Politik Belah Bambu dan Konspirasi Purba

| dilihat 3242

AKARPADINEWS.COM | ISTILAH "politik belah bambu" sering terdengar tatkala sejumlah pihak menyikapi realitas di panggung politik. Istilah itu sebenarnya sudah lama digunakan. Politik belah bambu sudah populer sejak masa Julius Ceasar maupun saat Perang Dunia. Di Indonesia, politik belah bambu sudah diterapkan di era kolonialisme Belanda maupun di beragam peristiwa konflik bersenjata di berbagai daerah.

Politik belah bambu pun menjadi strategi yang dilakoni politisi untuk mempreteli lawan politiknya. Konflik di internal Partai Golkar antara kubu Aburizal Bakrie versus Agung Laksono dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) antara kubu M Romahurmuziy versus Djan Faridz, juga diduga karena strategi politik belah bambu. Lantas apa sebenarnya politik belah bambu itu?

Sebenarnya, idiom bambu begitu dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagai tanaman organik yang tumbuh subur dan berumpun, bambu memberikan manfaat yang multifungsi dalam keseharian. Istilah politik belah bambu sepertinya mengalami evolusi bambu sebagai senjata, dari bambu runcing untuk melawan penjajah, sumpit beracun oleh suku Dayak, meriam bambu (lodong) hingga menginspirasi dibentuknya senjata meriam bom dan senapan.

Bila melihat seseorang membelah bambu seperti banyak dilakukan di masyarakat pedesaan, menguraikan makna istilah belah bambu sebenarnya sederhana. Berawal dari pangkal bambu yang dibelah dengan parang, golok atau pisau. Selanjutnya, belahan yang satu diangkat kuat-kuat ke atas dan belahan lainnya diinjak kuat-kuat. Teori aksi dan reaksi sepertinya berlaku dalam proses pembelahan bambu. Makin kuat diangkat dan diinjak, maka makin cepat bambu terbelah.

Bila mengacu pada idiom di atas, pisau untuk membelah dan aksi yang dilakukan dalam politik belah bambu, dilakukan seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan menaklukan lawan politiknya. Mereka menempatkan lawan politiknya sebagai target di posisi bawah dan terinjak. Sementara pihak lain yang dapat menguntungkannya, ditempatkan di posisi di atas. Secara umum, praktik belah bambu biasanya digunakan untuk memecah belah suatu kelompok, suku, bangsa, hingga agama.

Julius Caesar yang dikenang sebagai jenderal yang piawai berperang, politikus dan diktator Romawi yang termasyur, memiliki filosofi dalam berpolitik, "Memecah belah dan kuasailah.” Dengan begitu, dia melancarkan strateginya dengan memulai dari perang saudara. Perang Dunia I dan II juga meletup tatkala beberapa negara bersekutu, dengan tujuan menghancurkan negara-negara yang lain, yang pada akhirnya melahirkan sekutu-sekutu tandingan.

Negara-negara itu melakukan konspirasi, memecah belah bangsa-bangsa lain dan membuat penderitaan lewat kekuatan militer. Sementara di Pakistan, konflik merebak lantaran disulut klaim pembenaran suatu tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama, yang sebenarnya bermotif kekuasaan.

Belanda pun menggunakan politik belah bambu seperti yang dilakukan Snouck Hurgonje. Dia berkonspirasi bersama Belanda untuk mendalami Islam dan Aceh, lalu memecah belah para pemuka agama untuk menaklukan Aceh. Kerajaan lain seperti Majapahit, Demak, Gowa, Tidore dan Ternate dan para pemimpinnya juga hancur karena dipecah belah dengan kerajaan lain.

Tragedi G30 S PKI juga tidak terlepas dari konspirasi bermotif kekuasaan. Peristiwa yang terjadi di masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru itu diwarnai darah dan air mata. Aktivis dan simpatisan maupun siapa saja yang diduga terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) ditangkap dan dibunuh. Pembantaian yang terjadi di tahun 1965–1966 itu memicu pergolakan politik yang akhirnya menyebabkan pergantian kekuasaan, dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto.

Politik belah bambu di Indonesia saat ini juga rentan terjadi di setiap suksesi. Berbagai jurus dilakoni demi meraih kekuasaan. Menurut Plato, manusia adalah makhluk politik (zoon politicon) sebagai elemen dari sebuah negara. Begitu pula Aristotelian yang melihat politik sebagai kenyataan yang tak terelakan dari laku manusia untuk menduduki suatu jabatan dan meraih kesejahteraan bagi diri maupun kelompoknya.

Politik belah bambu yang tidak jauh berbeda dengan politik adu domba (devide et impera) dan politik kambing hitam, merupakan cara berpolitik yang kotor, dengan menggunakan pihak lain, untuk melancarkan tujuan politiknya. Cara-cara itu, bisa menjadikan politik menjadi panggung pertunjukan lakon homo homini lupus, di manusia yang satu, menjadi serigala bagi sesama manusia lainnya.

Nilai-nilai ideal dalam berpolitik terdistorsi lantaran sebagian pelaku politik sekadar menempatkan politik sebagai cara merebut dan mempertahankan kekuasaan. Demi kekuasaan, politisi pun menghalalkan segala cara. Mereka juga menyakini betul betapa pentingnya memoles citra dan berpura-pura seperti yang diajarkan Niccolo Machiavelli.

Filosof terkenal kelahiran 3 Mei tahun 1469 di Florence, Italia itu berujar, "Saat orang melihat dan mendengarkannya, (politisi) memiliki sifat lembut, beriman dapat dipercaya, manusiawi dan agamis. Rakyat yang memiliki sifat sederhana hanya menilai dari penampilan dan mudah ditipu." Dalam bukunya yang terkenal, The Prince, (Sang Pangeran), Machiavelli mengajarkan penguasa untuk tidak selalu berbuat baik demi mempertahankan kekuasaannya. Seorang penguasa yang cerdik, kata dia, tak harus menepati kata-katanya. Namun, jangan pula kehabisan alasan untuk memaniskan atas setiap pelanggaran janji-janjinya.

Ratu Selvi Agnesia 

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 236
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 333
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 949
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1175
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1439
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1585
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya