
Delanova Porisaga
Saya tercekat menyaksikan tayangan di saluran youtube Najwa Shihab (Nana). Nana mewawancarai Gubernur Aceh Mualem Muzakkir Manaf (9/12/25), beberapa jam setelah Rapat Terbatas Presiden Prabowo di Pangkalan Udara Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar. Sebelum Prabowo kembali ke Jakarta, untuk kemudian melakukan kunjungan ke Pakistan dan Rusia.
Nana mengajukan pertanyaan dengan nada rendah, ihwal status Petaka Sumatra -- yang belum juga meningkat menjadi bencana nasional. Petaka yang menewaskan hampir seribu nyawa (969 jiwa : 391 di antaranya di Aceh : 128 di Aceh Utara, 58 jiwa di Aceh Tamiang, 48 jiwa di Aceh Timur - BNPB). 31 jiwa masih hilang dan 4.300 jiwa terluka.
Tak hanya itu, di Aceh petaka itu memporakperanda - melantakkan desa dan kota, menyeret harta benda dan kehidupan rakyat. Tak terkecuali rumah sakit, kantor pemerintah. Banjir bandang tak hanya mengantarkan arus deras air beserta lumpur dari tanah longsor yang serta mengubur gampong.
Arus deras banjir bandang, itu pun menghantar ribuan kayu gelondongan yang menggelontor sedemikian rupa, akibat deforestasi tak terkendali. Dilakukan kaum beruang yang lapar lahan, yang mengingatkan saya pada dialog penyair (Ibrahim Kadir) dalam film Eros Djarot, Tjoet Nja' Dhien beberapa dekade lalu.
Mualem Muzakir Manaf, Gubernur Aceh yang hampir setiap saat berada di tengah rakyatnya, itu merunduk. Suaranya tersendat. Ia merespon lambat pertanyaan Nana yang mengusik nuraninya dan nurani kita, nurani Indonesia. Selepas, itu Mualem menghapus matanya yang basah.
Beban sangat berat yang diderita rakyat Aceh yang menekan dirinya, terasa menindih, menekan berat dan menyesakkan dada kita. Tapi, di balik tatapannya yang kerap nanar menyaksikan rakyatnya di lapangan, terlihat optimismenya.

Hanya kepada Allah
Di tengah negeri yang surplus politisi, miskin negarawan dan pemimpin, surplus akademisi dan miskin cendekiawan, surplus ustadz selebritis, miskin pemuka agama yang tawaddhu,' Mualem bak 'dipilih' Tuhan menjalankan takdirnya sebagai pemimpin yang menyandang amanah, siddhiq, fathanah, dan tabligh.
Perlahan ia mengutip firman Allah tentang syukur (QS Ibrahim 14 : 7). Sesiapa yang bersyukur, Allah akan menambah ni'mat, dan siapa kufur, azab Allah sangatlah pedih. Lantas ia menyebut tentang Bupati yang meninggalkan rakyatnya yang sedang dikepung sansai.
Beberapa kali, Mualem terlihat menggunakan tissue menghapus basah matanya. Dengan artikulasi yang ekspressif dengan nada hampir pilu, ia menyatakan, sambil terus ikhtiar, ia tak kan berharap pada manusia. Ia hanya menggantungkan harapan kepada Allah SWT semata. Biarlah Allah yang menggerakkan hati siapa saja untuk datang memberikan bantuan.
Adalah fakta, bagaimana sejumlah netizen dan khalayak, khasnya Ferry Irwandi dan banyak netizen (termasuk Anies Rasyid Baswedan) lainnya yang berhasil menghimpun donasi dari khalayak dan sigap menghantarkan bantuan kepada korban. Pula, para prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri.
Sejumlah koleganya dari jiran Malaysia datang dengan obat-obatan dan tenaga medis, sebagaimana relawan (yang sungguh relawan) dari berbagai penjuru tanah air. Pun, sejumlah koleganya dari Tiongkok yang datang membantu mencari mayat yang tak lagi mampu bernafas dan terkubur dalam lumpur.
Beberapa hari belakangan, Mualem beberapa kali mengeluarkan pernyataan tegas tentang petinggi yang meninggalkan gelanggang, meninggalkan tanggung jawab kepemimpinan yang melekat pada dirinya. Bahkan pergi umrah dalam situasi darurat.

Kesadaran Paripurna
Ahad (7/12/25) dalam Rapat Terbatas dengan Presiden Prabowo dan sejumlah petinggi -- beberapa jam sebelum wawancara -- Mualem menyampaikan situasi kondisi mutakhir di lapangan. Ia, secara personal juga sudah berkomunikasi dengan Presiden Prabowo -- di dalam mobil -- kala bersama meninjau ke lapangan.
Ia juga menyampaikan sikap dan tindakan tegas yang diambilnya beberapa hari sebelum Prabowo dan para petingginya tiba di tano Aceh. Mualem menyerukan amaran (peringatan keras) kepada seluruh peniaga, termasuk perusahaan ritel berjejaring nasional, untuk tidak 'ambil kesempatan dalam kesempitan' menaikkan harga barang dagangannya.
Apa yang diutarakan Mualem boleh dikata 'mewakili' nurani khalayak -- termasuk netizen -- memandang, Petaka Sumatra yang menimpa Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, berdampak jauh lebih besar dibandingkan dengan musibah tsunami (12/2004). Lantaran bah yang membawa longsoran tanah dan kayu balakan menerjang apapun yang menghalangi arus besarnya.
Dada terasa sesak menyimak pernyataan naratif dalam jawaban Mualem yang artikulatif dan aksentuatif. Tapi, di balik itu terbayang lagi prinsip dan tanggung jawab kepemimpinan seorang yang berkualitas 'manusia dengan kemerdekaan sejati' : sebersih-bersih tauhid, ilmu pengetahuan, dan siyasah (cara hidup) dalam mengelola negara, sebagaimana diajarkan HOS Tjokroaminoto di awal dekade kesadaran kebangsaan (awal abad XX).
Mimik dan gestur Mualem terekam dalam benak. Wajah yang menyimpan dan mengekspresikan kesadaran paripurna, "rakyat didahulukan, kemanusiaan diutamakan." Pada keteduhan menyimpan pilu seorang pemimpin (ayah) di balik kata-kata yang hemat, dan terus menabung kesabaran, akan selalu ada inspirasi di balik petaka.
Mualem sedang dalam tempaan kawah candradimuka Aceh, sebagaimana isyarat dalam manuskrip Tajjussalatin atau Mahkota para Raja (Bukhari Al Johari, 1603), ihwal lima prinsip moral kepemimpinan: Hifz -- merawat kepercayaan rakyat; Fahm -- mengerti situasi dan kondisi dan tangkas merespon dan mengatasi masalah; Fiqr -- cerdas dan fasih dalam pikiran - sikap - tindakan memulihkan kondisi untuk terus bergerak mewujudkan cita dan cinta bangsa; Iradat -- kemauan, kemampuan, dan keberanian mendahulukan kondisi terbaik bagio rakyat; Nuur -- kearifan dalam upaya membawa rakyat meninggalkan gelap menuju kondisi yang benderang. |