Polemik Hadang Pilkada Serentak

| dilihat 1618

AKARPADINEWS.COM | BERAGAM polemik membayangi proses persiapan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang rencananya akan digelar serentak tanggal 9 Desember 2015. Prosesi politik yang kali pertama ini dikhawatirkan bakal tertunda. Tarik menarik kepentingan politik menjadi pangkalnya.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebenarnya telah merencanakan Pilkada serentak digelar tahun ini di Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara dan Bengkulu, serta 181 kabupaten atau kota. Segala persiapan telah dilakukan. Partai politik juga telah melakukan penjajakan. Sejumlah calon kandidat kepala daerah pun gencar "tebar pesona" lewat baliho, spanduk, dan sebagainya di ruang-ruang publik.

Fraksi Partai Golkar di DPR menjadi inisiator untuk menolak Pilkada digelar tahun ini. Berbagai manuver dilancarkan partai beringin dalam proses pembahasan persiapan Pilkada. Golkar mengolah isu untuk menghambat Pilkada, seperti ketidakjelasan dana pengamanan, mekanisme penyelesaian sengketa Pilkada, keterlibatan para calon kepala daerah dari partai-partai yang tengah bersengketa, termasuk desakan revisi Undang-Undang Pilkada. Golkar juga mulai memperkarakan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait dugaan penyimpangan anggaran Pemilu 2013-2014 sebesar Rp334 miliar.

Temuan itu dijadikan isu untuk mendesak BPK mengaudit penggunaan anggaran Pilkada 2015. BPK rencananya merampungkan hasil auditnya pada 13 Agustus mendatang. Dan, bukan mustahil, hasil audit nanti bakal meramaikan isu seputar penggunaan anggaran Pilkada yang kemudian makin meramaikan polemik jelang Pilkada.

Kuatnya resistensi terhadap Pilkada serentak mendorong Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas yang dihadiri Komisioner KPU, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshidiqie, dan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Muhammad. Pemerintah, KPU dan Bawaslu, maupun DKPP pun sepakat Pilkada serentak tak bisa ditunda.

Dalam pernyataan pers di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (8/7), Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Tedjo Edhy Purdijatno memastikan semua masalah terkait persiapan Pilkada dapat segera diselesaikan. KPU, DKPP, dan Bawaslu juga sepakat Pilkada harus tetap pada agenda yang telah ditetapkan. "Tidak ada kata mundur dalam pelaksanaan Pilkada serentak,” kata Jimly.

Partai Golkar yang tengah dihadapi konflik internal, berkepentingan menunda Pilkada. Jika Pilkada diselenggarakan tahun ini, Golkar kemungkinan terseok-seok. Mesin partai tidak bergerak optimal lantaran perpecahan internal. Di internal Golkar, dua kubu (Aburizal Bakrie dan Agung Laksono) hingga kini masih berseteru. Perseteruan elit Golkar di tingkat pusat itu, nyatanya merembet ke pengurus daerah. Dalam kondisi yang tidak solid, Golkar pun kurang dilirik para calon kepala daerah karena khawatir mesin Golkar tidak bergerak optimal di ajang suksesi.

Golkar memang tengah kelimpungan. Upaya islah memang sudah dilakukan. Namun, islah terkesan dipaksa. Konflik Golkar pun sulit diselesaikan lantaran Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly, yang merupakan kader PDIP terkesan tidak imparsial dalam menggunakan kewenangannya menyelesaikan kemelut di internal Golkar. Yasonna terkesan lebih berpihak pada Golkar kubu Agung.

Lantaran konflik tidak terlesaikan, elit Golkar pun terpaksa islah demi mempertaruhkan nasib kader Partai Golkar di ajang Pilkada. Jika tidak, kader beringin tak bisa berlaga. Pasalnya, KPU mewanti-wanti agar dualisme kepemimpinan segera diselesaikan hingga batas waktu pendaftaran calon kepala daerah, 26-28 Juli 2015. Sebelum ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) dari pengadilan maupun islah, KPU menolak kader Golkar yang menjadi kandidat di Pilkada.

Masalahnya, islah yang dimediasi tokoh senior Golkar yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden, Jusuf Kalla, sekadar obat penawar kegundahan kader Golkar di daerah. Islah bukan solusi menjawab kemelut di Golkar. Islah yang digelar terpaksa juga sulit memperkuat soliditas Golkar. Upaya konsolidasi yang berjalan tersendat, tentu bisa membuyarkan impian Golkar menjadi jawara di laga Pilkada.

Fakta menunjukan, jelang Pilkada, di beberapa daerah, konflik Golkar mengemuka. Di Papua, konsolidasi yang diinsiasi Paskalis Kossay, Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Tingkat I Partai Golkar Papua dari kubu Agung, menuai resistensi dari pengurus DPD Tingkat I Partai Golkar yang dipimpin Klemen Tinal yang berada di gerbong Aburizal.

Di Sulawesi Tenggara, sejumlah massa yang mengatasnamakan Forum Simpatisan Partai Golkar menyegel kantor DPD I Partai Golongan. Di Sumatera Utara, Pengurus Golkar kubu Ical menentang mobilisasi kader yang dilakukan Agung Laksono. Di Kalimantan Selatan, kader beringin pada gontok-gontokan. Pengurus Golkar di sana yang berpihak pada Agung membentuk kepengurusan dan membuka pendaftaran bakal calon kepala daerah. Padahal, DPD Partai Golkar kubu Ical yang dipimpin Sulaiman HB telah lebih dahulu membuka pendaftaran bakal calon kepala daerah.

Lantaran khawatir bakal kandas di ajang Pilkada, Fraksi Golkar DPR kubu Aburizal pun melakukan manuver untuk menggagalkan Pilkada. Sejumlah isu dihembuskan terkait persoalan Pilkada. Misalnya, dengan mendesak pemerintah merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), khususnya terkait ketentuan mengenai Peraturan KPU soal pendaftaran calon peserta pilkada.

Dalam Peraturan KPU, kepengurusan parpol yang dapat ikut Pilkada adalah yang sudah dimenangkan lewat putusan tetap pengadilan. Namun, Fraksi Golkar di DPR kubu Aburizal ingin aturan itu direvisi, menjadi kepengurusan yang mengantongi putusan terakhir pengadilan atau sudah islah sebelum pendaftaran pilkada.

Namun, lantaran hanya menyuarakan kepentingan Golkar saja, usulan revisi itu disambut beragam di kalangan DPR. Tidak semua mitra Golkar di KMP mendukung revisi tersebut karena pelaksanaan Pilkada sudah kian dekat. Jika tuntutan revisi dikabulkan, maka dipastikan akan memakan waktu lama sehingga menghambat pelaksanaan Pilkada.

Terkait dengan persoalan konflik yang masih melanda partai politik, khususnya Golkar dan PPP, menurut Jimly Asshidiqie, dalam pertemuan dengan Presiden, semangatnya adalah memberlakukan semua partai sama termasuk kedua partai yang sedang konflik. Kedua partai itu tetap dipastikan mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengajukan pencalonan.

Masalahnya, konflik internal partai, makin mengemuka tatkala menentukan calon kepala daerah. Sulit bagi partai yang terpecah untuk memutuskan satu calon saja. Polemik Golkar dan PPP juga mengurangi minat calon kepala daerah untuk menjadikan kedua partai itu sebagai kendaraan politik.

Manuver untuk menghambat Pilkada juga dihembuskan dengan memanfaatkan isu dana pengamanan. Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Golkar kubu Aburizal, Azis Syamsuddin, memperingatkan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti untuk tidak mengambil resiko melakukan pengamanan Pilkada jika hingga Juli anggaran yang dibutuhkan tidak diakomodir pemerintah. Golkar memanfaatkan isu tersebut lantaran sebelumnya Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengatakan, dana pengamanan Pilkada yang dibutuhkan mencapai Rp 1,07 triliun. Lantaran belum terpenuhi anggaran pengamanan, Badrodin sempat mengusulkan agar Pilkada ditunda. Meski demikian, Kapolri memastikan, masalah tersebut sedang berproses, dan belum bisa ditetapkan sekarang.

“Kita tunggu sampai nanti maksimal kita bisa, bisa dipenuhi oleh pemerintah daerah. Dan, tadi sudah disampaikan kepada Mendagri untuk mendorong pemerintah daerah untuk segera bisa memenuhi kekurangan anggaran ini,” ujar Kapolri.

Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, seluruh dana penyelenggaraan Pilkada bersumber dari APBD dan didukung APBN. Masalahnya, tidak semua daerah mampu menopang penyelenggaraan Pilkada dari APBD. Apalagi, bagi daerah yang mengalami defisit anggaran lantaran APBD yang kecil. Dipastikan, defisit anggaran makin bertambah jika harus menopang anggaran Pilkada. Bisa-bisa, dana operasional pemerintah daerah, termasuk dana untuk program-program pembangunan terpangkas untuk Pilkada. Dan, bagi daerah yang sudah menyusun APBD, maka terpaksa harus mengutak-atik lagi skema anggaran.

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat, ada 15 pemerintah daerah yang belum menganggarkan penyelenggaraan Pilkada. Padahal, Kemendagri sudah menghimbau pemerintah daerah menandatangani Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) untuk anggaran Pilkada. KPU telah menetapkan jika hingga 3 Juni NPHD belum ditandantangani, maka Pilkada di 15 daerah tersebut terancam ditunda hingga 2017.

Seharusnya, sejak dari awal, daerah yang akan menggelar Pilkada sudah menyesuaikan anggaran Pilkada saat penyusunan Perda APBD 2015. 19 Mei 2014 lalu, Mendagri Gamawan Fauzi juga telah menerbitkan Permendagri 37 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan APBD TA. 2015, yang menghimbau kepada daerah untuk secara khusus mengalokasian anggaran kegiatan Pilkada tahun 2015 dalam APBD 2015. Masalahnya, selain karena defisit anggaran, dana Pilkada tersendat-sendat lantaran tidak adanya keseriusan dari pemerintah daerah untuk menyukseskan pelaksanaan Pilkada.

Namun, wajar juga jika daerah itu memang minim APBD. Pemerintah daerah setempat tentu akan lebih mengutamakan kepentingan menganggarkan program-program yang bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyatnya.

Lalu, muncul pula persoalan terkait pendapat Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak mungkin dapat menyelesaikan sengketa Pilkada dalam waktu 45 hari. Wakil Ketua MK Anwar Usman meminta agar MK diberi waktu 60 hari untuk menyelesaikan Sengketa Pilkada. Azis Syamsuddin pun langsung mengamini pendapat Anwar tersebut. Menurut dia, tidak mungkin MK menyelesaikan sengketa Pilkada di satu daerah hanya dalam waktu sekitar 37 menit. Apabila usulan penambahan waktu itu diterima, maka mau tidak mau UU Pilkada harus direvisi.

Persoalannya, bukan lantaran motif politis untuk menggagalkan Pilkada serentak terkait keberatan MK tersebut. Secara substantif, keberatan MK cukup beralasan. Dalam memutus perkara sengketa Pilkada, MK tentu tidak sebatas menghitung perselisihan mengenai hasil Pilkada. Namun, MK juga harus menyoroti proses penyelenggaraan Pilkada. Dalam konteks ini, seorang kandidat bisa saja dianulir kemenangan mutlaknya jika ditemukan bukti-bukti telah terjadi pelanggaran masif dan sistematis. Untuk itu, MK perlu waktu untuk menangani sengketa Pilkada.

Sebagai sebuah lembaga peradilan, MK tidak sekadar menjadi kalkulator dalam memecahkan masalah sengketa Pilkada. Namun, MK harus dapat memastikan tegaknya keadilan substantif. Hal itu penting guna memastikan masa depan demokrasi di negara ini. Artinya, hakim MK memberikan penilaian, baik bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Penilaian kualitatif tidak sekadar menghitung jumlah suara yang diperoleh setiap peserta Pilkada, tetapi juga menilai proses penyelenggaraan Pilkada.

Selain ada motif politis untuk menghambat Pilkada, sikap ngotot pemerintah yang didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan mitranya di Koalisi Indonesia Hebat (KIH), perlu juga dipertanyakan. PDIP khususnya, tentu berkepentingan memastikan Pilkada digelar tahun ini. Pasalnya, tengah dalam kondisi solid dan siap bertempur. Partai-partai lain, termasuk yang berada di Koalisi Merah Putih (KMP) juga tentu ingin mendapatkan keuntungan dari kondisi Golkar maupun PPP yang tengah berkonflik. Wajar, jika tidak semua mitra Golkar di KMP, ikut-ikutan manuver Golkar.

PDIP paling keukeuh Pilkada serentak digelar tahun ini lantaran paling intensif melakukan konsolidasi. Jelang Pilkada, partai berlambang banteng bermoncong putih itu menggelar sekolah partai untuk calon kepala daerah yang diusungnya. PDIP berkepentingan memenangkan Pilkada karena terkait dengan kesuksesan pemerintah pusat dalam merealisasikan agendanya mengingat Presiden Jokowi adalah kader PDIP.  Partai besutan Megawati Soekarnoputri itu tengah mempersiapkan pembekalan kepada 137 calon kepala daerah yang siap bertarung di Pilkada 2015. Megawati pun mengklaim jika partainya akan memenangkan Pilkada serentak.

PDIP memang berkepentingan memenangkan Pilkada serentak. Pasalnya, Presiden Jokowi adalah kadernya.  Sebagai presiden, Jokowi tentu ingin semua kepala daerah menyukseskan misi dan visinya sebagai presiden. Pencapaian misi dan visi itu bisa saja terganjal jika kepala daerah berbeda partai.

Fakta menunjukan, hubungan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat sering mengalami disharmonisasi lantaran perbedaan persepsi maupun kepentingan, baik yang bersifat ekonomi maupun politik. Belum lama ini, Gubernur Jawa Timur Soekarwo menolak rencana kenaikan cukai rokok dari delapan menjadi 10 persen. Soekarwo juga menolak penghapusan PBB dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Politisi dari Partai Demokrat itu juga menolak rencana pemerintah pusat yang menghapus beras untuk masyarakat miskin (maskin) dan menggantinya dengan uang elektronik (e-money).  Soekarwo juga menolak kebijakan pemerintah pusat yang menerapkan harga fluktuatif terhadap bahan bakar minyak (BBM), serta penghapusan dana bantuan sosial (bansos) dan hibah.

Jokowi saat menjabat Walikota Solo juga pernah menolak kenaikan harga BBM pada awal April 2012 lalu. Jokowi menganggap masyarakat inginnya BBM murah. Jokowi juga pernah menentang keputusan pemerintah pusat yang mengizinkan mobil murah hemat energi atau low cost green car (LCGC) di daerah. Jokowi khawatir kebijakan mobil murah hanya semakin memperparah kemacetan di Jakarta.

Perbedaan sikap dan pandangan tersebut karena persoalan komunikasi dan perbedaan kepentingan politik antara presiden dengan kepala daerah yang berbeda partai. Seringkali, kepala daerah menentang kebijakan pemerintah pusat karena berseberangan dengan kebijakan partai.

Karenanya, wajar jika PDIP berkepentingan memenangkan Pilkada agar kepala daerah yang berasal dari partai yang sama dapat mudah dikendalikan dalam upaya merealisasikan misi dan visi Jokowi. Namun, apa jagoan PDIP bisa menang? Atau justru Pilkada serentak gagal dilaksanakan karena kepiawaian Golkar melakukan manuver?

M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1193
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 951
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1175
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1440
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1586
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya