Prestidigatasi Dunia Buram

| dilihat 1117

Bang Sèm

BELAKANGAN hari, masyarakat sering dikejutkan lagi dengan berbagai isu yang menggelikan. Khasnya soal sihir. Tapi, memang tak bisa diabaikan kenyataan itu.

Sihir memang ada dan berkembang mengikuti perkembangan peradaban manusia. Di Indonesia, sihir bahkan berkembang di abad modern. Tak jarang, bahkan sihir mengontaminasi dunia politik.

Adalah kenyataan memang, bahwa sihir telah berkembang berabad-abad lamanya. Bahkan, sihir kemudian, menjadi bagian tak terpisahkan dari  laku budaya masyarakat. Ketika sejumlah rasul diutus Allah, para penyihir menjadi orang-orang yang berada di barisan paling depan untuk menghadang kebenaran.

Namun demikian, para Rasul, utusan Allah selalu mampu menegaskan kepaqda umat manusia, bahwa sihir merupakan permainan ‘silap mata’ alias sulap tingkat tinggi. Merasuk melalui wilayah ilusi dan fantasi manusia.

Itulah pula yang kita saksikan di tengah kehidupan kita sehari-hari dengan aneka ragamnya. Mulai dari santet, debus, sampai berbagai ilusi sebagai materi tayangan stasiun televisi.

Ilusi dan sejenisnya, yang menjelma sebagai sihir tak akan pernah bisa mengalahkan mu’jizat yang diberikan Tuhan kepada para rasul dan nabi-Nya. Cobalah simak berbagai kisah yang berkembang di seputar eksistensi nabi Sulaiman, Ibrahim, Musa, Dawud, Isa, dan Muhammad SAW.

Pada cerita-cerita itu, tentu kita akan menemukan realitas: betapa sihir hanyalah permainan kelam, kaum yang hidup di dunia gelap.

Nabi dan Rasulullah Muhammad SAW tegas mengajarkan, sebagaimana yang difirmankan Allah SWT, “Orang orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirk), mereka lah yang mendapat keamanan dan petunjuk”, (QS. Al An’am: 32). 

Ibnu Khaldun mencatat sesosok Maslamah bin Ahmad al-Majrithi, tokoh matematika yang juga ahli sihir. Ia mengungkapkan berbagai ihwal tentang sihir dalam kitab beken yang ditulisnya, bertajuk Ghayatul Hakim. Kitab inilah yang menjadi cikal bakal berbagai kitab lain berkaitan dengan sihir.

Sihir, dalam pandangan Majrithi, selalu terkait dengan kualitas jiwa manusia. Para nabi dan rasul Tuhan, dan para pewarisnya, tak pernah bisa dipengaruhi oleh sihir, karena kualitasnya yang prima.

 

Jiwa para nabi dan rasul, berkualitas sangat tinggi, dan karenanya selalu siap menerima transformasi pengetahuan rabbani. Oleh karena itu, dengan kemuliaannya, mereka bisa bercakap-cakap dengan para malaikat.

Akan halnya para ahli sihir, adalah manusia yang mempunyai kualitas jiwa tertentu, yang tak memungkinkan mereka berkomunikasi dengan para malaikat, dan tak pernah siap berinteraksi secara transformatif dengan pengetahuan rabbani. Mereka, dengan ketekunan tertentu, hanya mampu -- secara spiritual -- mengolah daya psikisnya sebagai manusia.

Dalam skala tertentu, kondisi kejiwaan mereka, menarik minat setan untuk mentransfer kekuatan kelam. Karenanya, para tukang sihir hanya mampu masuk ke dalam wilayah supranatural, yang masih berada dalam batas kefanaan, tempat manusia dan setan berada.

Dalam konteks ini, Maslamah membagi para tukang sihir – menurut kualifikasi jiwanya – dalam tiga tingkatan.

Pertama, mereka yang melakukan pengaruhnya menggagas sihir melalui himmah atau kekuatan mental. Kedua, mereka yang melakukan pengaruhnya dengan menggunakan bantuan watak benda-benda angkasa (aflak) atau elemen-elemen numerik yang ditimbulkan oleh perguliran astronomi. Mereka ini membuat jimat. Ketiga, mereka yang melakukan pengaruhnya terhadap kekuatan-kekuatan ilusi dan fantasi. Mereka mengelola ilusi dan fantasi menjadi daya tertentu, dan dengan cara itu memengaruhi manusia lainnya, yang dalam kondisi tertentu, tersugesti dan meyakini segala hal yang ilutif dan sekadar khayalan menjadi suatu kebenaran.

Ketiga jenis tukang sihir, itu memengaruhi manusia dan membawanya ke alam khayal, dan kemudian dengan cara dan metode tertentu, membawa para korbannya merasa nyaman dengan persepsi sensualnya.

Dengan manipulasi ilusi dan fantasi itulah, seseorang yang terkena sihir meyakini segala hal yang bersifat fatamorgana sebagai realitas. Bahkan, meyakininya sebagai suatu peristiwa yang aktual. Prestidigatasi yang dalam tasawuf disebut sebagai sya’wadzah dan sya’badzah. Percik dunia yang buram.

Mereka, para tukang sihir, memperoleh daya itu melalui berbagai latihan. Antara lain dengan menghadapkan diri kepada garis-garis lingkar edar astronomi, alam-alam yang tinggi (gunung dan hutan alam), dan setan-setan dengan berbagai pemujaan.

Mereka menyediakan diri, tunduk dan patuh kepada setan-setan yang telah menggiring mereka dari potensialitas ke aktualitas.

Mereka berada di alam eksternal, alam khayali yang diperkuat oleh daya sesat setan. Karenanya, perbuatan para tukang sihir dalam konteks agama termasuk dalam kategori kufur, alias inkar kepada Tuhan. Apalagi, perbuatan sihir, lambat laun, mengontaminasi keimanan manusia kepada Tuhan-nya.

Kita, sebagai manusia, akan terbebas dari sihir -- termasuk sihir politik dan sosial ekonomi --, bila selalu berpijak di bumi, di alam realita, dan hanya berteguh diri, tunduk patuh dan menyerah kepada Tuhan semata. Tidak dengan siapapun, sesama makhluk. |

Editor : Web Administrator | Sumber : berbagai sumber
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 432
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1503
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1322
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Ekonomi & Bisnis
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 278
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 140
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya