Memilih Wakil Rakyat

| dilihat 464

Catatan Haèdar

MUSIM Pemilihan Umum (Pemilu) akan segera tiba. Partai-partai politik, sesuai agenda, sudah berbondong datang ke kantor-kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat dan Daerah. Mereka membawa daftar nama sejumlah orang yang akan ditebar di berbagai daerah pemilihan.

Di antara mereka adalah incumbent, mereka yang sudah (bahkan berkali-kali) menjadi anggota legislatif di berbagai peringkat, termasuk yang mengubah posisi mereka dari wakil rakyat menjadi wali rakyat. Selebihnya adalah mereka yang baru pertama kali mengikuti kontestasi.

Perdebatan dan seleksi intenal partai sudah pula terjadi, termasuk ihwal nomor urut calon yang disertai dengan praktik perihal 'mahar' untuk beroleh nomor urut awal, tengah, dan akhir.

Aneka upaya, termasuk bertandem antara calon DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota juga sudah mulai diancang-ancang.

Para incumbent sudah pula menggerakkan jaringan tim pemenangan mereka, termasuk para anggota legislatif yang cuèk bèbèk dengan rakyat yang diwakilinya.

Boleh jadi mereka hendak mengulang pengalaman masa sebelumnya, tak perlu mengenali anatomi rakyat yang diwakilinya. Lantas mengambil jalan pintas, pragmatisme politik melalui transaksi-transaksi kepengan yang sungguh merendahkan eksistensi, harkat dan marwah rakyat. Ini yang membuat proses menjadi wakil rakyat bergantungan pada bilangan angka-angka di lembar uang.

Uji Kepedulian Caleg

Akibatnya? Nasib rakyat terus terlunta-lunta dan terjebak dalam kemiskinan persisten secara struktural dan kultural. Pengalaman selama ini menunjukkan, setelah mereka terpilih sebagai wakil rakyat, mereka lebih patuh kepada partai katimbang patuh kepada rakyat yang menyerahkan amanat dan daulatnya masing-masing.

Di berbagai daerah, rakyat mulai menunjukkan sikap dan daulatnya. Menolak politik uang dan melakukan uji kepedulian pra kontestasi.

Rakyat tak lagi mau menerima uang dalam jumlah kecil untuk memberikan daulatnya dalam bentuk pemberian suara di TPS (tempat pemungutan suara). Rakyat meminta bukti lebih awal, para calon wakil rakyat berbuat sesuatu yang nyata.

Di daerah-daerah agak terpencil tanpa infrastruktur, sarana koneksi antar desa, mereka meminta para caleg membangun jembatan desa yang membebaskan mereka dari isolasi. Termasuk mengatasi kegelapan, khasnya lingkungan dusun dan desa yang belum tersentuh oleh listrik, dan masih terganggu oleh signal handphone yang lemot.

Di daerah-daerah pinggiran kota, rakyat mulai menuntut pembuktian awal, para caleg membenahi sanitasi dan sarana air bersih (termasuk air minum) sebagai model, termasuk water treatment.

Di daerah-daerah perkotaan, rakyat mulai menuntut para caleg yang akan berkontestasi menguatkan akses mereka terhadap modal, pasar, dan informasi. Termasuk solusi-solusi cepat mengatasi berbagai masalah praktis yang menghambat kelancaran hidup sehari-hari.

Bukan Sekadar Memilih Orang

Memilih wakil rakyat pasca pandemi nanomonster Covid 19, mendidik rakyat untuk menunjukkan posisinya sebagai subyek saligus pemilik kedaulatan.

Di Malaysia, pada PRU (pilihan raya umum) ke 15, rakyat sudah menunjukkan kedaulatannya. Berbagai calon wakil rakyat (termasuk incumbent) tumbang, sehingga tidak ada partai politik yang menang secara dominan.

Mereka menunjukkan, bahwa memilih wakil rakyat bukan lagi sekadar memilih orang yang membawa tawaran mimpi dengan aneka retorika politik.

Memilih wakil rakyat adalah memilah mana emas dan mana loyang, memilih sosok pribadi politisi yang sungguh lebih mendahulukan kepentingan rakyat katimbang segala kepentingan partai politik. Sikap yang sama juga berlaku bagi rakyat di Filipina.

Di Asia Tenggara, minimal di Thailand, Malaysia,. dan Filipina, rakyat menunjukkan dirinya sebagai pemilik kuasa yang sah. Para wakil rakyat yang berkhianat, akan menerima hukuman, tak kan dipilih lagi pada pemilihan umum berikut.

Akankah rakyat Indonesia mempunyai sikap dan aksi politik yang sama pada Pemilu 2024 mendatang? Wallahu a'lam bis sawab! Namun yang jelas, kesadaran rakyat harus terus dibangunkan. Memilih wakil rakyat adalah memilih orang-orang yang akan menentukan nasib mereka lima tahun ke depan.

Karenanya, rekam jejak para wakil rakyat (incumbent) dan calon yang akan berkontestasi menjadi penting.

Cari Tahu Caleg

Para tokoh masyarakat (termasuk tokoh agama dan budaya) perlu memainkan peran strategisnya. Terutama, karena rakyat masih dipengaruhi oleh pola relasi - korelasi traditional authority relationship.

Generasi baru yang akan menambah populasi konstituen (rakyat pemilih) sedang dan akan terbuka mata dan telinga mereka melalui singularitas yang melekat pada gadget dalam genggaman tangan. Mereka akan menentukan arah praktik Pemilu 2024.

Memilih wakil rakyat adalah hak yang di dalamnya mengalir tanggung jawab kebangsaan. Tanggung jawab dalam menentukan perubahan kualitas kehidupan ke arah yang lebih baik.

Sikap kritis dan jeli rakyat sangat diperlukan, agar tak lagi menjadi objek politik lima tahunan, yang dirayu dengan berbagai cara untuk kemudian diabaikan nasibnya.

Rakyat perlu selalu dibangunkan kesadarannya melalui upaya pendidikan politik yang diabaikan oleh partai politik dan para calegnya.

Hanya dengan demikian, rakyat akan sungguh paham dan mengenali, siapa caleg yang pantas dan patut diberikan amanat. Manfaatkan fitur handphone - telepon pintar untuk mencari tahu siapa sungguh para caleg. |

Editor : delanova
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1192
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Energi & Tambang