Renungan Ramadan

Isyarat Bencana Alam

| dilihat 274

Bang Sém

Angin puting beliung datang memporak-perandakan rumah dan pabrik di beberapa kabupaten dan kota di Jawa Barat. Banjir bandang menghempas beberapa wilayah di Sumatera Barat dan Jawa Tengah.

Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang sudah lima tahun tak dilanda banjir, beberapa wilayah yang di masa lalu menjadi 'pelanggan' banjir, kini kembali tenggelam. Tak berselang lama, gempa bumi mengguncang pesisir Jawa Timur.

Rangkaian bencana alam itu, boleh jadi merupakan rangkaian isyarat sangat kecil semesta di bulan Ramadan, agar kaum beriman yang menunaikan ibadah puasa tak hilang kesadaran untuk konsisten dan konsekuen bercermin dan mengenali diri. Bukan sesuatu yang dibiarkan begitu saya berlalu, lantaran kita sering mengalami bencana demikian - sebagai risiko hidup di wilayah 'cincin api.'

Selama ini, sebagai manusia, seringkali kita abai untuk selalu menguatkan hubungan cinta kita dengan semesta dan Allah Maha Pencipta. Banyak ulah kita yang menjadi pemantik alam semesta memberi tanda-tanda penyadaran.

Ada rumpaka Sunda yang menarik disimak, ihwal musabab terjadinya bencana akibat hubungan disharmoni manusia dengan semesta dan Allah. "Gunung-gunung dibarubuh, tatangkalan dituaran, bhuwana marudah motah" (gunung-gunung dirobohkan, pepohonan ditebangi, bumi gelisah) - bad practice mining, deforestasi.

Banjir bandang, puting beliung, gempa, tanah longsor, adalah isyarat semesta untuk mengingatkan manusia berhenti merusak semesta dan mengelola sumberdaya alam dengan sistem tata kelola yang baik. Menjaga keseimbangan antara budidaya dan konservasi alam. Kesadaran ekologis yang akan membawa kemaslahatan secara ekonomis.

Allah Tidak Menghancurkan

Segala bencana kecil tersebut mengingatkan setiap insan yang mau berpikir dan tahu diri, bahwa manusia mempunyai potensi merusak semesta, mengorbankan ekologi untuk kepentingan ekonomi, dan akhirnya merusak ekosistem kehidupan.

Kehancuran semesta bukan disebabkan oleh murka Allah dan semesta. Karena Allah tidak akan menghancurkan suatu kaum (innallaha lã yugayyiru mã biqaumin), sampai kaum tersebut menghancurkan dirinya (hatta yugayyiru mã bi anfusihim). Dalam perspektif yang umum di antara kita dimaknai dengan, "Allah tidak akan mengubah nasib (kondisi) sesuatu kaum, sebelum mereka mengubah keadaannya sendiri. Dan bila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya.. dan tak ada pelindung bagi mereka selain Dia." (QS Ar Ra'd : 11).

Firman Allah ini mewanti-wanti manusia untuk senantiasa sadar, bahwa Allah menciptakan dirinya sempurna sebagai makhluk (ahsani taqwim) dengan kelengkapan instrumental hidup yang dahsyat: nalar, nurani - naluri, rasa, dan dria : ruhaniah dan jasmaniah.  Karenanya, meski manusia juga berpotensi berbuat salah dan kerusakan, Allah mengurangi posisinya dalam semesta sebagai subyek di seluruh aspek dan bidang kehidupan, tanpa kecuali aspek siyasah (baik dalam konteks cara hidup maupun politik praktis).

Politik sebagai cara menata kehidupan, namun seringkali diselewengkan hanya sebagai cara berebut kekuasaan di anatara sesamanya. Bahkan dengan menghalalkan segala cara (bad practice politic) yang dinasihati Machiavelli lewat karyanya, The Prince.  

Terlalu banyak politisi (terutama yang tidak berjiwa sebagai negarawan) tidak mengikuti prinsip best practice politic seperti nasihat pemikir politik dan peradaban (yang juga musisi) Al Farabi dalam al-Madïna al-Fãdilah. Politik dalam konteks tata kelola negara yang beradab dengan prinsip-prinsip etik - moral, karena bernegara merupakan sistem hidup bersama yang harus ditopang oleh kesadaran relasi manusia dengan Allah (hablum minAllah), sesamanya (hablum minan naas), dan semesta (hablum minal alam).

Isyarat bagi Pemimpin

Politik dalam konteks kenegarawanan menempatkan tanggung jawab atas manusia dan semesta sebagai bagian tak terpisah untuk menggapai ridha Allah (baldah thayyibah wa rabbun ghafuur). Negara atau negeri kesejahteraan (welvaartsstaat), berdasar hukum (rechtsstaat), bukan sebagai negara kekuasaan (machtsstaat). Negara keberadaban dalam mengelola ekologi, ekosistem, dan ekonomi, sehingga tata kelola kekuasaan untuk mengelola sumberdaya alam berorientasi pada kesejahteraan semesta (universe prosperity).

Pada negara berkeadaban pemimpin yang memperoleh amanah rakyat mengelola pemerintahan dan negara tidak semena-mena dalam mengelola kebijakan negara atas alam. Terutama karena pemimpinnya paham, mengerti, dan cerdas dalam kesadaran penuh, bahwa setiap bencana alam merupakan reaksi negatif alam atas ulah buruk manusia. Dampaknya adalah bencana sosial dan kemanusiaan yang akan menyengsarakan.

Negara berkeadaban hanya mungkin mewujud bila dipimpin oleh sungguh pemimpin dan bukan petinggi yang ambisius berkuasa. Pemimpin yang memandu dan memberi contoh bagi rakyat yang memberi 'pinjaman kuasa' kepadanya untuk terus menjadi manusia beriman dan bertaqwa. Terutama karena dirinya sadar, bahwa iman dan takwa merupakan modal utama dalam memperoleh ridha Allah dan limpahan berkah dari semesta.

Dalam salah satu firman-Nya, Allah mengisyaratkan, "Bila penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi." (QS al A'raf: 96).

Isyarat alam melalui bencana bagi pemimpin yang beriman dan bertakwa merupakan isyarat bagaimana mengelola negara.|

Baitul Hikmah, 23.03.24

Editor : delanova
 
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 243
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 414
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 261
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 947
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1173
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1436
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1583
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya