Peringatan Kartini Bukan Sekadar Komemorasi Euforia

| dilihat 1042

Senny Suzan Alwasilah 

Kartini lahir pada 21 April 1879, kala adat memingit masih sangat kentara. Penjajahan fisik secara diskriminatif masih menindas kaum perempuan. Kartini hanya boleh merasakan bebasnya dunia luar sampai usia 12 tahun. Namun walau raganya terkungkung di dalam 'tembok yang tebal' dan kokoh yang sulit untuk ditembus, jiwa dan pikirannya terus bergejolak.

Waktunya ia habiskan untuk berpikir bagaimana melepaskan diri dari adat istiadat yang membuatnya tidak bisa bergerak bebas. Pada masa pingitnya Kartini hanya berteman dengan buku. Secara batiniah ia tidak terlalu dekat dengan ibu dan kakak perempuannya. Buku-bukulah yang menjadi teman setianya. Teman yang tidak pernah berkata-kata lisan kepadanya.

Membaca adalah bagian dari kegiatan kesehariannya. Ia membaca dan tetap membaca sampai ia betul-betul paham apa yang dibacanya.

Di kesendiriannya, pada kondisi dan situasi yang serba tidak mungkin Kartini menulis, menyuarakan pentingnya pendidikan agar kaum perempuan maju dan keluar dari sekapan adat yang menyengsarakan.

Menurutnya, pendidikan adalah gerbang utama untuk menanamkan kesadaran tentang manusia dan kemanusiaan serta hak-haknya tanpa sekatan disparitas gender.

Hal yang yang ia inginkan dalam perjuangannya adalah menghilangkan penjajahan kaum laki-laki terhadap perempuan. Perempuan harus pintar dan cerdas, tidak hanya pandai mengurus rumah dan anak-anaknya, namun dapat memangku jabatan lain selain jabatan sebagai seorang istri.

Dalam ketidakberdayaannya Kartini dengan semangat yang menyala berjuang melontarkan pemikiran dan gagasannya lewat surat-surat yang dikirimkannya kepada teman-temannya di negeri Belanda.

Salah satu hal yang ia tuliskan kepada Stella Zeehandelar adalah; “Saya tahu, jalan yang hendak saya tempuh sukar, banyak duri dan onaknya dan lubang-lubangnya; jalan itu berbatu-batu, berlekak lekuk. Dan biarpun saya tiada beruntung sampai ke ujung jalan itu, saya akan merasa berbahagia karena saya turut membantu mengadakan jalan yang menuju ke tempat perempuan Bumiputra merdeka dan berdiri sendiri.”

Hakikatnya, peringatan Hari Kartini yang dirayakan setiap tanggal 21 April bukan sekadar komemorasi euforia dengan ramai-ramai berkebaya, berkain, berkonde, dan mengadakan lomba masak-memasak atau merangkai bunga, serta pawai keliling kota, tapi seyogianya dipahami oleh setiap perempuan Indonesia bagaimana spirit Kartini itu terinternalisasi dengan memunculkan kesadaran baru akan karya nyata perempuan yang tidak diembel-embeli perbedaan jenis kelamin.

Sejujurnya, perspektif diskriminatif terhadap perempuan dalam beberapa hal telah merugikan kaum perempuan itu sendiri. Budaya Patriarki yang masih berkuasa di negeri ini telah memposisikan perempuan sebagai manusia kelas kedua.

Suka atau tidak, marjinalisasi ini telah membuat perempuan menjadi kehilangan eksistensi diri dan heureut lengkah dalam berinternalisasi di ruang-ruang publik. Itulah sebabnya mengapa kaum perempuan kehilangan kemandirian dan jati diri secara moril, material, maupun intelektual.

Kondisi perempuan masa kini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kondisi kartini dulu. Pada zaman modern, di era globalisasi, banyak “kartini” yang terpingit oleh pekerjaannya masing-masing. Mereka terjebak dalam kegiatan rutin yang memenjarakan dirinya dan terlena menggeluti dunianya sendiri-sendiri lalu melupakan eksistensi perjuangan Kartini dalam memajukan kaum perempuan dengan membaca dan menulis tanpa memilah-milah bidang pekerjaannya, apa ia guru, dosen, pengacara, dokter, atau ibu rumah tangga. Bukankah Kartini mendobrak benteng tradisi patriarki juga dengan menulis?

Perempuan yang telah berkiprah menciptakan kemandiriannya dengan menulis perlu diapresiasi dan diacungi jempol karena dengan menulis mereka telah berani melakukan suatu terobosan yang memerlukan perjuangan berdarah-darah di tengah kulturisasi yang masih memihak budaya ucap-dengar ketimbang baca-tulis. Gagasan yang diartikulasikan dalam bentuk tulisan membantu mencerdaskan kaum perempuan itu sendiri.

Tanpa berani menuangkan gagasannya, perempuan akan terus berada pada posisi nomor dua dan akan mengalami kemandegan spiritual serta tidak mampu berpikir kritis. Kartini selalu menegaskan pentingnya menulis sebagai senjata yang ampuh untuk menegakkan hak-hak kaum perempuan mencapai kemandirian.

Menghidupkan dan memakmurkan budaya menulis di sekolah seyogianya menjadi perhatian pemerintah. Generasi muda masa kini, sebagaimana Kartini muda di masa lalu harus berani menuangkan pemikiran dan gagasan serta belajar mencoba mengemukakan haknya dalam berpendapat melalui tulisan.

Untuk menjadi seorang yang adi luhung dan berbudipekerti, perempuan harus bisa memperjuangkan kehidupannya dengan berani melontarkan pemikirannya secara publikatif.

Kartini, seorang perempuan muda di zaman yang serba tidak mungkin yang terpenjara dalam adat dan tradisi, telah berhasil mendapatkan perhatian dunia dalam memperjuangkan emansipasi kaum perempuan dengan menulis. Perempuan Indonesia di masa kini yang segalanya serba mungkin, seharusnya berhasil menjadi orang yang diperhitungkan dunia dengan menulis, seperti Kartini. ***

----

Dr. Senny Suzan Alwasilah adalah President of ASEAN Women Writers Association (AWWA)

Editor : Web Administrator
 
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 242
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 412
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 258
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 943
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1171
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1434
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1582
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya