Spirit Jalesveva Jajamahe dari Dasar Samudera

| dilihat 693

Bang Sém

Sesanti "Jalèsvèva Jajamahè," di samudera kita berjaya, saya dengar sejak masih bocah. Saya suka sekali mengucapkan dan mendengar sesanti yang menjadi spirit Majapahit menguasai Nusantara yang terhubung dengan Sumpah Palapa Gadjah Mada, itu.

Sesanti itu mengandung spirit bangsa bahari yang relevan dengan Indonesia, karena 65 persen wilayahnya adalah lautan. Kendati orientasi tata kelola wangsa di 'banua bahari,' ini cenderung berorientasi darat.

Selain lagu "Nenek Moyangku Orang Pelaut," anak-anak Indonesia lebih 'dikaribkan' dengan darat. Bahkan banyak hal ironik, ketika penguasaan udara dan darat, telah menguasai laut.

Ketika jembatan Suramadu (Surabaya - Madura) diresmikan pengoperasiannya, dengan sukacita sebuah BUMN dengan core business yang berhubungan dengan selat, sungai dan danau, dengan sukacita memasang banner, mengucapkan selamat atas peresmian jembatan itu. Seolah paham (tapi terpaksa) menerima dengan getir realitas: pengoperasian jembatan itu dengan sendirinya mengurangi pendapatan korporasi lewat angkutan ferry.

Boleh jadi, kita memang suka bermain-main pada ironi. Termasuk dalam hal memaknai pesan-pesan arif budaya masyarakat. Misalnya, budaya Mandar, yang kerap saya dengar sejak bocah, "mua melo lambing sau dilolongan, da mupissalai lembong, apa lembong tu’u mipatada apa anu nadiakattai."

Pepatah ini, kurang lebih, bermakna, "Bila hendak menyeberang menuju pulau, jangan menghindari gelombang, karena gelombang lautlah yang mendorong kita sampai ke pulau tujuan.

Tak hanya itu. Masyarakat di kepulauan Indonesia amat berkeyakinan, bahwa laut mempunyai daya tak terduga dan tak terhingga, yang selalu bergerak dari detik ke detik, sebagaimana tersurat dn tersirat dalam berbagai firman Tuhan di kitab suci.

Laut, sebagaimana halnya langit, berlapis-lapis dan di dasarnya terdapat lapisan bumi yang hidup, termasuk bentukan relief menjadi gunung dasar laut. Termasuk palung Mariana yang ukuran kedalamannya melampaui ukuran tinggi Mount Everest.

Dasar lautan, yang menjadi 'pangkal ilmu Bajau,' bisa mengalami pergeseran kapan senja, sehingga dapat menimbulkan hempasan atau tarikan dahsyat, terutama, trikan kuasa pusaran di atas palung.

Laut menawarkan kecerdasan kearifan semesta, yang lantas jelma jadi beragaman mitologi berbagai masyarakat dan bangsa di dunia.

Di Indonesia sendiri kita mengenal tradisi sebagai medium interaksi manusia dengan semesta, insan sesama, dan Tuhan. Karenanya, kita mengenali dimensi momenta yang menegaskan hubungan waktu, musim, dan fenomena semesta dan menjadi isyarat alamiah untuk melaut.

Upacara-upara yang dipimpin Pang Laot sebelum melepas nelayan pergi ke Samudera lepas di Aceh, dan tradisi sejenis di berbagai daerah lain, sepeti Arung Samudera, Mappanretasi, Sedekah Laut, dan sejenisnya adalah bagian dari tatakrama berinteraksi dengan semesta via laut.

Di situ, akhlak manusia terhadap semesta via laut diekspresikan, kemudian menjelma sebagai filosofi yang menghubungkan realitas pertama (alam realis) dan realitas kedua (alam imaji), seperti tercermin dalam Tallu Tammalaesang dan Dua Tammasarang di Mandar (Tiga tak kan hilang, dua tak terpisahkan).

Dalam konteks itu, selalu ada petuah semacam, “Mua nasauwi tau dzi sasiq dipacoai pappinaqditta, dipacoai toi kedzokedzota, daleqba mappapia anu mikkeallaq-allaq, battuanna anu andiang sitinaya nadzipogau.” Nasihat, bila hendak melaut, siapapun hendaknya membenahi diri, memperbaiki perilaku dan tidak melakukan perbuatan tercela di laut.

Semua itu, dalam konteks yang lebih spesifik, melintas dalam bayangan dan mengemuka lagi dari benak, ketika menyaksikan berbagai gambar yang diposting melalui media (termasuk media sosial) menyertai kabar tenggelamnya kapal selam TNI AL, KRI Nanggala 402, ke dasar laut sedalam 838 meter.

Wisnu Wardhana, pakar kelautan dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, mengambil kira, KRI Nanggala 402 tersedot pusaran arus gravitasi dan 'tersedot' ke dalam palung di perairan Bali.

Sebagai manusia yang diberi kelengkapan naluri, nurani, dan rasa, tak hanya nalar dan dria, kita berduka. Secara sosial, kesadaran untuk bersimpati, berempati, berapresiasi, dan respek sebagai tanda 'cinta' kita yang antusias mengemuka.

Dimensi kemanusiaan kita mengemuka dan KRI Nenggala 402 'menyatukan' semua kalangan untuk menemukan kembali hakikat insaniah. Beberapa jenak keluar dari 'kepandiran kolektif' terperangkap pertikaian dan ceokcok yang gaduh, bersatu dalam kemanusiaan.

Lepas dari persoalan teknis dan teknik KRI Nenggala 402 yang sudah tua (empat dasawarsa), kapal selam itu memberi isyarat penting, agar sebagai bangsa yang memperoleh kecerdasan dan kearifan budaya, menyelami berbagai hal asasi dalam menjaga dan memelihara (pertahanan dan keamanan negara) bangsa ini.

Lantas, memahami kembali hakekat (dan mewujudkan) spirit Jalèsveva Jajamahè,  dengan keinsafan paripurna meningkatkan kualitas kemampuan sains dan teknologi. Sekaligus keinsafan, kemauan, dan kemampuan merumuskan, menerbitkan, dan mengaplikasikan berbagai kebijakan strategis pertahanan dan keamanan samudera bangsa ini dengan tepat dan benar.

KRI Nenggala dan 53 awaknya yang syahid di dasar samudera, memantik kita untuk kembali menyadari eksistensi bangsa ini sebagai bangsa bahari. Bangsa archipelago yang mestinya berorientasi maritim. Menempatkan diri sebagai manusia yang hidup di darat dengan budaya bahari yang mempunyai pandangan panoramis dalam melayari masa depan.

Spirit dan sesanti Jalèsveva Jajamahè,  mesti kembali diselami dan kemudian diwujudkan secara nyata untuk selalu merawat bangsa ini, dengan kesadaran pengabdian tulus, kukuh dan bersungguh-sungguh.

Karenanya, tepat penggunaan istilah on eternal patrol, bagi para patriot sejati. Khasnya, untuk selalu menyadarkan kita, bahwa kita memang sungguh bangsa bahari. Tanah air kita adalah tanah air yang dipersatukan oleh samodera, dan kita dengan politik sumberdaya alam yang tepat,  mengawasi kekayaan yang diberikan Tuhan dengan tepat, mulai dari dasar samodera. Merawat dan melindungi persada selamanya. | Jakarta, 25.04.21

Editor : eCatri
 
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 429
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 999
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 236
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 712
Momentum Cinta
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 714
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 871
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 822
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya