Hakikat Menuntut Ilmu

| dilihat 5794

AKARPADINEWS.COM | MEMPELAJARI ilmu pada hakikatnya adalah ikhtiar mencari kebenaran. Pencarian itu tidak sekadar mengandalkan akal pikiran, namun juga naluri, termasuk mempelajari wahyu yang disampai Tuhan kepada para nabi dan rasul-Nya.

Manusia juga diberikan kebebasan untuk menyerap ilmu, baik melalui pijakan secara ontologis maupun epistomologis, kajian ilmu yang bersumber dari pemikiran ilmuwan barat maupun dari agama, di mana pencarian kebenaran tidak hanya berorientasi duniawi, namun juga untuk bekal kelak di akhirat.

Menuntut ilmu adalah kewajiban manusia karena ilmu menunjang peradaban manusia. Sebuah negeri tidak akan maju dan makmur, bila dihuni oleh manusia-manusia yang miskin ilmu. Manusia yang tidak menuntut ilmu juga tak ubahnya menyimpang dari kodratnya sebagai manusia yang merupakan mahluk istimewa ciptaan Tuhan karena dilengkapi akal dan pikiran. Manusia demikian, tidak memanfaatkan potensi dirinya sebagai manusia sehingga tidak memahami akan nilai-nilai kemanusiaan, ketaqwaan, dan kebaikan.

Dalam Islam, Allah SWT memerintahkan hamba-Nya untuk menuntut ilmu. Dengan ilmu, derajat manusia akan diistimewakan di hadapan Allah SWT, termasuk di hadapan manusia lainnya. Bahkan “Iqra” (Bacalah) adalah wahyu pertama kali yang diturunkan Allah SWT lewat Nabi Muhammad SAW sebagai perintah untuk membaca petunjuk di alam semesta.

Serangkaian hadist Nabi Muhammad SAW juga menyiratkan kewajiban umat Islam menuntut ilmu. Rasulullah bersabda, "Barang siapa yang menginginkan kehidupan dunia, maka ia harus memiliki ilmu, dan barang siapa yang menginginkan kehidupan akhirat, maka itu pun harus dengan ilmu, dan barang siapa yang menginginkan keduanya maka itu pun harus dengan ilmu” (HR Thabrani).

Dalam mencari ilmu, Rasulullah juga menekankan agar dimulai sejak dini hingga menjelang wafat. “Carilah ilmu itu sejak dari ayunan sampai masuk ke liang lahat” (HR Muslim).

Seseorang yang berilmu tentu lebih bijak pandangan, sikap dan perilakunya. Dia juga bersyukur, bahagia menjalani hidup, dan dekat dengan penciptanya. Umar Bin Khattab menjelaskan, tiga tahapan para penuntut ilmu hingga menjadi pembelajar sejati.

Pertama, barang siapa yang sampai ke tingkatan pertama, akan menjadi sombong. Kedua, barang siapa yang sampai ke tingkatan kedua, akan menjadi tawadhu (rendah hati). Ketiga, barang siapa yang sampai ke tingkatan ketiga, akan merasakan dirinya tidak menjadi apa-apa.

Pada tahapan pertama, seseorang yang merasa mendapatkan ilmu, dia akan bersikap sombong dengan ilmunya. Merasa paling pintar dan ingin diakui kepintarannya. Dia enggan menerima nasihat dari orang lain, dan merasa benar sendiri. Tipikal orang demikian banyak ditemukan. Mereka yang bergelar akademis berderet, menggunakan gelarnya untuk menyombongkan diri.

Tingkatan pertama ini tidak melihat umur. Selain orang muda yang baru selesai menuntut ilmu, banyak pula orang tua, namun menyombongkan ilmunya dengan rajin berbicara, tanpa mengaplikasikannya. Ia merasa telah makan asam garam kehidupan. Ketika ada seseorang yang menyangkal pendapatnya, dia tidak terima dan tak mampu mengendalikan emosinya. Lalu, menyerang balik dengan cara menghina orang yang berbeda pendapat dengannya.

Celakanya, bila menggunakan ilmu untuk membodohi dan merugikan khalayak seperti para pejabat di negara ini yang melakukan korupsi. Mereka yang korupsi adalah orang-orang terhormat, memiliki status dan jabatan yang tinggi, berpendidikan, bahkan ada juga yang tingkat pemahaman agama baik, yang bisa membedakan antara dosa dan pahala. Mereka itu istilah populernya disebut pelaku kejahatan kerah putih (white collar crime).

Pada tingkatan kedua, seseorang yang kaya ilmu, justru membentuk menjadikannya sebagai manusia yang rendah hati. Dia mengadopsi filosofi padi, semakin berisi, semakin merunduk. Dia memahami hakikat ilmu yang dipelajarinya untuk menjadi manusia yang bijak dalam menjalani kehidupan.

Sosok demikian, bukan tipikal manusia yang suka merendahkan orang lain. Dia berbicara hanya pada hal-hal substansi, dan ucapannya dibuktikan dengan tindakan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi di lingkungannya. Pada tahapan ini, ilmu serupa pohon yang menghasilkan buah dan dinikmati bersama.

Tingkatan terakhir, seseorang yang menguasai banyak ilmu, semakin menyadarkan dirinya tidak menjadi apa-apa. Orang demikian, memahami hakikat ilmu dengan hal-hal yang sangat esensial. Golongan seperti ini adalah para sufi, di mana ilmu begitu dekat dengan ketaqwaannya kepada Sang Pencipta.

Tingkatan para penuntut ilmu dapat menjadikan refleksi agar manusia tidak puas diri dan selalu rendah hati jika kaya ilmu hingga akhirnya merasa tak menjadi apa-apa dibandingkan ilmu Allah yang tidak terbatas.

Allah SWT berfirman, "Katakanlah (wahai Muhammad), kalau sekira lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhan-ku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu pula (QS al-Kahfi: 109).

"Dan, seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering), niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalima Allah (QS Luqman: 27).

Firman Allah SWT itu memperingatkan manusia agar tak perlu sombong dengan ilmu yang dimilikinya. Hanya Allah Azza wa Jalla yang memiliki ilmu tanpa batas dan maha luas. Ilmu yang dimiliki manusia ibarat hanya setetes air di lautan ilmu yang dikuasai Allah SWT.

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Humaniora
08 Mei 24, 19:52 WIB | Dilihat : 148
Sorbonne Bersama Gaza
03 Mei 24, 10:39 WIB | Dilihat : 435
Pendidikan Manusia Indonesia Merdeka
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 637
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1376
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
Selanjutnya
Lingkungan
10 Mei 24, 09:58 WIB | Dilihat : 138
Malaysia Tak Pernah Pindahkan Ibu Kota Negara
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 322
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 544
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 533
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
Selanjutnya