatkan kepentingan relatif Jepang sebagai pintu gerbang yang dapat diandalkan ke Asia," kata Hiroshi Esaki, seorang profesor di University of Tokyo dan seorang ahli di bidang informasi global dan jaringan telekomunikasi.

Jumlah data yang ditransmisikan melalui Jepang diperkirakan akan meningkat seiring dengan semakin banyaknya kabel bawah laut yang dipasang di Samudra Pasifik.

Konsentrasi pusat data yang besar dapat membantu Jepang mengejar ketertinggalan dari para pesaingnya dalam mengembangkan industri digital.

Pengembangan infrastruktur data berkecepatan tinggi akan "mempercepat digitalisasi di setiap sektor, sehingga meningkatkan daya saing negara ini," ujar Esaki. "Hal ini juga akan membantu Jepang menarik lebih banyak talenta dari luar negeri."

Kuncinya adalah menjaga biaya pengoperasian fasilitas data tetap rendah. Pusat data mengkonsumsi banyak daya, dan dengan harga listrik yang dua hingga tiga kali lebih mahal di Tokyo dibandingkan di daratan Tiongkok, biaya pusat data baru dapat meningkat jika tagihan listrik terus meningkat. Singapura kehilangan tawaran untuk menjadi tuan rumah pusat data dari Malaysia dan Thailand karena harga listrik dan tanahnya yang tinggi.

Untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, Jepang perlu mempromosikan penggunaan energi terbarukan yang lebih luas dan lebih efisien.

Pemerintah juga ingin mengurangi konsentrasi pusat data di wilayah metropolitan besar dengan mendorong pembangunan fasilitas di tempat lain. Hal ini akan menurunkan biaya pembelian tanah dan mengurangi risiko jika terjadi bencana alam. |NA

Editor : delanova | Sumber : nikkeiAsia
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 525
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1618
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1397
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1192
Rumput Tetangga
Selanjutnya