Reshuffle Kabinet

Menguji Independensi Jokowi

| dilihat 1867

AKARPADINEWS.COM | BEBERAPA kursi menteri di Kabinet Kerja terus digoyang. Kinerja yang dianggap lemot dijadikan dalih untuk mendesak Presiden Jokowi mengganti mereka. Desakan perombakan kabinet (reshuffle) paling nyaring disuarakan kubu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Desakan dari partai pendukung pemerintah itu, bukan kali pertama.

Beberapa nama, khususnya menteri di bidang ekonomi,  telah masuk daftar yang harus didepak Jokowi. Partai besutan Megawati Soekarnoputri itu pun kabarnya telah mengantongi sejumlah nama kader yang akan disodorkan ke Jokowi.

Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDIP boleh saja berdalih, jika presiden perlu melakukan reshuffle karena tidak efektifnya kinerja pemerintahan dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi rakyat. Dia menyoroti kinerja para menteri di bidang ekonomi. Memang, Badan Pusat Statistik (BPS) mengabarkan pertumbuhan ekonomi kuartal I-2015 sebesar 4,71 persen atau melambat dibanding pada periode sama tahun lalu yang mencapai 5,14 persen.

Hasto membantah jika desakan reshuffle karena partainya menuntut proporsionalitas kekuasaan di pemerintahan. Dia pun menegaskan, kewenangan mengangkat dan memberhentikan menteri merupakan hak prerogatif presiden. Namun, dengan nada diplomatis, Hasto bersyukur, jika Jokowi menambah kursi menteri untuk kader PDIP demi konsolidasi pemerintah yang lebih baik dan memahami visi misi serta ideologi partai.

Namun, sulit rasanya percaya begitu saja dengan alasan Hasto. Politik tidak terlepas dari kepentingan. Sebagai partai pemenang di Pemilihan Umum 2014, dengan perolehan 23.681.471 suara atau 18,95 persen itu, PDIP merasa berhak mendominasi jatah kursi menteri di Kabinet Gotong Royong. Makanya, Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Ahmad Basarah merasa perlu tambahan lima menteri dari PDIP.

Di Kabinet Kerja, menteri dari kader PDIP memang tak mendominasi. PDIP mendapat jatah empat kursi menteri. Mereka antara lain: Puan Maharani (Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan), Tjahjo Kumolo (Menteri Dalam Negeri), Yasonna Laoly (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia), dan AAGN Puspayoga (Menteri Koperasi dan UMKM).

Jumlah kursi menteri yang diduduki kader PDIP itu sama dengan jumlah menteri dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Padahal, perolehan suara PKB jauh lebih rendah dibandingkan PDIP yakni mencapai 11.298.950 suara (9,04 persen). Empat menteri dari PKB itu antara lain: Hanif Dhakiri (Menteri Tenaga Kerja), Khofifah Indar Parawansa (Menteri Sosial), Imam Nahrawi (Menteri Pemuda dan Olahraga), dan Marwan Jafar (Menteri PDT dan Transmigrasi).

Namun, klaim PDIP sebagai pendukung utama Jokowi layak dipersoalkan. Jika mencermati dinamika politik di Pemilihan Presiden 2014 lalu, elektabilitas Jokowi memang sedang melambung, mengalahkan kandidat presiden lainnya, termasuk Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Hasil survei Soegeng Sarjadi School of Government (SSSG) yang dilakukan 10 Februari hingga 5 Maret 2014 atau jelang Pemilihan Presiden, elektabilitas Jokowi melesat hingga mencapai 40,32 persen. Sementara elektabilitas Prabowo (10,64 persen), Jusuf Kalla (6,08 persen), disusul Wiranto (4,96 persen), Aburizal Bakrie (1,12 persen), dan Megawati (1,04 persen).

PDIP sah-sah saja mendesak Jokowi mengganti menteri dengan alasan kinerja yang tidak produktif. Namun, kenapa kursi menteri yang dibidik PDIP umumnya diduduki kalangan nonpartai? Jika menteri harus diganti lantaran kinerjanya buruk, bagaimana dengan kinerja menteri dari PDIP?

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani misalnya. Hasil survei dari Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) menunjukan, Puan paling layak diganti karena kinerjanya tak memuaskan. Sebanyak 59,6 persen responden menilai, putri Megawati Soekarnoputri itu layak di-reshuffle. Survei yang dilaksanakan 26 Mei hingga 3 Juni 2015 itu merekrut responden 250 orang yang tersebar di kawasan bisnis Jakarta, yaitu Sudirman, Thamrin, serta Kuningan-Rasuna Said.

Hasil survei Poltracking Indonesia juga sebelumnya menilai sebanyak 41,8 persen dari 1.200 total responden setuju Jokowi mereshuffle kabinet. Responden menyoroti buruknya kinerja para menteri di bidang ekonomi. Mayoritas responden (52,2 persen) merasa kurang puas dan sebanyak 14,4 persen merasa sangat tidak puas atas kinerja tim menteri ekonomi. Tingginya ketidakpuasan itu lantaran kondisi perekonomian yang tidak menentu akibat implementasi kebijakan "naik turun" bahan bakar minyak (BBM). Responden juga menyesalkan kebijakan pemerintah yang menaikan harga gas, dan listrik, yang memicu liarnya harga bahan pokok.

Lantas, siapakah menteri yang disebut-sebut menghambat konsolidasi dan tidak memahami misi, visi serta ideologi PDIP? Politisi PDIP Masinto Pasaribu menyebut dua nama yakni Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto. Dua menteri itu disebut berkinerja buruk kemudian tidak menopang aktualisasi program Nawa Cita yang dijanjikan Jokowi saat kampanye Pilpres 2014 lalu.

Megawati juga pernah menunjukan ketidaksukaan dengan orang-orang nonpartai. Di hadapan Jokowi, saat Kongres PDIP, di Bali, 9 April lalu, Megawati menyebut ada penumpang gelap di pemerintahan, tanpa menjelaskan identitas penyusup itu.

Namun, dia mencermati ada gerakan antipartai, yang ditopang kekuataan modal, yang menyusup di lingkaran kekuasaan demi kepentingan tertentu. Megawati menyebutnya sebagai kelompok oportunis. "Mereka tidak berkerja keras membangun partai, tidak mengorganisir rakyat, kecuali menunggu, menunggu, dan selanjutnya menyalip di tikungan,” tegasnya.

Meski tidak menyebut identitas orang-orang antipartai, publik tentu bisa menebak sosok yang dituding Megawati itu. Rini misalnya. Dia bukan kader PDI Perjuangan. Namun, sempat dekat dengan Megawati. Karenanya, dia dipercaya memimpin tim transisi guna mempersiapkan kabinet kerja yang dipimpin Jokowi. Manuvernya merapat ke Jokowi, mengantarkan Rini ke kursi Menteri BUMN.  Belakang, Megawati dan Rini pecah kongsi.

Demikian pula Andi Widjajanto yang dikenal sebagai salah satu tim sukses Jokowi. Dia pernah ditunjuk sebagai Deputi Tim Transisi oleh Jokowi. Kini, dia menjabat Sekretaris Kabinet. Di ajang Pilpres 2014 lalu, Andi selalu menempel ke Jokowi. Bagi politisi PDIP, Effendi Simbolon, Rini dan Andi adalah penghianat.

Kemudian, ada pula Luhut Binsar Panjaitan, politisi Golkar yang bermanuver mendukung Jokowi, berseberangan dengan perintah Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie. Luhut lincah merapat ke Jokowi. Karenanya, dia mendapatkan jabatan strategis. Dia kini menjabat Kepala Staf Kepresidenan. Sebelumnya, dia disebut-sebut sebagai calon kuat Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan.

Sejauh ini, desakan PDIP agar Jokowi melakukan reshuffle menteri belum mendapat sinyal dari Jokowi. Presiden justru memperingatkan sejumlah kalangan untuk tidak menganggu kerja kabinet dengan mewacanakan isu reshuffle. "Jangan buat gaduh," kata Jokowi. Namun, Presiden menegaskan, sudah memiliki catatan mengenai kinerja para menteri. "Saya selalu mengevaluasi, baik lewat laporan, juga saya cek di lapangan progres yang sudah diperintahkan seperti apa," ucap Jokowi.

Reshuffle memang perlu dilakukan untuk memastikan efektifitas kinerja pemerintahan. Aspek politik juga perlu dipertimbangkan guna mencegah resistensi politik. Mereka yang tadinya kawan, bisa saja berubah menjadi lawan jika kepentingannya tidak diakomodasi atau kepentingannya diutak-atik.

Namun, apakah dengan mengakomodasi kepentingan PDIP itu bisa menekan manuver politik yang merongrong Jokowi. Hubungan Jokowi dengan PDIP memang bakal semakin solid. Namun, tidak kemudian menurunkan tensi tekanan politik dari kubu oposisi yang tidak tertarik masuk di kabinet. Toh, kekuataan politik kubu oposisi (Koalisi Merah Putih) lebih besar dibandingkan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Artinya, jika Jokowi mengakomodasi desakan PDIP, tidak akan berpengaruh terhadap tekanan dari lawan politiknya. Dan, publik pun makin yakin jika Jokowi tersandera oleh partai politik.

Di kala akan menyusun kabinet, publik masih ingat betul dengan janji Jokowi yang menentang  dominasi  politisi di kabinetnya. Apalagi, politisi itu tidak memiliki kompetensi dan lebih memikirkan kepentingan partainya. “Beban masalah Indonesia berat. Saya tidak ingin menteri sibuk urus partai,” kata Jokowi, kala itu.

Jokowi juga menegaskan, koalisi dibentuk bukan atas dasar bagi bagi kekuasaan. Dia menyebut koalisi dengan istilah “kerjasama politik” dengan partai politik pendukung.  Syarat kerjasama politik itu, tidak harus dengan  “embel embel” jatah kursi menteri untuk politisi.

Di sinilah indepedensi Jokowi sebagai Presiden pilihan mayoritas rakyat diuji. Rakyat tentu mengharap Jokowi tidak perlu tunduk dengan tekanan partai politik. Meski bukan komandan partai, dia tak perlu mengakomodasi syahwat politik politisi, meski diancam akan dimakzulkan (impeachment) di tengah jalan. Apalagi, menteri yang disodorkan partai diragukan kapasitas dan integritasnya.

Jokowi harus sadar betul jika dirinya dipilih oleh rakyat, bukan dipilih partai politik. Sebagai presiden yang dipilih langsung oleh rakyat,  Jokowi tidak perlu takut dengan ancaman impeachment. Di Pasal 7A dan 7B Perubahan Ketiga UUD 1945 dinyatakan ada lima syarat untuk menyatakan Presiden melanggar konstitusi yang bisa berujung impeachment, yakni korupsi, menyuap, melakukan penghianatan terhadap negara, melakukan tindak kejahatan besar, dan melakukan tindakan tercela seperti diatur dalam UU. Dan, dugaan penyimpangan Presiden itu pun harus diadili lewat jalur politik di DPR dan jalur hukum di Mahkamah Konstitusi (MK). DPR melalui hak pengawasannya melakukan proses investigasi atas dugaan dugaan jika kepala negara melakukan tindakan yang dapat dimakzulkan. Kesalahan presiden lalu dibuktikan di MK yang akan memutus menerima atau menolak dugaan pelanggaran yang disampaikan DPR.

Reshuffle kabinet idealnya mengakomodasi ekspektasi rakyat dengan menempatkan orang-orang yang lebih kapabel dalam mengatasi persoalan. Menteri yang berasal dari partai politik cenderung akan lebih fokus pada kepentingan partainya daripada melaksanakan titah presiden. Apalagi, mendekati ritual politik lima tahunan, anggota kabinet yang berasal dari partai politik akan lebih sibuk menyongsong Pemilu. Akibatnya, orientasi menjelang akhir pemerintahan lebih bersifat pragmatis.

Jika kader partai politik makin bertambah, maka Jokowi lebih mempertimbangkan aspek politik. Reshuffle kabinet menjadi kehilangan urgensi. Reshuffle kabinet adalah salah satu jalan keluar untuk menjaga kinerja pemerintahan dalam menjalankan programnya. Dalam kondisi ini, dibutuhkan kemampuan Presiden untuk menilai kualitas kinerja para menteri. Jika hanya berdasarkan desakan politik, maka reshuffle bukan justru menjadi solusi mendongkrak kinerja pemerintahan. Namun, justru bisa menjadi beban presiden.

M. Yamin Panca Setia 

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 530
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1051
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 278
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 746
Momentum Cinta
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 245
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 467
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 460
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 432
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya