Munaslub Partai Golkar

Rebranding, Mengembalikan Tuah Beringin Tua

| dilihat 2352

AKARPADINEWS.COM | 14-17 Mei 2016, Partai Golkar berencana menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) di Nusa Dua, Bali. Delapan kandidat bertarung memperebutkan posisi puncak partai berlambang beringin itu.

Mereka antara lain: Airlangga Hartarto, Aziz Syamsuddin, Ade Komarudin, Indra Bambang Utoyo, Mahyudin, Priyo Budi Santoso, Setya Novanto, dan Syahrul Yasin Limpo.

Sayang, jelang Munaslub, isu tak sedap menguap. Mulai dari isu politik uang (money politics) hingga isu adanya salah satu kubu melakukan upaya terselubung guna mendapatkan dukungan pemerintah.

Jelang Munaslub, publik disuguhkan kabar soal adanya tebar uang yang dilakukan kandidat. Tentu, kandidat yang paling banyak uang yang lebih berpeluang memenangkan pertarungan. Apalagi, jika elit Golkar yang punya hak suara, bermental wani piro.

Publik rada mahfum dengan tradisi suksesi di internal Golkar. Jelang suksesi sebelumnya, uang juga disebut-sebut paling menentukan kemenangan elit yang berambisi duduk di pucuk beringin.

Tentu, isu tersebut harus disikapi serius. Golkar tentu tidak ingin terus-terusan terperosok dalam praktik politik yang menghamba pada uang, yang menjadi pangkal penyalahgunaan kekuasaan yang pada akhirnya meruntuhkan citra partai.

Masalahnya, justru pihak penyelenggara (steering committee) yang mensyaratkan masing-masing kandidat menyetor uang sebesar Rp1 miliar. Alasannya, uang tersebut untuk biaya operasional Munaslub, sekaligus menghindari politik uang.

Namun, syarat itu ditentang. Tokoh senior Golkar, Akbar Tandjung menilai, Munaslub tetap dapat dilaksanakan, tanpa harus mewajibkan kandidat membayar uang. Kalau pun membutuhkan uang, mantan Ketua Umum Partai Golkar periode 1998-2004 itu ingin uang yang digunakan berasal dari iuran.

Dirinya siap memberikan iuran jika diminta. "Hal ini (syarat bayar Rp1 miliar) akan berdampak menurunkan (citra) Partai Golkar di mata publik," ujar mantan Ketua DPR periode 1999-2004 itu.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif juga memperingatkan jika setoran Rp1miliar itu rawan terjadi gratifikasi seperti diatur dalam Undang-undang KPK. Pihaknya akan melakukan tindakan sesuai aturan yang berlaku. 

Ada lagi kabar yang menyebut pemerintah mendukung salah satu kandidat. Jika kandidat yang dielus-elus itu menang, maka makin mudah bagi pemerintah menjinakkan Golkar.

Bahkan, ada kabar, salah satu kandidat "mencatut" nama Presiden Joko Widodo sebagai pihak yang merestuinya. Kabar itu langsung ditepis Istana. Presiden lewat juru bicaranya, Johan Budi, menolak tudingan ikut cawe-cawe dalam urusan Golkar.

Presiden memang tak ikut-ikutan urusan Munaslub Golkar. Banyak persoalan lain yang lebih penting untuk diurusi. Namun, berhembus kabar jika ada menteri yang menunggangi Munaslub Golkar. Adalah tim sukses Ade Komaruddin (Akom) yang menyebut ada menteri yang melakukan gerakan bawah tanah untuk memenangkan salah satu kandidat.

Bahkan, seperti kata anggota tim sukses Akom, Firman Subagyo, menteri itu telah mengundang Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I dan DPD II untuk pertemuan di kompleks perumahan menteri, Kuningan, Jakarta Selatan.

Dan, tak hanya itu. Firman menambahkan, menteri itu menginstruksikan Dandim, Danrem, Polda dan Polres untuk memenangkan kandidat yang didukungnya. Sayang, Firman tak mau mengungkap identitas menteri dan kandidat yang didukung.

Tudingan itu pun ditepis Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Luhut Binsar Pandjaitan. Dia menegaskan, pemerintah tidak mendukung salah satu kandidat. Apalagi, calon yang didukung pemerintah itu adalah Setya Novanto.

Dia memastikan, pemerintah hanya mendukung penyelenggaraan Munaslub tanpa memberikan dukungan kepada salah satu kandidat. "Tak ada dukung-mendukung (salah satu kandidat)," terang Luhut di Kantor Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Jakarta,  Senin (9/5).

Mantan Wakil ketua Dewan Pembina Partai Golkar itu pun membantah tudingan pernah mengumpulkan DPD Golkar. "Saya tidak pernah mengumpulkan DPD," tegasnya. Namun, dia mengaku, ada beberapa DPD datang kepadanya untuk menanyakan sikap pemerintah terkait pelaksanaan Munaslub Golkar.

Golkar, di tengah keterpurukannya saat ini lantaran dibelit persoalan konflik internal, memang tetap mempesona di hadapan penguasa. Meski kekuatan Golkar tergerus di ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2015 lalu, namun daya politik Golkar masih sangat strategis. Sementara di sisi lain, Golkar pun kelimpungan menghadapi manuver pemerintah lewat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) yang berwenang menerbitkan legalitas kepengurusan partai politik.

Di parlemen, Golkar memiliki suara terbanyak kedua setelah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Untuk mengamankan kepentingan, pemerintah tentu harus meredam Golkar yang dikenal piawai bermanuver.

Upaya pemerintah menaklukan kekuataan Golkar itu jelas terlihat saat Golkar dirudung konflik jelang suksesi. Pemerintah yang ingin Golkar merapat ke pemerintah cenderung berpihak pada kubu Agung Laksono.

Sementara di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie, Golkar memilih merapat ke Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai kekuatan penyeimbang. Kini, Agung dan Aburizal sudah bersatu. Tak ada lagi dua kubu yang berseteru.

Dua pentolan Golkar itu pun berharap Munaslub mengembalikan kejayaan Golkar. "Serahkan pada generasi muda dan ada regenerasi. Jadi, bukan sekedar Munaslub, tetapi untuk melahirkan regenerasi," kata Agung di Medan seperti dikutip Antara, Senin (9/5).

Agung dan Ical, sapaan Aburizal, sepakat untuk tidak mencalonkan diri di bursa suksesi. Namun, keduanya tentu memiliki jagonya. Agung yang enggan menyebutkan nama jagoannya berharap agar peserta Munaslub, tidak menggunakan hak pilihnya lantaran diiming-imingi uang. Tetapi, berdasarkan penilaian visi misi dan gagasan dalam mengembangkan Partai Golkar. "Jadi, pemilihannya bukan atas wani piro," katanya.

*****

Munaslub Golkar harusnya tak sekadar ajang para elit menebar dan membalas tudingan. Munaslub juga bukan ajang elit unjuk kekuatan dan perburuan kekuasaan. Publik sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang menentukan nasib Golkar, termasuk partai politik lainnya, harusnya dilibatkan.

Kesannya, Munaslub hanya diramaikan dengan klaim-klaim elit politik. Sementara publik hanya menjadi penonton, tidak diberikan ruang bersuara, menyampaikan ekspektasinya terhadap Golkar. Apa karena publik di Munaslub tidak memiliki hak suara?

Munaslub juga harusnya menjadi momentum untuk memperkuat konsolidasi setelah Golkar terpecah akibat konflik kepentingan elit. Munaslub juga harus diarahkan untuk mengevaluasi kinerja para kader dan melahirkan strategi politik yang dapat menopang tugas dan tanggungjawab politik para kader dalam memperjuangkan aspirasi rakyat.

Di tengah keterpurukannya saat ini, Golkar mau tidak mau harus segera berbenah. Keterpurukan saat ini harusnya menjadi bahan pelajaran bagi Golkar. Jika tidak, Golkar bakal semakin terperosok, menjadi partai papan bawah.

Dalam perjalanan politiknya, Golkar memang begitu lama berada di zona kenikmatan lantaran dipelihara rezim Orde Baru. Di setiap ajang pemilihan umum, Golkar selalu nomor satu.

Namun, kemenangan Golkar bukan lantaran perjuangannya memobilisasi dukungan rakyat secara partisipatif, melainkan karena sistem Pemilu didesain secara manipulatif untuk mempertahankan kekuasaan Orde Baru.

Seperti diketahui, di masa Orde Baru, meski dapat berlangsung secara periodik (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997), Pemilu didesain untuk mengebiri kedaulatan rakyat. Hegemoni dan dominasi penguasa begitu besar dalam ranah politik.

Penentuan calon legislatif (Caleg) di Pemilu sepenuhnya berada di tangan elit partai politik. Dalam sistem praktik sistem proporsional yang berlaku selama Orde Baru, masyarakat juga hanya memilih atau mencoblos tanda gambar partai. Sementara para calegnya telah disusun dan dipersiapkan sebelumnya oleh elit partai, tanpa melibatkan rakyat.

Akibatnya, kualitas representasi para wakil rakyat yang duduk di legislatif, sangat rendah. Legislatif pun hanya menjadi "tukang stempel" yang melestarikan kekuasaan rezim Orde Baru.

Semula, sejumlah khalayak menganggap Golkar akan tenggelam seiring lengsernya kekuasaan Orde Baru. Desakan pembubaran partai Golkar memang begitu kuat pascatumbangnya kekuasaan Orde Baru. Di era Presiden Abdurahman Wahid, partai ini pernah dibekukan lewat Dekrit Presiden.

Namun, gelombang politik kala itu, tak mampu menenggelamkan Golkar. Beringin begitu kokoh menghadapi serangan lawan politiknya. Dan, Golkar pun masih menunjukan kekuatannya.

Di panggung kekuasaan, Golkar tak pernah kehabisan akal memainkan aksinya meraih dan mempertahankan kekuasaan. Bisa dikatakan, Golkar paling piawai melakukan manuver politik dibandingkan partai politik lainnya. Dalam urusan lobi melobi kekuasaan, Golkar paling jagonya.

Setelah Pemilihan Presiden 2004 lalu, meski kalah dalam mengusung jagonya, Golkar tetap dapat jatah kekuasaan di pemerintahan. Di Pemilu Legislatif tahun 2004, 2009, dan 2014, Golkar tetap bertengger di posisi puncak, menjadi juara kedua di Pemilu Legislatif. Golkar hanya tergusur oleh PDIP dan Partai Demokrat di Pemilu 2004 dan 2009.

Pragmatisme dan Kerapuhan Internal

Golkar memang tangguh menghadapi serangan politik lawan-lawan politiknya. Namun, Golkar tak kuasa menghadapi persoalan di tubuhnya sendiri. Kegagalan elitnya dalam mengelola konflik menyebabkan polarisasi yang berdampak rapuhnya Golkar di ajang Pilkada 2015 lalu.

Perolehan suara Golkar turun drastis akibat tidak bergeraknya mesin partai. Hasil Pilkada, 9 Desember 2015 lalu menunjukan jago-jago Golkar tumbang. Golkar yang sebelumnya selalu mendominasi suksesi di daerah, hanya merengkuh kemenangan sekitar 34 persen. Itu pun sebatas menjadi pendukung kandidat yang diusung partai lain.

Seperti diketahui, dua kubu di internal Golkar: Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, sekian lama berseteru. Golkar terjebak dalam pusaran konflik kepentingan elit yang sulit diurai. Konflik di internal Golkar itu pun tidak terlepas dari intervensi pemerintah.

Intervensi itu dengan mudah menyusup ke internal partai politik karena polarisasi kepentingan pragmatis para elit Golkar yang memaksa untuk diakomodasi. Pragmatisme politik menjadi muara konflik karena mengukuhkan praktik politik feodalistik, menutup celah bagi tumbuh dan berkembangnya iklim demokrasi dan regenerasi.

Inilah yang kemudian membentuk patron and client sehingga terciptalah kubu-kubu di internal partai. Orientasi pelaku politik pun akhirnya sekadar menjadikan partai politik sebagai instrumen merebut dan mempertahankan kekuasaan, bukan untuk sarana pengabdian kepada rakyat. 

Kini, konflik telah berakhir. Para pentolan Golkar meredam ambisi pribadi. Tinggal langkah selanjutnya adalah memperkuat konsolidasi. Apalagi, di tahun 2017 ini, Pilkada serentak akan digelar. Golkar tentu tak ingin mengulangi kegagalan di Pilkada 2015 lalu. Karenanya, Munaslub jangan justru makin memperdalam konflik. Namun, menjadi momentum mempersatukan Golkar.

Sebagai partai politik tertua di Indonesia--dengan segudang pengalaman politiknya, Golkar harusnya mampu mengelola konflik secara baik, tanpa harus melibatkan pihak dari luar partai.

Ketidakmampuan mengendalikan konflik tentu mengundang intervensi dari pihak luar, termasuk dari pemerintah. Ketidakmampuan elit Golkar memediasi konflik juga akan memunculkan persepsi negatif dari masyarakat sehingga dapat mempengarui pilihan politiknya.

Rebranding, Tuntutan Perubahan

Rontoknya kekuatan Golkar di ajang Pilkada 2015, menunjukan mesin partai tidak bergerak optimal dalam mengelola hubungan dengan konstituen. Memang, harus diakui, Beringin yang sudah menua, belum mampu membangun basis massa yang mengakar.

Karakteristik pemilih Golkar umumnya bertipikal non ideologis. Karakter konstituen itu dapat dengan mudah mengubah pilihan politiknya ke partai lain jika mengetahui politisi partai mengingkari amanat rakyat. Di sinilah pentingnya menjaga kepercayaan konstituen dengan dibuktikan kerja-kerja yang hasilnya dirasakan langsung oleh rakyat.

Golkar, termasuk partai-partai lainnya, harus terus bermetamorfosis menjadi partai modern. Tak lagi sekadar menjadi tempat berkumpulnya para politisi yang menjadikan partai politik sebatas alat posisi tawar.

Karenanya, Munaslub harusnya diarahkan untuk melakukan rebranding sebagai partai yang benar-benar berorientasi pada kepentingan rakyat (people oriented). Golkar harus menjadi jembatan bagi rakyat menuju kesejahteraan. Dalam konteks ini, dibutuhkan tata kelola organisasi yang modern, profesional, transparan, dan akuntabel.

Ide rebranding pernah dilontarkan Mahyudin. Menurut dia, rebranding tujuannya agar Golkar tidak hanya dipilih kalangan tradisional. Namun, juga dilirik pemilih muda. Politisi Partai Golkar, Meutya Hafid juga pernah menekankan pentingnya rebranding. Apalagi, di kala kondisi Golkar yang tak menentu. Karenanya, dia berharap Golkar melakukan rebranding, menjadi partai modern. 

Rebranding, menurut Laurent Muzellec dan Mary Lambkin dalam bukunya, Corporate rebranding: destroying, transferring or creating brand equity (2004), berasal dari kata re dan brand. Re merupakan awalan kata kerja yang berarti lagi atau pembaruan yang berarti pekerjaan yang dilakukan untuk kedua kalinya.

Dengan demikian, rebranding dipahami sebagai upaya melakukan pembaruan kembali. Dalam dunia bisnis, rebranding dirasakan mendesak tatkala muncul persaingan produk sejenis yang kian kompetitif. Rebranding juga diarahkan untuk mendongkrak citra yang sudah kadarluarsa, tidak lagi sesuai dengan kebutuhan pasar.

Rebranding diarahkan dengan tujuan mempertahankan hubungan yang baik antara produsen dengan konsumen. Caranya, tak sebatas mengubah motto, logo, atau slogan belaka. Namun, rebranding harus disertai inovasi dan diversifikasi produk atau meningkatkan manfaat dari produk yang ditawarkan produsen kepada konsumen. 

Dalam konteks politik, rebranding merupakan upaya melakukan pembaharuan terhadap partai politik, dengan menciptakan perubahan strategi organisasi, program kerja, perubahan perilaku dan budaya politisi, dan sebagainya. Dengan tujuan, meningkatkan image, perubahan tata kelola organisasi, orientasi, misi dan visi, program, pelayanan, tugas, tanggungjawab, dan sebagainya.

Rebranding juga dilakukan untuk meningkatkan kesadaran konstituen terhadap program yang ditawarkan partai politik. Dalam konteks ini, rebranding yang dilakukan harus menjadi GOlkar sebagai partai yang benar-benar melayani kepentingan rakyat. Dan, itu tidak sekadar klaim saja. Perlu diidentifikasi tingkat kepuasaan rakyat terhadap peran dan fungsi Golkar. Apakah Golkar melaksanakan fungsi dengan baik, melakukan sosialisasi politik, pendidikan politik, rekrutmen politik, mediasi konflik, dan sebagainya? Rakyat yang lebih objektif menilainya.

Sebagai instrumen demokrasi, Golkar maupun partai politik lainnya, harus membangun brand yang kuat. Cara-cara mengembangkan bisnis dapat menjadi contoh, di mana brand menjadi bagian penting dari sebuah produk.

Bagi partai politik, brand mempengarui persepsi atau penilaian rakyat sebagai konstituen terhadap misi visi, platform, dan cita-cita partai. Semakin kuat brand, maka semakin positif penilaian publik sehingga memudahkan partai melakukan penetrasi ke rakyat.

Brand menjadi bagian penting bagi partai politik karena menciptakan persepsi rakyat, yang muncul dari beragam informasi dan pengalamannya dilayani partai politik sehingga makin meningkatkan hubungan antara rakyat dengan partai politik. Bagi konstituen yang sudah merasakan manfaatnya, maka akan memunculkan kesetiaannya (brand loyality).

Loyalitas itu juga terbangun karena kepercayaan (trust), di mana konstituen sebagai konsumen menyakini kualitas program dan implementasinya. Dalam konteks ini, rebranding menjadi cara membangun citra baru bagi partai politik dengan menyuguhkan program kerja yang diharapkan dan sesuai dengan ekspektasi rakyat.

Citra khalayak itu berkaitan dengan penilaian maupun responnya yang diaktualisasikan dengan kepuasan, kesan positif terhadap partai politik, setelah rakyat melihat, mengamati, mendengar, dan merasakan manfaat dari keberadaan partai politik.

Sebagai institusi publik, Golkar maupun partai politik lainnya, harusnya menyadari pentingnya rebranding, yang diorganisir secara baik, dengan tujuan mempertahankan citra maupun membangun citra baru.

Proses itu dilakukan, bukan sekadar adanya pemicu (triggering) yaitu amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Namun, karena dinamika yang berkembang dan ekspektasi rakyat.

Rebranding juga dilakukan secara berkelanjutan. Langkah selanjutnya adalah menganalisa persepsi publik, analisa kompetitor, termasuk analisis potensi dan sumberdaya internal. Setelah itu, disusun perencanaan (planning), yang mencakup strategi mendesain brand, mulai dari penyusunan misi dan visi, program kerja, rencana strategis, orientasi yang berbasis nilai-nilai dan budaya organisasi, penyusunan struktur keorganisasian yang baru, dan sebagainya.

Dan, yang tak kalah penting adalah melakukan evaluasi guna mengukur tingkat pencapaian dan kegagalan, sekaligus mendeteksi faktor-faktor yang menjadi penyebab gagalnya pencapaian target yang diharapkan. Dalam melakukan evaluasi, partai politik perlu melibatkan kalangan eksternal yang independen.

Singkatnya, rebranding tidak sekadar mengubah jargon politik saja. Namun, rebranding dilakukan secara menyeluruh, sistematis, dan terencana dengan tujuan meningkatkan reputasi partai lewat program kerja yang diselenggarakan partai. Program yang ditawarkan tentu memiliki manfaat (benefit) bagi rakyat. Selain itu, dibutuhkan komitmen dan keseriusan politisi dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.

Menuju Politik Partisipatif

Di tengah konstestasi politik yang kompetitif saat ini, Golkar, termasuk semua partai, dituntut menjadi partai terbuka dan responsif menyikapi realitas maupun isu-isu strategis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Dan, itu memang menjadi kodratnya partai politik sebagai instrumen demokrasi yang menyuarakan kepentingan rakyat. Apalagi, Golkar dikenal dengan jargonnya, "Suara Golkar, Suara Rakyat."

Era politik yang cenderung liberal saat ini menuntut politisi untuk lebih intensif berinteraksi dengan rakyat. Mereka harus mengidentifikasi suara rakyat serta mampu menawarkan solusi konstruktif dalam menghadapi persoalan bangsa saat ini dan yang akan datang.

Liberalisasi politik saat ini menuntut semua partai untuk membangun jaringan di tengah masyarakat sehingga membutuhkan pendekatan politik partisipatif. Dengan berinteraksi langsung bersama rakyat, maka politisi dapat lebih optimal mengartikulasikan dan mengagregasikan aspirasi rakyat untuk dikonversikan dalam bentuk kebijakan yang pro rakyat.

Interaksi itu merupakan bagian dari komunikasi politik yang harus dilakukan secara berkelanjutan, tidak sekadar pada saat reses atau saat rakyat dihadapi masalah.Rakyat sebenarnya tidak terlalu berharap dapat jatah sembako atau uang dari dari politisi. Rakyat sudah sangat senang jika disapa, diajak diskusi, ngobrol bersama, atau sekadar ketawa ketiwi dengan politisi. Itu lebih manusiawi bagi mereka daripada disuguhkan sembako layaknya pengemis, atau hiburan yang tidak mendidik nalar politik rakyat. 

Pola interaksi yang dibangun sifatnya simbiosis mutualisme, bukan simbiosis paratisme. Dengan begitu, basis dukungan rakyat akan makin menguat partai politik pun lebih mengakar secara organik di masyarakat.

Keberhasilan partai dalam membangun basis di akar rumput, pada akhirnya memperkuat legitimasi, dukungan, dan loyalitas rakyat. Kedekatan hubungan itu akan senantiasa terjaga jika partai politik menjadi instrumen yang tepat bagi rakyat dalam memperjuangkan kepentingannya.

Elit partai politik harus sadar bahwa rakyat yang menentukan karir politiknya. Rakyat dapat menggunakan hak pilihnya secara bebas berdasarkan preferensi politiknya. Karenanya, politisi dan partai politik dituntut secara berkelanjutan berinteraksi dengan rakyat. Mereka harus betul-betul menjadi representasi rakyat dalam menentukan kebijakan strategis, khususnya yang menyangkut kepentingan rakyat.

Dalam konteks ini, Golkar dan partai-partai lainnya harus benar-benar menempatkan rakyat sebagai mitra yang turut bertanggungjawab membesarkan partai dengan tidak menutup ruang bagi rakyat dalam mempengaruhi kebijakan strategisnya.

Keterlibatan rakyat akan meningkatkan kepercayaan karena merasa dilibatkan dalam proses persiapan, penyusunan perencanaan, maupun dalam mengawasi implementasi kebijakan partai politik. Rakyat lebih mengetahui seluk beluk kebijakan partai politik sehingga mempunyai rasa memiliki.

Dengan begitu, partai politik juga melaksanakan fungsi pendidikan politik sehingga meningkatkan kemampuan rakyat mengelaborasi dan mencari solusi di kala dihadapi masalah. Dan, partai politik juga makin memperluas jaringannya sebagai saluran bagi rakyat menyatakan aspirasi dan mengorganisir rakyat untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik.

Rakyat tidak lagi sekadar menggunakan hak pilihnya secara independen dan merdeka. Namun, rakyat terlibat dalam pengorganisiran, menggalang kekuatan, dan terlibat dalam mengintervensi keputusan politik strategis yang dipastikan berpengaruh terhadap kepentingan bersama.

Rakyat juga menjadi mitra kritis yang cerdas dalam menginterpretasikan isu-isu politik yang berkembang. Mereka tidak begitu saja menelan mentah-mentah informasi yang berkembang.

Inilah esensi dari demokrasi partisipatif yang harus dibangun partai politik lewat perannya melakukan sosialisasi politik, pendidikan politik, rekrutmen politik, maupun dalam fungsi mengkonversikan aspirasi rakyat. Karena itu pula, bukan hal yang mudah membangun partisipasi politik rakyat. Bukan dengan cara-cara instan. Namun, melewati sebuah proses panjang dan berkelanjutan. Partisipasi politik jangan sebatas diaktualisasi sedemikian sempit--di kala suksesi saja. Setelah suksesi berakhir, hubungan antara rakyat dengan politisi seakan berakhir.

Politisi harus mengidentifikasi realitas sosiologis dan cakap beradaptasi dengan masyarakat. Dan, proses interaksi akan berlangsung dengan baik jika komunikasi berjalan efektif, memahami karateristik dan perilaku masyarakat, ikatan sosial, struktur sosial, interaksi sosial, etnik, ras, agama, keluarga, dan sebagainya. Karakteristik agama dan budaya misalnya, sangat berpengaruh dalam mengarahkan perilaku konstituen secara kolektif.

Sementara dalam konteks psikologis, perilaku konstituen dikaitkan dengan loyalitas politisi atau partai politik terhadap kepentingan rakyat. Mereka melakukan penilaian dan evaluasi terhadap kinerja politisi maupun partai politik, dengan basis informasi dan isu-isu yang berkembang. Rasionalitas penilaian konstituen berangkat dari fakta yang akan menentukan pilihan politiknya.

Konstituen yang rasional dapat menilai secara objektif kerja-kerja elit dan partai politik, dan sejauhmana merealisasikan program kerja yang pernah dijanjikan. Konstituen yang rasional memiliki prinsip dan pengetahuan.

Selain itu, sebagai partai politik yang menempatkan posisi kekuatan penyeimbang, Golkar harus berpolitik lebih cerdas. Kekuatan penyeimbang, perannya tidak kalah penting dibandingkan partai yang tengah berkuasa. Penyeimbang melakoni peran sebagai mengawal penyelenggara kekuasaan negara agar menjalankan kekuasaan sesuai titah rakyat.

Peran itu tidak harus selalu dilakukan dengan cara-cara mendeskreditkan pemerintah. Namun, memberikan kritik konstruktif dan kongkret. Manuver politik yang hanya ditujukan untuk menjatuhkan lawan politik justru akan menuai respons negatif dari rakyat. Karena sebagai penonton, rakyat menggunakan nalarnya untuk melakukan penilaian.

Peran sebagai kekuatan penyeimbang jika dijalankan dengan baik dapat menjadi investasi politik bagi Golkar dan partai-partai lainnya yang sama-sama berada di luar pemerintah. Mereka dapat memanfaatkan peran sebagai advokat rakyat yang melawan segala bentuk kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat. Jika peran itu bisa dilakukan dengan baik, maka kelak akan berbuah manis.

M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 235
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 405
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 255
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1182
Rumput Tetangga
Selanjutnya