Ivan Hadar - Intelektual yang Tak Pernah Lelah

Demokrasi, Wahana Mengelola Konflik

| dilihat 2099

IVAN Hadar adalah pejuang kemanusiaan dan peradaban. Saya meyakini hal itu, sejak beberapa tahun lalu mengikuti perkembangan pemikiran, sikap, dan kearifannya dalam mencermati kehidupan. Lewat IDe (Institute for Democracy Education), Ivan yang arsitek, menyelesaikan master dengan tesis tentang integrasi pekerja migran di Berlin, dan meraih PhD dengan predikat Summa Cum Laude, dengan disertai bertajuk , “Reception of Occidental Values through Traditional Education in Indonesia,”, putera Ternate yang tak henti berjuang itu, jelas posisinya.

Meski pernah bekerja di berbagai lapangan aktivitas, termasuk di lembaga PBB, yang pasti, intelektual yang cenderung menyampaikan pemikirannya dengan jernih dan bening ini, adalah seorang yang tak pernah tergoda menjadi primadona, apalagi hanya sekadar aktor di panggung politik yang riuh. Ivan masuk ke dalam dimensi yang jauh lebih mendasar: menikmati riuh kala sunyi, memahami sunyi di tengah riuh.

Saya berinteraksi dengan Ivan sejak beberapa tahun terakhir. Pertemuan fisik paling mengesankan dengan beliau, adalah sekitar tahun 20041-an dalam acara talkshow Kantin Bu Emen di TVRI, yang dipandu Bang Thamrin. Pada acara talkshow yang dipandu diarahkan Agus Widjojono dan menghadirkan pembicara Bung Ivan, Bung Faisal Basri, Bung Richard Clapport, C Manullang dan saya itu, dipilih topik the nation failure.

Bung Ivan menyajikan pemikiran menarik, antitesa dari pemikiran Jaard Diamond tentang korelasi penurunan kualitas lingkungan, sumberdaya alam, dan kemaruk manusia dengan komersialisme yang tak mampu mengendalikan industri. Lalu, efeknya terhadap relasi dan korelasi, termasuk konflik kemanusiaan. Bung Ivan membuka wawasan tentang ekonomi, politik, dalam keseluruhan landskap kemanusiaan. Pemikiran beliau mengusik seluruh nara sumber untuk menggali lebih dalam melihat peta konflik sosial yang berangkat dari penurunan kualitas lingkungan dan sumberdaya alam.

Ivan melihat konflik manusia dan sosial sebagai realitas. Karena konflik merupakan bagian dari kehidupan manusia, kendati demikian tegas dia menyatakan, setiap manusia harus mencegah konflik yang diekspresikan dengan kekerasan. Demokrasi, menurutnya adalah wahana untuk mengelola konflik.

Salah satu yang menarik perhatian adalah pemikiran Ivan tentang pergeseran format sosial dan kemanusiaan di Indonesia. Bangsa yang dulu dikenal sangat ramah, tiba-tiba berubah menjadi bangsa yang tak mampu mengendalikan kekerasan dalam berkonflik, paling tidak sejak tahun 1965. Orang Indonesia belum mampu memilah perbedaan ideologi dan politik dengan keperluan kultural untuk hidup damai dan bersatu sebagai manusia.  Seolah-olah persoalan ideologi merampas dimensi manusia dan kemanusiaan.

 Talkshow yang dikelola TVRI dengan BUMNWatch itu berakhir tragis. Bang Thamrin, sebagai host, mendadak mengalami serangan jantung, ketika perbincangan sedang memasuki fase ricing moment. Ketika pandangan Ivan didekati dengan pendekatan dan realitas ekonomi oleh Bung Faisal Basri dengan sejumlah indikator pertumbuhan dan dinamika perekonomian nasional, dan C Manullang menarik ke format politik dalam bahasa inteligen, host tiba-tiba terkulai dan sesak nafas. Richard, Faisal, dan Ivan segera melakukan pertolongan pertama. Tapi, Bang Thamrin wafat dalam perjalanan ke RSAL dr. Mintoharjo.

Selama beberapa menit, talkshow terhenti dan diisi oleh public service announcement dan klip musik. Richard dan Ivan mendaulat saya menjadi host pengganti untuk melanjutkan talkshow itu. Ketika siaran langsung itu on air lagi, sekilas saya jelaskan: ‘ada sesuatu di luar empirisma manusia’ yang menyebabkan almarhum Bang Thamrin tak bisa melanjutkan tugas sebagai host.

Talkshow berlanjut. Pemikiran Ivan, Faisal Basri, dan Manullang saya pumpun untuk didekati Richard dengan pendekatan lebih praktis, seputar kebijakan pemerintah untuk mencegah terjadinya nation failure. Richard menyebutkan beberapa hal, terkait dengan kebijakan dasar pengelolaan sumberdaya alam dan pengelolaan konflik yang akan terus menerus timbul bersamanya. Ivan akhirnya memberikan pandangan menarik yang tak akan pernah saya lupa, persoalan kita bukanlah bagaimana harus atau tidak harus mencegah negara gagal atau tidak, karena hal terpenting adalah bagaimana menyiapkan masyarakat yang secara demokratis bisa menerima realitas sosial sebagai bibit konflik. Lantas, mengelola seluruh potensi itu, untuk tidak menjadikan kekerasan sebagai penampang konflik sosial.

Tiga hal akhirnya yang mengemuka dalam talkshow itu. Yakni : mempertegas keadilan sebagai sumbernilai penegakan hukum; mempertegas keadaban dan peradaban sebagai sumbernilai tata kelola bangsa; dan memaknai dimensi hak dan kewajiban kemanusiaan sebagai cara memahami ekuitas dan ekualitas dalam praktik kehidupan. Semua itu, karena hidup manusia, termasuk dalam berbangsa adalah proses pencarian..

Bung Ivan sudah begitu banyak menemukan apa yang dicari dan menyampaikannya kepada khalayak melalui artikel-artikel cerdas, berdas, dan cergas.., sebagai referensi pencarian nilai yang paling hakiki bagi setiap insan.| Bang Sem

Editor : Web Administrator
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 742
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 898
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 853
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 949
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1175
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1439
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1585
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya