Slamet Rahardjo: Seni Merefleksikan Kehidupan

| dilihat 2619

AKARPADINEWS.COM | TELAH 48 tahun kesenian digelutinya. Di usia yang sudah senja, dirinya tetap konsisten berkesenian. Dia merupakan salah satu pelaku sejarah yang turut menggerakan roda teater dan industri perfilman Indonesia.

Dia adalah Slamet Rahardjo. Seniman kelahiran Serang, Banten, 21 Januari 1949 itu, mengampu kecintaannya terhadap kesenian dengan bergabung bersama Teater Populer, pimpinan Teguh Karya pada tahun 1968. 

Dalam renungan budaya yang mengangkat tema Pemenang atau Pecundang yang digelar di Balai Budaya, Menteng, Jakarta Pusat, 25 Mei 2016 lalu, Slamet menceritakan kiprahnya di panggung teater.

Masih terekam dalam ingatannya sebuah momen penting di tahun 1968. Kala itu, untuk kali pertama, dirinya berteater di Balai Budaya, yang dianggapnya gedung yang bersejarah. Esoknya, seusai pentas, Slamet terkesima saat membaca halaman depan sebuah surat kabar. Judulnya: Seorang Aktor Telah Lahir. “Pada saat dimuat di halaman depan, rasanya saya jadi Presiden,” ungkapnya mengenang sembari tersenyum.

Sosoknya yang diberitakan di halaman satu di surat kabar, tentu punya nilai berita. Mungkin, wartawan yang menulis, menyaksikan kualitas akting yang diperankan Slamet sehingga layak dimuat di halaman muka.

Bagi Slamet, modal seniman adalah perasaan dan ketulusan cinta. Dia juga menjelaskan, dalam berkesenian, ada istilah pemenang dan pecundang. “Pemenang selalu jadi bagian dari jawaban, dan pecundang selalu jadi bagian dari masalah. Dan, seniman itu mengada-ada, tapi tidak meniadakan, ia hanya diakui karyanya.” 

Seniman senior yang berasal dari keluarga berlatar belakang militer itu menjalani proses berkesenian secara otodik, meski diakuinya, berguru pada sejumlah tokoh teater. “Saya berguru pada semua orang. Jadi, saya tidak punya waktu untuk sombong," katanya seraya menegaskan sulitnya berkhianat pada kesenian. "Apa yang saya berikan pada kesenian adalah jiwa raga saya,” imbuhnya.

Dia menganggap, sejumlah tokoh teater seperti WS Rendra, Arifin C Noer, dan Umar Kayam, telah memberikan pengertian dan argumentasi padanya jika teater adalah dialog intelektual. “Teater itu sebuah bentuk, sebuah knowledge yang gak bisa sembarangan orang datang dan pergi,” jelasnya.

Dia mengisahkan saat Rendra membawa anak-anak asuhannya di Bengkel Teater ke Pantai Parangtritis, Yogyakarta, dengan hanya membawa bekal kelapa dan gula Jawa. Tujuannya, bukan untuk menyiksa, tapi memahami secara aklamasi jika di teater ada Tuhan, ada alam dan ada sesama. Karena itulah, menurut Slamet, kesenian, khususnya teater, bermanfaat dalam pembentukan karakter seseorang dalam menyikapi kehidupan.

Berbekal kemampuannya dalam berakting, Slamet lalu meminta ijin kepada Teguh Karya untuk mengembangkan karir di perfilman Indonesia. Ternyata, karirnya makin melesat. Slamet menjadi bintang di layar lebar.

Debutnya di film Ranjang Pengantin (1975), membuahkan penghargaan Piala Citra untuk kategori Aktor Utama. Penghargaan serupa juga diraihnya lewat film Di Balik Kelambu (1983). Tak hanya itu, dia juga meraih penghargaan Piala Citra pada Festival Film Indonesia sebagai sutradara terbaik berturut-turut dalam film Rembulan dan Matahari (1980), Kembang Kertas (1985), dan Kodrat (1987).

Tidak hanya menjajali puluhan film dan meraih berbagai penghargaan, wajahnya juga sering muncul di layar kaca dan pernah meraih Penghargaan Festival Film Bandung (2004) untuk Aktor Terpuji pada sinetron Kepadamu Aku Pasrah. Pada tahun 2012, Slamet juga meraih Festival Film Indonesia (FFI) Piala Vidia sebagai Pemeran Utama Pria Terbaik di Film Televisi (FTV) Pahala Terindah

Saat ini, Slamet masih aktif muncul di televisi, film, dan mengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Dia juga aktif di Teater Populer dengan kelas Srawung Kreatif untuk meneruskan perjuangan mendiang Teguh Karya.

Bagi ayah dari dua puteri ini, menjadi seniman secara otodidak, merasa tidak mengenal fakultas secara khusus dari sisi akademik. Baginya, kehidupan adalah fakultasnya. Dengan bebas, ia membaca semua buku yang diinginkan, dari mulai hukum, politik, teknologi. Karenanya, saat memandu program Sentilan Sentilun di Metro TV, ia dapat berdiskusi dengan berbagai tokoh dan kalangan, dengan latar belakang ilmu dan pengalaman yang beranekaragam.

“Saya rasa seniman itu, sutradara atau aktor, tidak bisa diajarkan, sutradara atau aktor itu harus dihidupkan. Jadi, kalau mau belajar, belajar ilmu sosial. Aktor itu tidak bisa diajarkan, tapi dihidupkan,” tuturnya. 

Karenanya, dia mengingatkan seniman muda akan pentingnya mempelajari ilmu tentang kehidupan dan melihat semua karya seni bukan sebagai imitasi kehidupan. Tetapi, seni sebagai refleksi kehidupan.

Itulah esensi kesenian menurut Slamet. Baginya, kesenian menangkap misteri di balik kehidupan dan keinginan Sang Pencipta. “Seni itu ada apa di balik pepohonan, ada apa di balik embun, ada apa di balik angin." Dengan begitu, seniman menjadi pencipta atau kreator.

Dalam meniti karir, Slamet memegang prinsip yaitu menghayati kesenian sebagai sebuah ageman. “Kesenian itu telah menjadi ageman saya, jadi kalau saya mati, Tuhan tanya mau jadi apa, saya mau jadi seniman lagi,” ungkapnya. Karenanya, Slamet pun tak ingin berbicara tentang kematian di kesenian. "Saya mau ngomong hidup. Sebab, mati pun bagi seniman itu hidup karena karyanya akan terus hidup.” 

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 227
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 322
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 941
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1170
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1431
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1580
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya