Reshuffle Kabinet

Menanti Kabar dari Istana

| dilihat 3390

AKARPADINEWS.COM | ISU perombakan (reshuffle) kabinet kembali berhembus. Berbagai spekulasi pun bertebaran. Ada kabar yang menyebut beberapa nama bakal menduduki jabatan menteri, menggantikan menteri-menteri yang dianggap kinerjanya tak optimal. Ada pula menteri yang bakal dirotasi.

Tak jelas kabar itu sumbernya dari mana. Istana saja belum mengabarkan jika dalam waktu dekat Presiden Joko Widodo akan merombak menterinya. Orang-orang yang dekat dengan Presiden mengaku tidak tahu. Mereka enggan mengomentari kabar reshuffle, karena tak etis, lantaran yang memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan menteri adalah Presiden.

Namun, dalam beberapa hari ini, sinyal reshuffle begitu kuat. Selasa, 12 Juli lalu, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno menyambangi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri di kediamannya, Jakarta. Tetapi, Pratikno membantah menemui Megawati untuk menyampaikan pesan Presiden terkait reshuffle.

Dia mengaku, sekadar bersilaturahmi dengan Presiden RI kelima itu. Sementara soal reshuffle, Pratikno, enggan menjawab. Namun, mantan Rektor Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta itu mengatakan, Presiden sudah memikirkannya jauh-jauh hari soal reshuffle. "Kita tunggu saja," katanya.

Di hari yang sama, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh juga diketahui menghadap Presiden di Kantor Presiden, Jakarta. Pertemuan Jokowi dan Paloh itu dirahasiakan, tidak termasuk dalam jadwal kegiatan resmi sang Presiden. Sampai-sampai, kedatangan Paloh itu luput dari pengamatan wartawan.

Rupanya, bos Metro TV itu masuk ke Istana, tidak melalui pintu belakang Istana Negara, yang biasa dilalui tamu Istana. Esoknya, Presiden juga memanggil dua menteri dari Partai Nasdem yaitu Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.

Kepala Negara juga memanggil menteri lain di antaranya Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawangsa, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Kepala Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Kesehatan dan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komisaris Jenderal Polisi Budi Waseso.

Pihak Istana membantah jika pemanggilan para menteri itu terkait reshuffle. Namun, diakui juru bicara kepresiden Johan Budi, jika Presiden tengah mengevaluasi kinerja para menteri.

Presiden memang belum menyatakan akan merombak kabinetnya. Namun, jauh hari sebelumnya, Presiden sempat menyinggung soal reshuffle. Saat menyampaikan sambutan di acara acara haul ke-3 almarhum Taufiq Kiemas di kediaman Megawati, 8 Juni lalu, Jokowi melontarkan soal reshuffle saat disindir KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Kala itu, di hadapan Jokowi, Said Aqil berselorok soal kursi menteri. Dia mempertanyakan tidak adanya kursi menteri yang diduduki kader NU. Jokowi, menurutnya, hanya mengakomodir menteri dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Mendengar gurauan itu, Jokowi dan hadirin tertawa.

Rupanya, goyonan Said Aqil itu menjadi pikiran Jokowi. Lalu, dia mengklarifikasi guyonan Said Aqil. Menurutnya, di Kabinet Kerja yang dipimpinnya, ada menteri dari NU yang juga kader PKB. Jokowi pun teringat soal reshuffle. "Saya jadi ingat reshuffle kalau seperti ini," katanya kala itu.

Kepastian soal reshuffle, hanya Presiden yang tahu. Namun, publik tentu berharap, reshuffle tidak sebatas power sharing antara Presiden dengan para pentolan partai. Reshuffle harus berbasis pada kinerja yang orientasinya meningkatkan performa Kabinet Kerja. Sebagai kepala pemerintahan, Jokowi tentu sudah bisa menilai kinerja para pembantunya selama dua tahun kepemimpinannya.

Indikatornya, bisa dinilai dari sejauhmana para menteri merealisasikan kebijakan dan program kementerian yang dipimpinnya? Apakah sejalan dengan visi-misi Nawacita yang diusung Jokowi dan Jusuf Kalla, yaitu mewujudkan Indonesia yang berdaulat mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong. Dan, sejauhmana para menteri merealisasikan agenda prioritas pemerintahan?

Idealnya, reshuffle berbasis kinerja. Presiden juga perlu mengevaluasi pelaksanaan program kementerian maupun yang sifatnya lintas kementerian. Hal ini terkait penguatan koordinasi lintas kementerian. 

Namun, pertimbangan politis, kadang lebih dominan menentukan jatah kursi. Jika mencermati reshuffle jilid pertama, penilaian kinerja belum menjadi rujukan. Reshuffle lebih bercorak kompromistis. Beberapa menteri partai politik yang kinerjanya disorot publik justru aman dari reshuffle.

Publik juga tidak mengetahui alasan presiden terkait pergantian beberapa menterinya. Presiden pernah menegaskan reshuffle dilakukan untuk meningkatkan kinerja pemerintah. Namun, apa yang menjadi indikatornya?

Kemungkinan, reshuffle jilid kedua, serupa dengan sebelumnya, cenderung kompromistis. Apalagi, setelah Partai Amanat Nasional (PAN) dan Golkar merapat ke kubu pemerintah. Soal masuknya dua partai politik yang bukan pendukung Jokowi-Jusuf Kalla saat Pemilihan Presiden 2014 lalu, partai-partai pendukung pemerintah telah mewanti-wanti: jangan memangkas jatah menteri yang telah diduduki kadernya.

Karena, bukan tidak mustahil, tanpa mempertimbangkan kalkulasi politik, reshuffle bisa-bisa menyisakan gejolak di internal kabinet. Karenanya, sulit bagi Jokowi menggunakan hak prerogatifnya tanpa mendengar masukan dari para pentolan politik.

Jika sudah melayangkan pernyataan bernada demikian, bukan tidak mustahil, jatah menteri para profesional yang bakal terpangkas, setelah pada reshuffle Jilid I, Jokowi memangkas beberapa menteri berlatar belakang profesional, meski sebenarnya, kinerjanya tidak mengecewakan. Para menteri yang dianggap tidak memiliki dukungan politik, dapat terdepak dari kabinet. Reshuffle kala itu terkesan dibumbui intervensi politik.

Setiap isu reshuffle berhembus, elit partai politik selalu menyatakan, "menghormati" hak prerogatif Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Namun, dinamika politik sering bermuara pada kepentingan. Sementara presiden membutuhkan dukungan politik agar program-program pemerintahan dapat berjalan dengan baik tanpa adanya hambatan politis. Jokowi tentu tidak dapat mengabaikan dukungan partai seperti Golkar dan PAN yang baru masuk ke gerbong pemerintah agar daya politiknya makin kuat.

Apalagi, Jokowi bukan pentolan partai sehingga tidak bisa mengendalikan mesin partai. Karenanya, dia butuh dukungan partai politik lain. Namun, sebagai seorang kepala negara, Jokowi tidak boleh tunduk dengan pentolan partai, termasuk dalam urusan penataan pemerintahan yang dipimpinnya.

Menghangatnya isu reshuffle, mengingatkan kembali akan janji Jokowi tatkala baru menjabat Presiden, dengan memerintahkan Tim Transisi yang dibentuknya untuk mempersiapkan susunan kabinet. Jokowi kala itu ingin tim transisi melakukan perampingan kementerian.

Saat Kabinet Kerja disusun, sempat muncul opsi, jumlah kementerian di era Jokowi-Jusuf Kalla hanya 27 Kementerian, jauh lebih menciut dibandingkan di era pemerintahan yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Boediono, yang jumlahnya mencapai 34 kementerian dan 24 lembaga pemerintah non departemen.

Muncul pula opsi untuk menggabungkan dan memisahkan kementerian. Misalnya, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan akan digabungkan. Kemudian, dibentuk Kementerian Kedaulatan Pangan yang menggabungkan Kementerian Pertanian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Sementara kementerian yang dipisahkan antara lain: Kementerian Ekonomi Pariwisata, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dipecah menjadi dua kementerian yakni pendidikan dasar menengah dan pendidikan tinggi (Dikti). Dikti akan digabung ke Kementerian Riset dan Teknologi.

Alasan perampingan kabinet demi efisiensi dan efektifitas. Opsi wakil menteri pun sempat ditentang lantaran akan menambah beban anggaran negara. Di era SBY-Boediono, ada 13 wakil menteri. Namun, penempatan wakil menteri itu ada pertimbangan, misalnya memback-up tugas menteri, khususnya dari partai politik yang dikhawatirkan rada mementingkan kepentingan politik daripada tugasnya sebagai pembantu presiden. Apalagi, semakin makin dekatnya Pemilu, elit partai yang menjadi menteri, akan lebih sibuk mengurusi partai daripada memaksimalkan program kerjanya.

Namun, perampingan kabinet itu ditolak JK. Kala itu, JK menilai, perampingan justru akan merepotkan tugas pemerintah. Kabinet yang ramping juga dianggap tidak sesuai dengan jumlah penduduk yang padat dan wilayah Indonesia yang luas. Alasan efisiensi juga dianggapnya tidak tepat. Pasalnya, meski dirampingkan, tetap saja, negara harus menanggung beban membayar gaji pegawai negeri sipil (PNS).

Saat penyusunan kabinet, Jokowi juga menyuguhkan janjinya untuk lebih menempatkan kalangan professional di kabinet. Jokowi menolak membuka lapak transaksi jatah menteri kepada para politisi. Sebagai presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, Jokowi memiliki hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan menteri.

Namun, kenyataannya, dalam sistem presidensial yang rada menyandera presiden, Jokowi sulit mengabaikan dukungan partai politik. Ketergantungan terhadap dukungan partai politik itu, yang kemudian dimanfaatkan pentolan partai politik untuk menunjukan posisi tawarnya di hadapan presiden.

Desakan agar Jokowi mengakomodasi kepentingan politik, memang tidak disampaikan secara frontal ke publik. Para politisi seakan menghormati jika urusan jabatan menteri menjadi kewenangan presiden. Namun, setiap isu reshuffle berhembus, politisi melancarkan manuver politik. Bahkan, ada yang terang-terangan menyodorkan daftar nama kadernya yang layak menjadi menteri.

Sah-sah saja jika partai politik mengincar kursi menteri. Tetapi, tidak menjamin, setelah kepentingannya terakomodasi, tidak mblalelo. Apalagi, menjelang Pemilihan Umum 2019 nanti. Lihat saja nanti, partai-partai yang menjadi pendukung pemerintah akan melakoni peran sebagai "oposisi" yang lantang menyerang kebijakan dan program pemerintah lantaran dianggap bertentangan dengan aspirasi rakyat. Manuver dua kaki itu dilakukan agar dikesankan sebagai partai politik pro rakyat.

Dalam praktik politik di negara ini, dukungan partai politik senantiasa disertai embel-embel kekuasaan. Meski koalisi dipoles dengan nama "kerjasama tanpa syarat," tetap saja wajah koalisi bercorak kekuasaan. Agar tidak terkesan merongrong presiden, elit partai politik pun menggelar lobi-lobi tertutup. Tak ingin dikesankan ambisius merebut dan mempertahankan jatah kursi menteri.

Selain itu, bagi yang berada di zona aman, mereka mengingatkan presiden agar tidak mendepak kadernya dari kursi menteri saat ini. Kalau pun Presiden akan melakukan reshuffle, mereka menyarankan agar menteri non parpol yang didepak.

Bagi partai politik, kursi menteri adalah incaran. Karena, kewenangan menteri sangat strategis untuk menancapkan basis dukungannya kepada rakyat lewat program-program pemerintah. Makanya, para politisi berebut sejumlah pos kementerian yang strategis.

Misalnya, saat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo berkonflik dengan Menteri Desa Marwan Djafar soal kewenangan pengelolaan dana desa. Kementerian Desa mengklaim paling berhak mengelola program pembangunan Desa sesuai mandat UU Desa. Demikian pula Kementrian Dalam Negeri yang mengklaim berhak mengelola dana desa lewat Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Ditjen PMD). Konflik itu memaksa Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2015 tentang struktur Kementerian Desa. Akhirnya, Ditjen PMD melebur ke struktur Kementerian Desa.

Peran dan fungsi kementerian yang dipimpin Marwan itu memang sangat strategis dalam memobilisasi dukungan politik dari masyarakat desa. Apalagi, Kementerian Desa diamanatkan untuk mendistribusikan dan mengelola Dana Desa sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 6 tahun 2016 tentang Desa. Dengan kewenangan itu, tentu memudahkan partai politik "memoles" citranya di hadapan masyarakat desa.

Karenanya, kursi Marwan bergoyang saat ramainya demonstrasi para pendamping desa yang mengungkap ketidakberesan dalam proses rekrutmen tenaga pendamping desa. Sejumlah kalangan pun rada miris ketika mendengar kabar ada syarat menjadi anggota partai tertentu jika ingin menjadi pendamping desa.

Elit PKB sempat berang dengan manuver politisi senior PDIP yang menjabat Menteri Sekretaris Negara Pramono Anung saat melontarkan pernyataan jika Presiden tidak puas karena pengelolaan dana desa tidak sesuai harapan. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dikabarkan marah. Sekretaris Jenderal PKB Abdul Kadir Karding pun memperingatkan agar tidak ada yang mengintervensi Presiden dengan menunggangi isu pendamping desa.

Jika presiden melakukan reshuffle, maka harusnya berorientasi peningkatkan kinerja kabinet. Tentu, penilaiannya transparan dan objektif, dengan menakar tingkat pencapaian target kerja yang dipatok presiden kepada para menteri. Jika dalam waktu dua tahun ini kinerja tidak memenuhi ekspektasi, tidak salah bila Presiden mendepak menterinya, menggantikan dengan sosok yang lebih kompeten.

Tetapi, dengan mempertimbangkan konsekwensi politik. Misalnya, bisa saja Jokowi mendepak menteri partai yang tidak kapabel, digantikan dengan kader partai yang sama, namun lebih kapabel dalam memimpin kementerian. Cara demikin, akan menghindari resiko politik bagi Jokowi.

Bisa juga Jokowi merekrut wakil menteri dari kalangan profesional untuk menutupi kelemahan menteri dari partai politik yang kinerjanya tidak seperti yang diharapkan. Namun, dipastikan Kabinet Kerja bakal makin tambun. Atau, diganti dengan kalangan profesional yang rekam jejaknya mumpuni, integritasnya tidak diragukan, dan berpengalaman di bidangnya. Jika cara itu yang ditempuh, Jokowi akan meraih dukungan publik, meski disambut dingin politisi.

Reshuffle memang domain presiden. Namun, presiden perlu merespons ekspektasi publik soal reshuffle. Publik tentu mencermati kinerja dan laku kontroversi para menteri. Publik dapat menilai, mana menteri yang telah bekerja dengan baik, mana menteri yang tidak maksimal menjalankan tugas dan fungsinya.

Publik juga mencermati sejumlah isu yang terkait dengan kinerja para menteri. Suara-suara publik itu dapat dijadikan acuan bagi presiden untuk melakukan evaluasi, termasuk mencopot para menteri yang tidak maksimal menjalankan tugas dan fungsinya.

Misalnya, isu soal melonjaknya harga daging jelang puasa hingga Idul Fitri 1437 hijriah. Masyarakat, khususnya ibu-ibu, rada pusing dengan harga daging sapi yang menembus Rp130 ribu per kilogram. Jokowi sempat merespons keluhan itu dan memerintahkan Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, dan Menteri BUMN, untuk memastikan harga sapi di bawah Rp80 ribu per kilogram. Nyatanya, untuk mengurusi soal harga daging, para menteri itu tidak mampu. Hingga jelang lebaran, harga daging sapi masih menembus Rp130 ribu per kilogram.

Para menteri terkait memang tidak diam. Mereka mengintensifkan operasi pasar. Namun, upaya menggelontorkan daging sapi impor dengan harga murah, tak mampu menjinakan harga daging sapi di pasaran.

Seharusnya, sudah dilakukan langkah atisipasi jika setiap Ramadhan dan jelang Idul Fitri, konsumsi daging akan mengalami peningkatan 40 hingga 60 persen, termasuk pada kebutuhan pokok lainnya.

Persoalan itu harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Minimnya stok daging lantaran ketidakmampuan peternak domestik dalam membudidaya sapi. Artinya, kementerian terkait tidak optimal meningkatkan produktifitas peternak, termasuk petani dalam memproduksi kebutuhan pangan yang kerap harganya fluktuatif lantaran minim stok.

Persoalan tersebut tentu tidak terlepas tidak optimalnya peran Menteri Pertanian Amran Sulaiman dalam memecahkan persoalan yang dihadapi peternak maupun petani, mulai dari persoalan bibit ternak, pupuk, penataan distribusi hasil pertanian, minimnya lahan pertanian, ketergantungan petani kepada tengkulak, kesulitan menembus akses pasar, minimnya ketersediaan teknologi pertanian, serta ketidakmampuan dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim

Begitu juga Menteri Perdagangan Thomas Lembong, jangan menjadikan alasan keterbatasan produksi yang menyebabkan impor. Namun, harus mengoptimalkan pengendalian, pengawasan, dan memastikan kelancaran distribusi kebutuhan pokok dengan bekerjasama bersama Kementerian Perhubungan, Polri, dan pemerintah daerah.

Jika alur distribusi berantakan, maka akan meningkatkan biaya transportasi, yang sudah pasti, akan mengerek harga jual bahan kebutuhan pokok. Lagi-lagi, yang kecipratan sial adalah masyarakat selaku konsumen.

Demikian pula soal pengelolaan dana desa yang dikelola Kementerian Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Realisasi dana desa merupakan amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Jumlahnya sangat besar. Di tahun 2015, dana dana desa yang digelontorkan mencapai Rp20,76 triliun, lalu meningkat menjadi Rp46,9 triliun di tahun 2016.

Harus dipastikan betul, dana desa penyalurannya bermanfaat secara berkelanjutan. Belum lama ini, enam kepala desa di Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku, ditetapkan menjadi tersangka dugaan korupsi penyalahgunaan dana desa tahun 2015. Mereka memangkas sekitar 30 persen total dana desa yang digelontorkan berkisar Rp 250 juta-Rp 300 juta per desa. Bukan mustahil, akan banyak kepala desa yang dijebloskan ke penjara lantaran buruknya pengelolaan dana desa.

Lalu, dari pengaduan yang disampaikan Pengurus Nasional Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) beberapa waktu lalu, ada ketidakberesan soal pendistribusian dana desa.

Agus Solihin, Sekretaris Jenderal ADKASI menilai, selama ini dana desa masuk ke APBD di rekening kas desa. Namun, ada beberapa daerah yang pembagiannya tidak sesuai ketentuan. "Ada desa tidak mendapatkan dana desa sesuai aturan karena kepala daerahnya tidak menyukai desa tertentu,” katanya bersama sejumlah pimpinan ADKASI usai menghadap Presiden Jokowi, di Kantor Presiden, Jakarta, belum lama ini.

Agus tak habis pikir jika ada bupati yang membuat peraturan bupati yang sifatnya diskriminatif. Misalnya, jika bupati itu tidak suka dengan desa tertentu, maka jatah dana desa yang mestinya Rp1 miliar per desa sesuai janji pemerintah pusat, ternyata dikurangi. Sebaliknya, ada desa yang mendapatkan dana desa dengan nilai yang ditinggikan.

Dana desa harus dikelola dengan baik dan pemanfaatanya berkelanjutan bagi kehidupan masyarakat desa. Dana desa tidak sekadar dibagikan begitu saja, namun harus benar-benar bermanfaat dalam mengentaskan kemiskinan desa. Pengelolaannya harus lintas sektoral, integral, terencana, dan tepat sasaran.

Pemerintah juga dituntut memecahkan problem struktural, terkait keterbatasan masyarakat desa akan pemenuhan hak-hak dasarnya (kesehatan, pendidikan, listrik, dan sebagainya), termasuk mengakses modal, sumberdaya maupun aset produktif, ketersediaan infrastruktur transportasi, pasar, dan sebagainya. Dalam konteks ini, Presiden perlu mengevaluasi kinerja dan koordinasi lintas kementerian, baik itu Kementerian Desa, Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, Kementarian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, dan instansi terkait lainnya.

Persoalan lain yang juga menyedot perhatian masyarakat adalah soal mudik Idul Fitri 1437 hijriah. Memang, dari tingkat kecelakaan mudik tahun ini, menurun dibandingkan tahun lalu. Tahun ini, jumlah kecelakaan mencapai 1.289 kasus, lebih sedikit dibandingkan tahun 2015 lalu yang yang mencapai 1.622 kasus. Jumlah korban jiwa pun menurun sekitar 25 persen. Di tahun ini, jumlah korban meninggal tercatat 244 orang. Sementara tahun 2015, jumlah korban meninggal dunia mencapai 328 orang.

Menteri Perhubungan Ignasius Jonan telah berupaya menekan angka kecelakaan. Jauh-jauh hari, dia telah turun ke lapangan untuk memastikan angkutan mudik layak untuk digunakan. Namun, Jonan belum mampu merealisasikan target zero accident atau nihil kecelakaan. 

Kemacetan yang mencapai 20 kilometer di Pintu Tol Brebes Timur jelang lebaran yang menelan korban jiwa menjadi catatan kinerja kementerian yang dipimpin Jonan. Kemacetan di jalur Pejagan-Pemalang dan terjebak di Brexit (Brebes Exit) menjadi pengalaman buruk mudik tahun ini. Bayangkan, mereka harus menunggu hingga lebih dari 20 jam untuk bisa keluar dari jalan tol. Sampai-sampai, kemacetan itu menelan 12 korban meninggal dunia, termasuk bayi berusia sebulan. Korban meninggal lantaran kelelahan dan keracunan zat asam arang (apnoe causa CO2 toksic) yang terhirup saat berada di kendaraan yang ber-AC.

Para pemudik juga kelimpungan saat kehabisan bahan bakar sehingga terpaksa membeli bensin eceran dengan harga yang mahal. Bayangkan, untuk dapat mengisi bahan bakar, pemudik harus membayar kurang lebih Rp35 ribu hingga Rp50 ribu per liter. Kemacetan itu terjadi karena membludaknya kendaraan yang memasuki tol itu--yang semula melewati jalur Pantura.

Penanganan macet yang lambat menyebabkan kemacetan kian mengular. Sebenarnya, Kementerian Perhubungan telah mencanangkan beberapa program yang dapat dimanfaatkan pemudik. Misalnya, mudik gratis untuk pemudik bermotor. Sayangnya, Jonan mengatakan, program tersebut kurang diminati, tidak sampai 90 persen pemudik yang mengikuti program itu.

Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Birokrasi, Yuddy Crisnandy juga sering menuai sorotan. Politisi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) itu pernah bermanuver yang membuat berang sejumlah politisi dengan merilis akuntabilitas kinerja kementerian. Yuddy dituding bermanuver di tengah kuatnya isu reshuffle tahun lalu dengan cara mempreteli kinerja menteri lain.

Yang paling nyaring mengkritik adalah politisi PKB. Pasalnya, tiga kementerian yang dipimpin kader PKB mendapat skor rendah, di antaranya Kementerian Pemuda dan Olah Raga (53,54), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (53,98), dan Kementerian Tenaga Kerja (57,79).

Lucunya, Yuddy justru menempatkan kementerian yang dipimpinnya berada di posisi ketiga teratas, yang tingkat akuntabilitas tertinggi, dengan skor 77,00, di bawah Kementerian Keuangan (83,59) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (77,68).

Padahal, Yuddy beberapa kali membuat kebijakan yang memblunder, misalnya larangan pegawai negeri sipil (PNS) rapat di hotel dan diizinkannya PNS mudik saat lebaran dengan menggunakan mobil dinas. Belum lagi persoalan masih buruknya kinerja aparatur pemerintah dalam memberikan pelayanan publik.

Belum lama ini, Yuddy juga menuai sorotan lantaran diketahui menggunakan mobil dinas saat mudik. Padahal, kementerian yang dipimpinnya melarang PNS menggunakan mobil dinas untuk mudik. Yuddy sendiri sebelumnya menegaskan tidak akan ada PNS yang menggunakan kendaraan milik pemerintah untuk mudik lebaran tahun ini.

Tapi, Yuddy justru diketahui menumpangi kendaraan milik pemerintah saat mudik ke Bandung, Jawa Barat, mesi dia mengaku tak mendapatkan pengawalan seperti saat menjalankan tugas kedinasan. Yuddy pun merasa tidak bersalah terkait penggunaan mobil milik pemerintah untuk mudik. Alasannya, pemerintah menyediakan dua jenis kendaraan yaitu kendaraan yang melekat dengan jabatan dan kendaraan operasional. Mudik, tidak ada kaitannya dengan tugas-tugas kedinasan. Jadi, tidak etis jika mudik menggunakan mobil dinas maupun mobil operasional yang dibeli dari uang negara.

Kendaraan dinas merupakan Barang Milik Negara (BMN) yang disediakan dan dirawat dengan menggunakan uang negara untuk menunjang kerja-kerja aparatur pemerintah dalam menjalankan kewajibannya sebagai pelayan masyarakat seperti diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Yuddy tentu juga paham dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Dalam peraturan itu, pengelolaan barang milik negara harus dilakukan berdasarkan perencanaan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan penganggaran, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaannya.

Dalam aturan tersebut juga ditekankan pentingnya pengawasan dan pengendalian agar barang milik negara itu tidak disalahgunakan. Dengan demikian, penggunaan mobil dinas untuk mudik melabrak PP tersebut.

Kursi Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno juga paling sering digoyang. Bukan hanya soal kinerjanya yang dipersoalkan, Rini pun menuai tekanan politik oleh Panitia Khusus (Pansus) DPR terkait kasus Pelindo II. Pansus yang dikomandoi politisi PDIP Rieke Diah Pitaloka, merekomendasikan agar Presiden memecat Rini.

Kursi Rini digoyang menyusul terseretnya Direktur Utama PT Pelindo II, Richard Joost Lino menjadi tersangka dugaan kasus tindak pidana korupsi dalam pengadaan quay container crane (QCC) tahun 2010. Pansus DPR mengklaim menemukan adanya pelanggaran hukum dan kerugian keuangan negara hingga puluhan triliun rupiah dalam kasus Pelindo II.

Sampai-sampai, Rieke memperingatkan Jokowi yang juga kader PDIP, jika menolak rekomendasi Pansus, maka DPR bisa mengajukan hak menyatakan pendapat, yang bisa mengarah ke pemakzulan Presiden.

Rini bukan kader PDIP. Namun, sempat dekat dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Karenanya, dia dipercaya memimpin tim transisi guna mempersiapkan Kabinet Kerja. Manuvernya merapat ke Jokowi, mengantarkan Rini ke kursi Menteri BUMN.  Belakang, Megawati dan Rini pecah kongsi.

Megawati pernah menyebut orang-orang non partai itu sebagai penumpang gelap di pemerintahan. Dia mencermati, gerakan antipartai, yang ditopang kekuataan modal, yang menyusup di lingkaran kekuasaan demi kepentingan tertentu. Megawati menganggapnya sebagai kelompok oportunis.

Isu reshuffle tentu tidak hanya menjadi konsumsi elit politik. Publik juga berkepentingan. Publik tentu ingin reshuffle dilakukan berbasis kinerja, bukan sebatas pertimbangan politis, apalagi soal jatah kursi.

Sebagai kepala pemerintahan, Presiden Jokowi yang dipilih langsung oleh rakyat, tidak harus merespons suara-suara elit partai. Terlalu akomodatif dengan partai politik akan memunculkan persepsi publik jika Jokowi tersandera partai politik. Dan, tak ada jaminan, kepentingan yang telah diakomodasi, Jokowi dengan mudah menjinakkan partai politik pendukungnya.

Presiden dengan hak prerogatif yang melekat padanya, harus lebih mempertimbangkan ekspektasi publik yang ingin reshuffle dilakukan berbasis pada kinerja. Presiden perlu mendengarkan harapan publik yang tentu merekam kinerja masing-masing menteri selama hampir dua tahun pemerintahan berjalan.

Para menteri yang kinerjanya buruk, tentu tidak perlu dipertahankan. Selain menilai kinerja, harus juga dipertimbangkan loyalitas, tidak hanya loyalitas menteri, tetapi loyalitas partai yang mengusungnya. 

M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Polhukam
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 242
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
05 Mar 24, 08:18 WIB | Dilihat : 421
Anak Anak Abah Menghalau AI Generatif
22 Feb 24, 11:50 WIB | Dilihat : 316
Jalan Terjal Perubahan
18 Feb 24, 05:52 WIB | Dilihat : 271
Melayari Dinamika Kebangsaan dan Demokrasi
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 633
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 781
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 750
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya