Manuver Golkar Jelang Reshuffle

| dilihat 2139

AKARPADINEWS.COM | PEMILIHAN Presiden (Pilpres) 2019 masih tiga tahun lagi. Namun, elit Partai Golkar sudah sejak dini menyatakan dukungannya untuk Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden di ajang suksesi nanti. Dukungan makin lantang disuarakan di kala isu perombakan (reshuffle) kabinet berhembus kencang.

Muncul spekulasi jika Golkar tengah mencuri simpati Jokowi agar mendapatkan kursi menteri. Elit Golkar boleh saja mengklaim dukungan itu tidak disertai "embel-embel" posisi menteri. Sah-sah pula jika dalihnya menghidupkan tradisi politik baru, dengan tidak melulu menjagokan bos partai sebagai calon presiden di pemilihan presiden.

Namun, elit Golkar sepertinya sadar. Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto tidak memiliki daya ungkit untuk menjadi juara di Pilpres 2019. Pasalnya, citra negatif melekat di sosok politisi dengan latar belakang pengusaha itu.

Politisi yang karib disapa Setnov itu dilengserkan dari jabatan Ketua DPR lantaran diduga mencatut nama Jokowi dalam kasus "Papa Minta Saham" PT Freeport Indonesia. Dia juga pernah berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap pembahasan perubahan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Dana Pengikatan Tahun Jamak untuk pembangunan venue PON XVIII di Riau.

Bekas Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin juga pernah menyebut Setnov terkait dugaan kasus korupsi E-KTP di Kementerian Dalam Negeri. Mungkin, lantaran itu, Golkar sejak dini mencalonkan Jokowi.

Elit Golkar tentu telah berhitung. Dengan menjagokan Jokowi, dengan posisinya sebagai petahana, maka peluang untuk merebut kekuasaan lebih besar. Tetapi, dengan catatan: Jokowi tidak menyisahkan catatan buruk di era kepemimpinannya. Bisa saja dukungan Golkar itu berubah jika tingkat elektabilitas Jokowi melorot lantaran buruknya kinerja pemerintahan yang dipimpinnya.

Atau, bisa juga karena kultur pragmatis politik elit Golkar yang sudah sedemikian akut. Bagi mereka, berpolitik hanya untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Mungkin pula, dalam kondisi saat ini, partai berlambang beringin membutuhkan penopang, merapat kekuasaan, lantaran kondisinya rapuh, nyaris roboh, dihantam konflik internal.

Seperti diketahui, konflik internal menyebabkan Golkar tergopoh-gopoh. Di ajang pemilihan kepala daerah (Pilkada), jago-jago Golkar pada tumbang. Hasil Pilkada 9 Desember 2015 lalu menunjukan, Golkar yang sebelumnya selalu mendominasi suksesi di daerah, hanya merengkuh kemenangan sekitar 34 persen. Itu pun sebatas menjadi pendukung kandidat yang diusung partai lain. Dalam kondisi demikian, Golkar memilih jalur pragmatis, merapat kekuasaan guna menyangga kekuatan. 

Sementara bagi Jokowi, dukungan partai pemenang kedua di Pemilu Legislatif itu sangat strategis. Jokowi mengakui dukungan Golkar sangat diharapkan dalam mendukung pemerintah. "Pemerintah harus bersama-sama dengan seluruh komponen, kelompok strategis, khususnya partai politik seperti Golkar dan partai lainnya," katanya saat membuka Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar di Nusa Dua, Bali, Sabtu (14/5) lalu.

Bagi Jokowi, Golkar bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan posisi tawar di hadapan parlemen, termasuk partai pendukungnya, khususnya Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP). Dengan begitu, Jokowi bisa menekan manuver mitra koalisi, termasuk saat berhadapan dengan parlemen sehingga implementasi kebijakan dan program pemerintahan yang dipimpin dapat aman hingga 2019 nanti.

Meski sebenarnya dukungan politik mayoritas di parlemen, tidak serta merta bisa meredam manuver politik partai pendukungnya. Karena, sulit dijamin, mitra koalisi akan selalu konsisten mendukung kebijakan pemerintah, apalagi kebijakan itu dianggap tidak populis.

Golkar juga nampaknya mencermati meregangnya hubungan antara PDIP-Jokowi. Meski tidak terlihat secara frontal, ada keregangan antara PDIP-Jokowi. Keregangan itu terlihat saat Jokowi menunjuk menteri dengan latar belakang profesional.

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pernah menyebut, orang-orang non partai itu sebagai penumpang gelap di pemerintahan. Dia mencermati, gerakan antipartai, yang ditopang kekuataan modal, yang menyusup di lingkaran kekuasaan demi kepentingan tertentu. Megawati menganggapnya sebagai kelompok oportunis.

Orang-orang nonpartai itu berhasil menyusup ke Ring 1 Istana karena turut berjuang memenangkan Jokowi. Rini Soemarno misalnya. Dia bukan kader PDIP. Namun, sempat dekat dengan Megawati. Karenanya, dia dipercaya memimpin tim transisi yang tugasnya mempersiapkan Kabinet Kerja. Manuvernya merapat ke Jokowi, mengantarkan Rini ke kursi Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Belakang, Megawati, PDP, dan Rini pecah kongsi.

Demikian pula saat wacana pemilihan Kapolri baru, menggantikan Jenderal Polisi Sutarman. Elit PDIP cenderung berharap Jokowi mengangkat Komisaris Jenderal (Komjen) Budi Gunawan sebagai Kapolri. Nyatanya, Jokowi mengangkat Komisaris Jenderal Polisi Badrodin Haiti sebagai Kapolri.

Lalu, tatkala jabatan Badrodin berakhir, Jokowi awalnya diperkirakan akan mengangkat Budi Gunawan yang menjabat Wakil Kapolri. Selain karena Budi Gunawan memiliki dukungan politik paling kuat dibandingkan nama-nama kandidat lainnya, status tersangka kepemilikan rekening mencurigakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Budi Gunawan, sudah dianulir. Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sarpin Rizaldi, memenangkan gugatan praperadilan yang diajukan Budi Gunawan.

Nyatanya, Jokowi mengangkat Jenderal Tito Karnavian sebagai Kapolri, meski lebih junior dari Budi Gunawan. Jokowi kala itu dihadapkan dilema lantaran tak bisa mengabaikan desakan publik yang menentang pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kapolri.

*****

Soal tudingan adanya embel-embel di balik dukungan untuk Jokowi, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Golkar, Idrus Marham membantah. Dia menegaskan, Rapimnas tidak membahas nama kader Golkar untuk disodorkan ke Jokowi sebagai calon menteri. "Tidak ada tawar menawar menteri, tidak ada kaitan dengan Rapimnas," katanya.

Sulit menyakini klaim Idrus tersebut. Dalam politik, tidak ada "makan siang gratis".  Apalagi, dukungan itu berhembus kencang seiring kencangnya hembusan isu reshuffle. Ada kabar yang menyebut, beberapa nama baru bakal menduduki jabatan menteri, menggantikan menteri-menteri yang dianggap kinerjanya tak optimal. Ada pula menteri yang bakal dirotasi (Baca: Menanti Kabar dari Istana)

Tak jelas kabar itu sumbernya dari mana. Istana saja belum mengabarkan jika dalam waktu dekat Presiden akan merombak menterinya. Namun, Presiden sudah memanggil beberapa menteri dengan tujuan evaluasi kinerja. 

Di tengah isu reshuffle, Idrus Marham, salah satu nama, yang disebut-sebut sebagai calon menteri yang diusung Golkar.

Lalu, meski menolak anggapan jika dukungan terhadap Jokowi itu tidak disertai embel-embel jatah kursi menteri, Politisi Golkar, Tantowi Yahya, di Jakarta, Jumat, (22/7) menyatakan, jika ditawarkan jabatan menteri, Golkar tak akan menolak. Tentu, karena jabatan menteri sangat strategis untuk mendongkrak dukungan masyarakat lewat program-program di kementerian.

Tantowi pun menolak anggapan, jika dukungan Golkar kepada Jokowi terlalu dini. Dia berdalih, dukungan Golkar itu lantaran menilai kinerja Jokowi sebagai Presiden. Dia pun menyebut, Golkar ingin menunjukan nuansa baru dalam perpolitikan nasional, dengan memilih calon presiden yang bukan pimpinannya.

Manuver Golkar itu direspons datar Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP Hendrawan Supratikno. Dia menyatakan, sah-sah saja Golkar mendukung Jokowi di Pilpres 2019. PDIP menghormatinya. Namun, dia menduga, Golkar sedang memberikan "isyarat" di hadapan presiden. "Golkar itu jam terbangnya tinggi," katanya.

Golkar memang jagonya bermanuver dan sukses. Meski kandidat yang didukungnya kalah di Pilpres 2004 lalu, Golkar tetap bisa memasukan kadernya di pemerintahan. Golkar kala itu mendukung Wiranto dan Sollahuddin Wahid sebagai calon presiden dan calon wakil presiden. Namun, pasangan itu dikalahkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla.

Meski kalah, dua kader Golkar berhasil duduk di pemerintahan yakni Aburizal Bakrie dan Fahmi Idris sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Saat isu perombakan kabinet begitu kencang berhembus pada Novemver 2005, Golkar juga berhasil mengamankan Aburizal dari tekanan pemecatan yang disuarakan khalayak. Ical, sapaan Aburizal, pernah menjadi salah satu menteri di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I yang layak di-reshuffle karena tidak cakap memimpin tim ekonomi.

Kekecewaan publik memuncak setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang rata-rata 126 persen, bahkan minyak tanah naik 185,5 persen dari Rp700 per liter menjadi Rp2 ribu per liter, Oktober 2005 lalu. Kebijakan itu membuat rakyat miskin menjerit. Angka kemiskinan melonjak, rata-rata mencapai 118 persen. Jumlah rakyat miskin mencapai 4,2 juta orang pada 2006 atau naik menjadi 39,3 juta jiwa (17,75 persen) dibandingkan tahun sebelumnya.

Gencarnya manuver Golkar, memaksa SBY mendorong Jusuf Kalla merebut kekuasaan Partai Golkar dari Akbar Tanjung. Dan, Kalla berhasil. Namun, meski Kalla mengendalikan Golkar, tekanan Golkar tak berhenti. Kalla sendiri dihadapi desakan elit Golkar agar dirinya mempengarui SBY agar mengakomodir kepentingan kader Golkar di pemerintahan.

Ical akhirnya selamat dari reshuffle. Dia hanya dirotasi menjadi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Sementara Wakil Bendahara Golkar Paskah Suzetta ditempatkan di Kementerian Perencanaan Pembangunan/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), menggantikan Sri Mulyani. Sebelumnya, Paskah menjabat sebagai Ketua Komisi XI DPR bidang Anggaran. Golkar juga berhasil menjadikan Andi Mattalatta sebagai Menteri Hukum dan HAM menggantikan Hamid Awaludin.

Lalu, di ajang Pilpres 2009, meski kalah mengusung Jusuf Kalla dan Wiranto yang menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden, Golkar tetap bisa memasukan kadernya di pemerintah. Mereka antara lain: Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, Menteri Perindustrian Mohamad Suleman Hidayat.

*****

Dengan pengalaman itu, bukan mustahil, Golkar kembali melakoni manuver serupa. Apalagi, memiliki bargaining position yang kuat di hadapan Jokowi. Masuknya Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) ke kubu pemerintah juga rada membuat pentolan parpol pendukung Jokowi-Jusuf Kalla di Pilpres 2014, ketar-ketir.

Karena, tidak mustahil jatah kursi yang diduduki kadernya, beralih ke Golkar. Tentu menyakitkan. Karena, Golkar dan PAN tidak berkeringat memenangkan Jokowi-Jusuf Kalla di ajang suksesi. Dan, bukan tidak mustahil, masuknya Golkar dan PAN, makin memicu gesekan di internal kabinet.

Bisa jadi, manuver itu tidak terlepas dari upaya Golkar menggeser dominasi PDIP dan strategi memecah kongsi Jokowi-PDIP. Dengan mengantongi dukungan dari Golkar, maka PDIP rada sulit menekan Jokowi.

Sementara PDIP dituntut untuk memastikan program-program Pemerintahan Jokowi harus berjalan sesuai harapan demi mempertahankan elektabilitasnya sehingga tetap dipercaya sebagai partai penguasa. Dalam kondisi demikian, PDIP tentu juga harus melakoni peran layaknya oposisi---yang seakan-akan pro dengan kepentingan rakyat tatkala menyikapi kebijakan pemerintahan Jokowi yang kontraproduktif terhadap cita-cita partai. Kinerja pemerintahan yang buruk dapat merugikan PDIP karena Jokowi identik dengan PDIP.

Karenanya, PDIP mewaspadai manuver Golkar sekaligus menentukan sikap yang jelas terkait hubungannya dengan Jokowi. PDIP juga harus bisa memastikan kepemimpinan Jokowi tidak justru menjatuhkan citranya di hadapan rakyat lantaran tidak maksimal merealisasikan visi misi Trisakti.

Dukungan dini Golkar yang mendukung Jokowi mengisyaratkan Golkar piawai bermanuver. Namun, dukungan itu sekaligus menunjukan Golkar partai yang tak mampu melakoni perannya dengan baik sebagai instrumen demokrasi. Posisi tawar Golkar sebagai partai pemenang kedua di Pemilu 2014 yang seharusnya dimanfaatkan untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat, justru dijadikan alat transaksi kekuasaan.

Idealnya, di kala posisinya masih terpuruk, Golkar melakukan pembenahan. Waktu tiga tahun masih bisa dimanfaatkan untuk menggalang dukungan rakyat lewat peran-peran politiknya. Di panggung suksesi, Golkar pun harusnya mengusulkan kadernya sendiri. Kalau pun Setya Novanto dianggap tidak memiliki "nilai jual", Golkar dapat mengusung kader-kadernya yang lain, yang memiliki kompetensi, rekam jejak yang mumpuni, dan berintegritas.

Cara-cara Golkar yang terlalu dini mendukung Jokowi menunjukan pengabaian fungsi rekrutmen politik, di mana Golkar sebagai partai politik, harusnya mencetak calon-calon pemimpin bangsa. Dan, tentu, di Golkar banyak sekali calon-calon pemimpin bangsa yang diharapkan rakyat. Dukungan dini kepada Jokowi juga dapat membuka ruang konflik baru di internal Golkar. Konflik akan mengemuka saat memasuki musim politik.

Di tengah keterpurukannya, Golkar harusnya melakukan rebranding sebagai upaya melakukan pembaharuan, dengan menciptakan perubahan strategi organisasi, program kerja, perubahan perilaku dan budaya politisi, dan sebagainya (Baca: Rebranding, Mengembalikan Tuah Beringin Tua)

Dengan tujuan, meningkatkan image, perubahan tata kelola organisasi, orientasi, misi dan visi, program, pelayanan, tugas, tanggungjawab, dan sebagainya. Rebranding juga dilakukan untuk meningkatkan kesadaran konstituen terhadap program yang ditawarkan Golkar.

Dalam konteks ini, Golkar harus menjadi partai yang benar-benar melayani kepentingan rakyat. Dan, itu tidak sekadar klaim saja. Proses itu dilakukan, bukan sekadar adanya pemicu (triggering) yaitu amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Namun, karena dinamika politik yang berkembang dan ekspektasi rakyat yang berharap Golkar dan partai politik lainnya dapat mengartikulasikan kepentingan rakyat.

Rebranding yang sempat diwacanakan beberapa politisi Golkar jelang digelarnya Musyawarah Nasional (Munas) Golkar pada Februari 2016 lalu, harusnya diaktualisasikan secara serius dan berkelanjutan. Rebranding tidak sekadar mengemas jargon politik. Namun, dilakukan secara menyeluruh, sistematis, dan terencana dengan tujuan meningkatkan reputasi partai lewat program kerja yang diselenggarakan partai. Program yang ditawarkan tentu memiliki manfaat (benefit) bagi rakyat.

*****

Di era konstestasi politik yang kompetitif saat ini, Golkar, termasuk partai politik lainnya harusnya merapat ke rakyat sebagai penentu eksistensi partai dalam perpolitikan. Para politisi dituntut menyelami dinamika politik dengan merespons suara-suara rakyat dan mampu menawarkan pandangan-pandangan yang konstruktif sebagai solusi menghadapi persoalan bangsa saat ini dan yang akan datang.

Realitas politik saat ini menuntut partai politik membangun jaringan sosial di tengah-tengah masyarakat sehingga membutuhkan pendekatan politik partisipatif dan kecakapan dalam mengartikulasikan aspirasi rakyat untuk dikonversikan dalam bentuk kebijakan dan sikap politik yang pro rakyat.

Dengan mengembangkan pola interaksi simbiosis mutualisme yang dilakukan secara terus menerus, maka basis dukungan rakyat akan menguat sehingga partai politik mengakar secara organik di masyarakat. Keberhasilan dalam membangun basis di akar rumput akan mendorong penguatan legitimasi dan dukungan dari rakyat. Basis massa itu memiliki karakter yang loyal terhadap partai politik. Mereka menyakini jika partai politik adalah instrumen tepat untuk memperjuangkan kepentingannya.

Anjloknya dukungan rakyat juga disebabkan karena ketidakmampuan partai politik dalam mengelola hubungan dengan konstituen. Partai politik belum mampu menjaga kepercayaan konstituen dengan dibuktikan kerja-kerja yang hasilnya dirasakan langsung oleh rakyat.

Realitas politik menunjukan demokrasi di Indonesia telah menempatkan rakyat di posisi terhormat. Rakyatlah yang menentukan karir politik politisi maupun partai politik. Tingginya tingkat partisipasi politik rakyat di ajang suksesi menunjukkan jika demokrasi di negara mulai menempatkan rakyat sebagai subyek yang memiliki kedaulatan politik. Rakyat dapat menggunakan hak pilihnya tanpa intimidasi. Mereka bebas menentukan pilihan berdasarkan preferensi politiknya. Karenanya, politisi dan partai politik dituntut secara berkelanjutan berinteraksi dengan rakyat, menjadi representasi rakyat dalam menentukan kebijakan strategis.

Partai politik harus menempatkan rakyat sebagai mitra yang turut bertanggungjawab membesarkan partai dengan tidak menutup ruang bagi rakyat dalam mempengaruhi kebijakan strategisnya. Keterlibatan rakyat akan meningkatkan kepercayaan karena merasa dilibatkan dalam proses persiapan, penyusunan perencanaan, maupun dalam mengawasi implementasi kebijakan partai politik.

Rakyat lebih mengetahui seluk beluk kebijakan partai politik sehingga mempunyai rasa memiliki. Dengan begitu, partai politik juga melaksanakan fungsi pendidikan politik sehingga meningkatkan kemampuan rakyat mengelaborasi dan mencari solusi di kala dihadapi masalah.

Dengan begitu pula partai politik memperluas jaringannya sebagai saluran bagi rakyat menyatakan aspirasi dan mengorganisir rakyat untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik. Rakyat tidak lagi sekadar menggunakan hak pilihnya secara independen dan merdeka. Namun, rakyat terlibat dalam pengorganisiran, menggalang kekuatan, dan terlibat dalam mengintervensi keputusan politik strategis yang dipastikan berpengaruh terhadap kepentingan bersama.

Rakyat juga menjadi mitra kritis yang cerdas dalam menginterpretasikan isu-isu politik yang berkembang. Inilah esensi dari demokrasi. Dan, menjadi tugas Golkar berserta partai politik lainnya untuk mencerdaskan rakyat. 

M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1186
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 524
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1615
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1395
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya