Rakyat Kecil dalam Puisi SBY

| dilihat 2645

ORANG-orang kecil, rakyat biasa menjadi bagian tak terpisahkan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam buku kumpulan puisi terbarunya bertajuk Membasuh Hati, yang diberi kata pengantar Putu Wijaya, SBY mengekspresikan apa yang ada di hati dan fikirannya.

Dalam pengantarnya, Putu Wijaya menulis, “Ekspresi di dalam puisinya selalu terkendali. Tendangan puisinya walau pedih tak pernah menyakitkan. Padahal, itu sering dimanfaatkan oleh penyair-penyair sebagai kekuatan.” Saya justru melihat ekspresi di dalam puisinya, terutama tentang orang-orang kecil, rakyat kebanyakan, merupakan buncahan perhatiannya yang tak sempat tertampung oleh bahasa formal dan bahkan pidatonya yang sangat ‘aristopanes.’ Presiden SBY mampu mengekspresikan semua itu, karena ia merupakan bagian dari rakyat kebanyakan itu sendiri.

Pada malam, ketika Presiden SBY memberikan buku kumpulan puisi itu kepada saya dan Asro Kamal Rokan, di Istana Negara, ia – seperti biasanya – mengekspresikan pemikiran tentang transformasi berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berorientasi pada pencapaian kesejahteraan rakyat. Di dalamnya, program pro rakyat yang sering dikemukakannya, merupakan bagian integral dari keseluruhan kecintaannya pada rakyat.

Pada puisinya bertajuk Amanah untuk Mereka, yang ditulisnya di Jakarta (29/7/10), ia mengekspresikan rekaman atas peristiwa pertemuannya dengan para guru, bidan, petani, nelayan dan kaum buruh.

Begini Presiden SBY menulis:   Pak Presiden, / Tolong tingkatkan gaji kami / Kami guru, yang bikin maju negeri ini / Pahlawan tanpa Tanda Jasa orang menyembut kami // Pak Presiden, mengapa kami dilupakan? / Kami bidan – bidan di daerah pedalaman / Siapa yang menolong ibu – ibu punya kelahiran / Tingkatkan kami punya kesejahteraan // Pak presiden, beginilah nasib nelayan / Susah hidup jika tidak dapat ikan tangkapan / Lagi pula taufan dan badai sedang menerjang lautan / Anak – istri kami juga perlu makan // Pak Presiden, kami para petani di pelosok negeri / berguyur hujan, berterik matahari / menanam padi, jagung dan ubi / untuk sesuap nasi dan hidup keluarga kami / tidak bolehkah makin baik kami punya rezeki?// Pak Presiden, kami kaum buruh di kota-kota / Siang dan malam memproduksi barang-barang dan jasa / Tentu kami ingin hidup sejahtera // Benar, itu benar semua / Percayalah aku akan terus bekerja / dan berjuang sekuat tenaga / untuk meningkatkan taraf hidup semua / Seluruh rakyat Indonesia //.

Di bagian lain bukunya, terekspresikan keberadaan orang-orang kecil dan rakyat kebanyakan semayam di hatinya. Ia ekspresikan puisi tentang jalan desa, yang diakhirinya dengan ekspresi realitas ihwal kemerdekaan rakyat bersuara: “Pak presiden, kapan kita merdeka? Listrik belum masuk desa. Air bersih sering tak tersedia.” Pada puisinya bertajuk Hujan di Senja Hari, Presiden SBY bercerita tentang Bibi Umi, perempuan miskin isteri petani singkong, yang hidup di gubug bambu. Melalui puisinya ini, Presiden mengekspresikan kekaribannya dengan rakyat dan seluruh persoalannya, yang kemudian menjadi ruh bagi semangat kerjanya yang sering tak kenal waktu.

Beberapa saat saya tertegun, membaca puisinya: Kenduri di Tengah Kota, yang berkisah tentang Bang Jamil, Mamat, Ujang, Dadang, dan Euis. Orang-orang kecil yang hendak bersyukur melalui kenduri, tapi sepi. Orang-orang kecil yang hendak bersyukur selalu luput dari perhatian media. Juga tentang Bang Sukur, pedagang bubur ayam di jakarta, yang senang melayani anak-anak, yang kemudian menjadi orang-orang ternama. Juga tentang Kasim, sopir taksi di Jakarta, yang saleh dan kerap bertanya ihwal demokrasi yang membuat harapannya beroleh rejeki terampas, karena jalanan macet akibat aksi anarki dalam mengekspresikan demokrasi.

Dari puisi-puisi ekspresifnya itu, saya sangat yakin: Orang-orang kecil tak pernah luput dari perhatian Presiden SBY. |

Editor : administrator
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 575
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1674
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1450
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Humaniora
08 Mei 24, 19:52 WIB | Dilihat : 115
Sorbonne Bersama Gaza
03 Mei 24, 10:39 WIB | Dilihat : 416
Pendidikan Manusia Indonesia Merdeka
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 613
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1249
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
Selanjutnya