Resistensi Tax Amnesty

| dilihat 2434

AKARPADINEWS.COM | PENOLAKAN terhadap program pengampunan pajak (tax amnesty) yang direalisasikan pemerintah kian nyaring terdengar. Program itu dinilai tidak adil karena mengampuni para pengeplang pajak. Gerakan stop membayar pajak pun bermunculan di dunia maya.

Rabu (31/08), ratusan buruh se Jakarta, Bogor, Depok, Tengerang, dan Bekasi, menggelar aksi, mengawali sidang perdana permohonan uji materi (judicial review) Undang-Undang (UU) Nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. UU itu diperkarakan karena melanggar konstitusi. Beberapa pasal yang diuji antara lain Pasal 1, 3, 4, 21, 22, 23, dan 24. Pasal 23A UUD 1945 menegaskan pajak adalah kewajiban yang bersifat memaksa, bukan pengampunan.

UU Pengampunan Pajak juga melabrak Pasal 27 UUD 1945 yang mengamanatkan setiap warga negara setara kedudukannya di hadapan hukum. Pengampunan pajak kepada para pengusaha dan pemilik modal, jelas bertentangan dengan prinsip kesetaraan di hadapan hukum. Sementara di sisi lain, buruh dan masyarakat diwajibkan membayar pajak.

Jika telat bayar, dikenakan denda, bukan justru mendapatkan pengampunan. Pekerja yang selama ini tertib membayar pajak dengan cara dipotong langsung dari gajinya justru dihilangkan haknya untuk memperjuangkan kenaikan upah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia KSPI, Said Iqbal dalam pernyataannya di Jakarta, kemarin, menilai sangat tidak adil jika pengemplang pajak diampuni. Sedangkan di sisi lain, buruh yang masih dibayar murah tetap harus membayar pajak. "Tapi pengemplang pajak malah dikasih tax amnesty," ucapnya.

UU Pengampunan Pajak juga dianggap melabrak Pasal 34 UUD 1945 yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Karena, Pasal 21, 22, 23, dan 24 UU Pengampunan Pajak sifatnya mengancam lima tahun pidana penjara kepada pihak yang mengungkap kebenaran kasus pengemplang pajak. "Ini rawan korupsi dan melanggar UU Keterbukaan Informasi Publik serta prinsip-prinsip good corporate governance," kata Said Iqbal.

Hingga bulan ini, jumlah denda tax amnesty masih kurang dari 2 persen, jauh dari target Rp165 triliun dan itu pun bukan mayoritas dari repatriasi. Pencapaian itu, kata Said Iqbal, menunjukan UU Pengampunan Pajak gagal menarik dana repatriasi Rp3 ribu hingga Rp11 ribu triliun dari luar negeri. Dan, yang terjadi justru menyisir pajak masyarakat dalam negeri. Buruh juga mengkhawatirkan UU Pengampunan Pajak menjadi pintu masuk dana ilegal dan tidak jelas sumbernya.

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Mirah Sumirat mendesak pemerintah untuk memberikan sanksi berat, bukan justru mendapatkan pengampunan, kepada konglomerat pengemplang pajak yang menyembunyikan dananya di luar negeri.

Karena itu, Aspek yang juga memperkarakan UU MK berharap majelis hakim konstitusi mengabulkan permohonan uji materi UU Pengampunan Pajak. "Bila tujuan pemerintah menambah pendapatan negara, seharusnya bukan dengan memanjakan para pengemplang pajak," tuturnya.

Kuatnya resistensi membuat Presiden Joko Widodo kembali menegaskan jika program pengampunan pajak menyasar pembayar pajak besar, khususnya yang menyimpan uangnya di luar negeri. Presiden juga menyatakan, sudah keluar Peraturan Dirjen Pajak yang menyatakan, petani, nelayan, dan pensiunan, tidak perlu ikut tax amnesty. "Tidak usah ikut menggunakan haknya untuk ikut tax amnesty,” kata Presiden usai membuka Indonesia Fintech Festival and Conference (IFFC), di Tangerang, Banten, Selasa (30/8).

Peraturan Dirjen Pajak Nomor 11/PJ/2016 menyatakan kelompok masyarakat berpenghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebesar Rp4,5 juta per bulan seperti buruh, nelayan, petani dan pensiunan, tidak wajib mengikuti program amnesti pajak.

Selain itu, kelompok subyek pajak warisan belum terbagi yang tidak menghasilkan penghasilan diatas PTKP dan penerima harta warisan namun tidak memiliki penghasilan atau memiliki penghasilan dibawah PTKP juga tidak perlu mengikuti program amnesti pajak.

Peraturan itu juga mengatur yang tidak wajib mengikuti program tax amnesty adalah wajib pajak yang memilih untuk membetulkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan dan sudah melaporkan SPT Tahunan.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor 10/PJ/2016 yang memberikan kemudahan dalam pengisian formulir dan menyediakan pedoman teknis dalam rangka pelaksanaan pengampunan pajak. Namun, tidak memberikan ruang bagi wajib pajak untuk menunda maupun mengangsur tunggakan pajak.

Presiden juga menyakinkan jika tax amnesty adalah hak, bukan kewajiban. “Ini kan hak, yang gede (pengusaha besar) pun sama, bisa menggunakan, bisa tidak. Yang usaha menengah juga bisa menggunakan bisa tidak, usaha kecil juga bisa menggunakan bisa tidak. Ini kan haknya. Ini payung hukum tax amnesty diberikan untuk itu. Jadi bukan wajib,” ujarnya.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution juga menyatakan, program pengampunan pajak fokus kepada wajib pajak yang punya harta banyak, namun belum dilaporkan, dan ditaruh di luar negeri. Dia juga menegaskan, program repatriasi modal maupun deklarasi aset, tidak dirancang bagi wajib pajak orang pribadi maupun badan yang selama ini telah patuh, termasuk para pengusaha kecil yang baru memulai usaha.

Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan, pihaknya terus melakukan sosialisasi amnesti pajak dan memberikan pemahaman teknis melalui penerbitan peraturan turunan baru untuk mengakomodasi kepentingan wajib pajak.

Dia memastikan DJP memberikan pelayanan terbaik kepada wajib pajak yang ingin berpartisipasi dalam program ini, agar tidak terjadi informasi simpang siur yang menyesatkan dan membingungkan masyarakat.

Sementara itu, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama di Jakarta, Selasa (31/8) mengkritik gerakan "stop bayar pajak" karena merugikan dan tidak realistis. Heru meningatkan, penerimaan negara dari pajak sangat penting untuk mendorong kinerja pertumbuhan ekonomi. Karenanya, dia berharap, masyarakat mau mendukung program tersebut sehingga target pendapatan negara tercapai.

Program pengampunan pajak direalisasikan pemerintah hingga 31 Maret 2017. Pengampunan itu meliputi penghapusan pajak terutang, penghapusan sanksi administrasi perpajakan, dan penghapusan sanksi pidana perpajakan atas harta yang diperoleh di tahun 2015 dan belum dilaporkan dalam SPT.

Untuk mendapatkan pengampunan itu, para wajib pajak harus melunasi seluruh tunggakan pajak yang dimiliki dan membayar uang tebusan. Kebijakan itu diarahkan untuk wajib pajak orang pribadi, wajib pajak badan, wajib pajak yang bergerak di bidang usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dan orang pribadi atau badan yang belum menjadi wajib pajak.

Dengan kata lain, pemerintah memberikan kesempatan bagi semua wajib pajak dari seluruh kalangan, baik karyawan maupun pengusaha, baik usaha berskala kecil maupun besar, baik masyarakat di desa maupun di kota, untuk mendapatkan penghapusan atas pokok pajak terutang, sanksi administrasi perpajakan, dan sanksi pidana di bidang perpajakan.

Pengampunan pajak yang dicanangkan oleh Presiden tidak terlepas dari permasalahan perpajakan di Indonesia, di mana masih rendahnya kepatuhan pajak, penerimaan pajak, hingga rendahnya kapasitas lembaga administrasi perpajakan. Dengan adanya pengampunan pajak, diharapkan para wajib pajak menyetor pajak untuk meningkatkan pendapatan negara.

Program tax amnesty juga direalisasikan di beberapa negara. India, Irlandia, dan Italia adalah beberapa negara yang sukses menyelenggarakan program pengampunan pajak. Sedangkan Argentina dan Prancis adalah contoh negara yang gagal dalam merealisasikan program tersebut.

Namun demikian, tidak dapat dipungkiri realisasi tax amnesty memunculkan isu kontroversial. Di satu sisi, tax amnesty dipandang sebagai jalan keluar untuk meningkatkan penerimaan negara karena memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk menyetor pajak sebagai kewajiban.

Namun, di sisi lain, tax amnesty dapat mengurangi tingkat kepatuhan wajib pajak di masa yang akan datang. Para wajib pajak kemungkinan akan mangkir dari kewajibannya, sambil berharap akan ada realisasi pengampunan pajak di masa yang akan datang.

Program pengampunan pajak ini juga diarahkan untuk menekan wajib pajak yang menyimpan kekayaan di luar negeri melaksanakan kewajibannya. Pemerintah sudah mengetahui nama-nama orang maupun jumlah uang yang disimpan di luar negeri dan akan disasar untuk membayar pajak. Jumlahnya mencapai ribuan orang.

Jacques Malherbe dalam Tax Amnesties in the 2009 Landscape, Bulletin for International Taxation (2010) menjelaskan, tujuan utama pengampunan pajak adalah mendorong repatriasi modal atau aset untuk negara. Program ini juga diharapkan menumbukan kejujuran dalam pelaporan secara sukarela atas data harta kekayaan wajib pajak. Tax amnesty juga bertujuan mengembalikan modal yang terparkir di luar negeri, tanpa perlu membayar pajak atas modal tersebut.

Pemberian tax amnesti atas pengembalian modal yang di parkir di luar negeri ke bank dalam negeri dipandang perlu karena akan memudahkan otoritas pajak meminta informasi tentang data kekayaan wajib pajak. Dengan begitu, pemerintah mudah mengetahui siapa saja wajib pajak yang harus membayar pengampunan pajak dan menaruh dananya di Indonesia.

Pengampunan pajak juga dapat digunakan sebagai alat transisi menuju sistem perpajakan yang baru. Program itu dapat menjadi instrumen fasilitasi reformasi perpajakan dan kompensasi atas penerimaan pajak yang berpotensi hilang dari transisi ke sistem perpajakan yang baru tersebut. 

M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : Antara
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 828
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 966
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
Selanjutnya
Energi & Tambang