Refleksi tentang Bantenois

Merdeka sebagai Badui dan Cara Menyelesaikan Masalah

| dilihat 806

sém Haésy

Ketika sedang gencar menjalankan misi dakwah islamiyah itulah, ia didatangi utusan Prabu Pucuk Umun, untuk segera datang menemuinya di Sasaka Domas. Maulana Hasanuddin menyambut baik 'undangan' itu. Singkat cerita, keduanya bertemu. Prabu Pucuk Umun menegurnya, sekaligus menuding Maulana Hasanuddin telah merusak keyakinan rakyat dan mengganggu situasi kehidupan masyarakat Banten Girang  yang semula aman dan damai menjadi terbelah. Prabu Pucuk Umun meminta Maulana Hasanuddin mengikuti perintahnya yang adalah perintah Prabu Surosowan, kakeknya sendiri. [ Artikel sebelumnya: Jalak Rarawe versus Saung Patok ]

Maulana Hasanuddin segera ingat wasiat Sunan Gunung Jati untuk melaksanakan prinsip-prinsip hidup berakhlak dengan tata krama dan sopan santun : Den hormat ing wong tua (Wajib hormat kepada orang tua ndan yang dituakan); Den hormat ing leluhur (Wajib hormat pada leluhur); Hormaten, emanen, mulyaken ing pusaka (Hormat, sayangi, dan mulIakan pusaka); Den welas asih ing sapapada (Hendaklah menyayangi sesama manusia). Ia juga segera ingat dengan ipat-ipat ayahnya, " Yen anaha anak putu kang wangun larane atining manusa sun puji cupeten kang yuswa, aja den awetaken urip ing dunya. Iku ipat-ipat manira katemu ing anak putu ing wuri-wuri (Jikalau anak cucu yang mengejarkan menyakiti hati manusia akan aku mintakan -- kepada Allah -- supaya dipendekkan umurnya, jangan dilamakan -- hidup -- di dunia. Inilah ipat-ipatku supaya diingat oleh anak cucu, di belakang hari).

Merespon apa yang dikatakan Prabu Pucuk Umun, Maulana Hasanuddin mengatakan, dirinya tidak seperti apa yang ditudingkan kepadanya. Misi dakwah yang dia lakukan, senantiasa berpegang pada hikmah dan dengan komunikasi yang baik. Maulana Hasanuddin juga menjelaskan, tak ada paksaan dalam meyakini ajaran agama Islam, karena setiap manusia diberikan kemerdekaan untuk menentukan jalan hidupnya masing - masing. Dalam bahasa yang santun, namun tegas Maulana Hasanuddin mengatakan, dia tidak akan mempengaruhi siapa saja untuk mengikutinya mengubah keyakinan. Tapi, dirinya juga tidak bisa dipaksa oleh siapapun untuk mengubah keyakinannya, mengikuti keyakinan orang lain.  Menurut Maulana Hasanuddin, lebih baik hidup berdampingan dalam rukun dan damai, dan tidak saling memaksakan kehendak.

Pucuk Umun gelisah. Ia masih galau dan belum yakin dengan apa yang disampaikan Maulana Hasanuddin yang dalam banyak hal berbeda dengan informasi yang dia terima. Lantas, ia memanggil para penasehatnya, meminta saran. Dia tidak bisa mengambil keputusan sendiri untuk melarang atau membiarkan Maulana Hasanuddin melakukan misi dakwahnya seperti apa yang didengarnya secara langsung. Prabu Pucuk Umun berharap, hubungannya dengan Maulana Hasanuddin berjalan dengan baik, sebagaimana laiknya hubungan antara paman dengan kemenakan.

Masih terbayang di benaknya bagaimana sikap santun Maulana Hasanuddin yang sangat paham bagaimana menghormati dirinya dan bahkan Sasaka Domas, sebagai tempat orang bersuci dan bertapa. Bahkan Maulana Hasanuddin sempat mendo'akannya. Hanya satu hal yang membuat Prabu Pucuk Umun kecewa. Ketika dia menyampaikan pesan, bahwa dia akan melaksanakan wasiat Prabu Surosowan melestarikan dan mengembangkan agama Sunda Pajajaran, Maulana Hasanuddin juga menegaskan, dirinya konsisten menjalankan wasiat dan ipat-ipat ayahnya, Sunan Gunung Jati untuk mengajarkan kebaikan kepada siapa saja, dan ajaran kebaikan yang diyakini ayahnya, dirinya, dan keluarganya adalah ajaran cara hidup Islam. Juga masih terngiang Maulana Hasanuddin memohon maaf kepadanya, tidak bisa menghentikan misi dakwahnya.

Apa yang ada dibenaknya, disampaikan Prabu Pucuk Umun kepada para penasehat dan prajuritnya. Ia terkejut, karena penasehat yang dia undang tidak bisa memberikan saran apapun, termasuk prajurit yang akan ditugaskannya memantau aktivitas dakwah Maulana Hasanuddin. Bahkan mereka dengan wajah was-was dan kuatir, menyampaikan informasi yang mereka lihat di tengah masyarakat.

Karena dipaksa menyampaikan apa yang mereka lihat dan dengar dari masyarakat, akhirnya seorang penasehat dan seorang prajurit menyampaikan, bahwa sudah sangat banyak rakyat Banten yang mengikuti Maulana Hasanuddin, karena kehidupan mereka bertambah baik. Seorang prajurit memberi saran, agar Prabu Pucuk Umun tidak mengambil jalan pintas 'memerangi' Maulana Hasanuddin, karena kondisi dan semangat prajurit sedang menurun.

Prabu Pucuk Umun yang adalah adik dari Nyi Mas Ratu Kawunganten, ibu kandung Maulana Hasanuddin. Situasi kekerabatan ini membuat Prabu Pucuk Umun mengambil taktik lain, sesuai saran salah seorang pimpinan prajuritnya. Ia mengajak Maulana Hasanuddin menyabung ayam yang menjadi kebiasaan di Banten masa itu.

Prabu Pucuk Umun menyatakan kepada Maulana Hasanuddin,  jika bisa mengalahkan Jalak Rarawé, ayam kesayangan andalannya di lapak sabung ayam, maka aksi misi dakwahnya tak kan diusik. Bila kalah, Hasanuddin harus menghentikan misi dakwah islamiyahnya di Banten, di kampung halamannya sendiri. Maulana Hasanuddin tertunduk, menerima tantangan itu. Sabung ayam akan dilaksanakan di Gunung Karang.

Ayam Jalak Rarawé adalah ayam sabung yang selama ini tak pernah terkalahkan. Bahkan ditajinya, dipasangkan senjata kecil beracun, yang dibuat khusus seorang pandé (penempa logam dan pembuat keris), yang sebelumnya memang menjadi salah satu senjata yang dipasangkan ditaji. Prabu Pucuk Umun sangat yakin, ayam hitamnya itu tak akan membuatnya kecewa dan malu.

Akan halnya Maulana Hasanuddin datang dengan membawa ayam petarung berjuluk Saung Patok. Dalam cerita yang saya dengar dari Abah Jenggot, ayam itu diperkuat oleh do'a seorang sufi bernama Muhammad Saleh, murid Sunan Ampel yang tinggal di Gunung Santri, Bojonegara, Serang. Muhammad Saleh mendampingi Maulana Hasanuddin di arena sabung ayam itu. Cerita lain yang juga saya dengar, sufi bernama saleh itu sendiri yang 'menjelma' menjadi ayam sabung yang dibawa Maulana Hasanuddin.

Sebelum sabung ayam dimulai, Maulana Hasanuddin berulangkali mengucapkan istighfar, karena dia menerima tantangan dari pamannya bukan atas kemauannya sendiri dan untuk memuluskan misi dakwahnya.  Tak berapa lama sabung ayam dimulai, suasananya agak mencekam. Maulana Hasanuddin didampingi para santrinya yang tak henti berdo'a, sedangkan Prabu Pucuk Umum bersama prajurit dan para petinggi Banten Girang dengan keyakinan penuh akan memenangkan sabung ayam itu. Seorang spiritualis menjalankan fungsinya membaca jangjawokan (mantra) bagi kemenangan  ayam hitam Pucuk Umun, Jalak Rarawe.

Pada saat itu juga, dibacakan perjanjian yang sudah disepakati oleh paman dan kemenakan yang berbeda jalan dan keyakinan ini. Sabung ayam pun berlangsung.  Singkat cerita, Jalak Rarawe kalah dan mati. Sabung ayam itu dimenangkan oleh ayam yang dibawa Maulana Hasanuddin.

Prabu Pucuk Umun memenuhi janji sesuai kesepakatan. Ia menyerahkan senjatanya yang diyakini banyak orang, termasuk Abah Jenggot, sebagai pusaka Banten Girang, simbol kedigjayaan Banten Girang. Lagi, Maulana Hasanuddin mengingat wasiat ayahnya, "Hormaten, emanen, mulyaken ing pusaka (Hormat, sayangi, dan mulyakan pusaka)." Tentu yang dihormati dan dimuliakan nilai yang berada di balik simbolisma keberadaan pusaka itu.

Hasanuddin menerima pusaka, itu dengan tetap memberikan rasa hormat dan santun dan tidak serta merta mengambil alih kepemimpinan Banten Girang. Maulana Hasanuddin masih mengakui eksistensi  pamannya sebagai pemimpin Banten Girang. Sebaliknya Prabu Pucuk Umun menyatakan, Maulana Hasanuddin secara bebas dapat meluaskan misi dakwah islamiyahnya.

Semenjak itu, Prabu Pucuk Umun dan pengikutnya menyingkir dari wilayah Banten Girang ke wilayah Selatan Banten, mempertahankan keyakinannya, sebagaimana janji dan sumpah kepada ibunya, yang juga nenek Maulana Hasanuddin. Prabu Pucuk Umun dan pengikutnya akan hidup dengan aturan adat, tradisi dan budayanya sendiri. Mereka, dengan merdeka, membangun perkampungan dengan komunitas khas di Cikeusik, Cibeo, dan Cikertawana yng berada di wilayah Kabupaten Lebak. Prabu Pucuk Umum inilah yang diyakini sebagai simpul awal nenek moyang orang Badui.

Selain mereka yang ikut memisahkan diri menjadi komunitas Badui, para bekas prajurit dan rakyat Banten Girang masuk Islam. Kemudian Maulana Hasanuddin memimpin Kesultanan Banten memulai Banten era Islam. Atas panduan Sunan Gunung Jati, Maulana Hasanuddin memindahkan kesultanannya ke pesisir Banten, dan untuk menghormati kakeknya memberi nama kompleks kesultanan sebagai Kraton Surosowan.

Cermin Cara Penyelesaian Konflik

Dari kisah sabung ayam Jalak Rarawe Prabu Pucuk Umum versus Saung Patok Maulana Hasanuddin, ini pelajaran penting yang saya peroleh adalah cara penyelesaian atas suatu masalah terkait dengan friksi dan konflik, senantiasa perlu diselesaikan dengan cara-cara terhormat. Yaitu dengan mengedepankan akal budi untuk mendapatkan solusi penyelesaian terbaik. Sikap elegan para ksatria Banten ini tidak terjebak dalam pola penyelesaian masalah dengan prinsip 'tiji tibeh' - mati siji mati kabeh. Pola penyelesaian yang tidak mengorbankan orang banyak.

Di sisi lain, kita peroleh pelajaran penting tentang kekuasaan yang cenderung menekan, karena dipengaruhi berbagai faktor, tidak selamanya dapat memenangkan suatu kompetisi yang wajar. Selaras dengan itu, kita juga memperoleh pelajaran penting, bahwa perbuatan baik atau diseminasi kebaikan tidak selamanya berjalan mulus dan harus dihadapi dengan cara-cara yang wajar dan bertanggung jawab.

Setiap orang mempunya sikap dan mesti menunjukkan sikap tersebut dengan jelas dan bertanggungjawab. Pemimpin yang baik dan berintegritas tidak akan menggunakan otoritasnya secara sewenang-wenang, apalagi dengan cara 'kuma aing' atau 'kuma dia,' bagaimana saya dan bagaimana kamu. Dalam konteks itu, berlaku pula prinsip, setajam apapun friksi dan konflik harus dihadapi dan dicarikan jalan keluar penyelesaiannya dengan mempertimbangkan dimensi tata krama. Dalam konteks ini, cara-cara diplomatis dalam mengatasi friksi dan konflik merupakan salah satu hal yang harus dilakukan. Karena di dalam cara-cara diplomatis, akal budi memainkan peran penting dalam mengendalikan naluri dan perasaan, emosi.

Hal lain yang saya petik dari kisah Abah Jenggot tentang friksi antara Prabu Pucuk Umum dengan Maulana Hasanuddin, mengandung hikmah, bahwa setiap orang yang berkonflik selalu berpeluang untuk menggunakan cara-cara yang memberi penghormatan pada integritas masing-masing. Sekaligus keberanian untuk mengakui kekalahan dan memaknai kemenangan, yang kelak berbuah kebajikan dengan dimensinya masing-masing.

Sikap ini dapat dikatakan sebagai kepribadian orang Banten (personnalité bantenoise). Penyelesaian langsung secara head to head atau neck to neck, karena terhindar dari pola pikir kalah menang. Cara baik kepribadian orang Banten ini, dapat dilakukan dalam menyelesaikan berbagai friksi dan konflik yang amat sangat mungkin terjadi di mana saja dan dalam skala apa saja, dengan tetap memelihara kemampuan melokalisasi masalah.

Siapapun manusia, termasuk yang pada dirinya tersandang posisi kekuasaan dengan segala simbol dan atributnya, ketika menyadari dengan seksama bagaimana realitas empiris yang dialaminya akan dapat memilih cara untuk menjadi ksatria, sepanjang tidak membungkus diri dalam menerima dan menghadapi realitas dengan alasan - alasan.

Cara penyelesaian masalah a la Prabu Pucuk Umun dan Maulana Hasanuddin ini, dapat direformulasi menjadi cara orang Banten menyelesaikan friksi dan konflik. Dalam konteks diplomasi yang lebih luas, cara yang ditempuh oleh Prabu Pucuk Umun dan Maulana Hasanuddin, ini dapat dikatakan sebagai diplomasi bilateral. Cara diplomasi bilateral, sangat relevan dalam perkembangan dunia kini, ketika dilanda oleh pandemi nanomonster coronavirus sekaligus dalam serbuan infodemi yang menjadi ekses dari perkembangan komunikasi global multi media, multi channel dan multi platform.

Salah seorang diplomat ulung, putera Banten, Hassan Wirajuda (Menteri Luar Negeri 2001 - 2009)  mengemukakan, menyarankan, di tengah multi krisis saat ini, Indonesia perlu menggeser arah politik luar negeri ke diplomasi bilateral dan regional.  Saran itu disampaikannya ketika berbicara dalam forum diskusi bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, yang berlangsung pada Rabu, 17 Juni 2020.

Hassan mencermati bahwa pandemi telah mengubah banyak pandangan politik dan ekonomi di tingkat global dan regional. Bahkan cenderung mengancam tatanan dunia yang sudah tidak efektif lagi. Misalnya sistem perdagangan yang menjadi sangat chaotic, karena aturan perdagangan internasional menjadi tidak berlaku.

Hassan mengatakan: "Memahami adanya perubahan besar, pasca pandemi, perlu ada penajaman fokus diplomasi Indonesia, atau pergeseran penegasan dari diplomasi multilateral ke diplomasi bilateral dan regional." (kabar24.bisnis.com, 17.06.20)

Hassan menyarankan perubahan diplomasi itu untuk mencapai tujuan mencapai target nyata memperkuat kemandirian bangsa di berbagai bidang, ideologi, politik ekonomi, sosial, budaya, dan militer sebagai tren global baru pascapandemi. Diplomasi regional diperlukan untuk mencapai tatanan regional yang dapat menjadi payung dari berbagai hal yang mengancam eksistensi Indonesia sebagai negara dan bangsa. Hassan menilai, situasi saat ini telah memberi celah negara kuat di Asia, seperti China bertindak leluasa di kawasan Laut China Selatan, bahkan memantik konflik dengan India akibat absennya tatanan regional yang efektif. Untuk itu, menurutnya, kerja sama regional bisa menjadi ajang penyelesaian masalah ekonomi, politik, dan keamanan. Diplomasi Indonesia harus lebih membumi daripada mengukir langit. |

Editor : eCatri | Sumber : berbagai sumber
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1185
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 526
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1046
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 267
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 740
Momentum Cinta
Selanjutnya