Refleksi

Memaknai Kerinduan

| dilihat 2164

Bang Sem

BOARDING lounge KLIA (Kuala Lumpur International Airport) dipeluk cahaya. Mahsura gelisah. Sebentar lagi pesawat akan mengantarkannya ke Kuala Trengganu.

Perempuan manis dengan lesung pipit di pipinya ini sudah sangat lama tak sua dengan keluarga. Terutama dengan ibunya. Sejak tinggal dan menetap di Jakarta, ikut suaminya, telah lebih setahun ia tak pulang kampung.

Ketika petugas bandara mempersilakan penumpang domestik jurusan Kuala Terengganu segera masuk ke pesawat, Mahsura bergegas.

Di dalam kabin, setelah memperoleh kursi sesuai boarding pass, sejenak ia merundukkan kepala. Wajah ibunya menguasai seluruh benak. Juga wajah adik-adiknya. Sekelebat juga melintas wajah ayahnya, yang sudah lebih dua tahun lalu wafat.

Kala pesawat take off, Mahsura memandang jauh ke luar jendela. Seolah menyapu pandang seluruh hamparan daratan dan laut. Sesuatu yang punya makna khas dalam kehidupannya.

Dari hasil kebun selama ini, ia dan saudara-saudaranya memperoleh kesempatan studi hingga ke tingkat universitas. Kebun juga yang menjadi titian berkah ilahi bagi keluarganya.

Bahkan, berkat kebun juga ia berjumpa Usman. Lelaki asal Betawi, yang sukses menjadi manajer di perusahaan yang menjadi mitra bisnis almarhum ayahnya. Semua bagai terangkai dan terpilih menjadi sulaman kangen, hamparan kerinduan yang tak bisa ia deskripsikan dengan kata-kata.

Jantungnya berdebar. Ketika jelang landing, pramugari memberitahu, pesawat segera akan mendarat di kota tujuan. Kota kenangan, tempat Mahsura dilahirkan dan dibesarkan dengan cinta oleh ayah, ibu, bersama saudara-saudaranya.

Pesawat mendarat. Mahsura bergegas keluar bandara. Sukacita membuncah, begitu ia melihat adik-adiknya telah menunggu di seberang pintu keluar. Peluk hangat. Cium kasih. Kegembiraan sukma. Semua menyatu dan menggetarkan batinnya.

Di perjalanan menuju ke rumah, seluruh hasrat ingin berjumpa ibu sedemikian bergelora. Rasanya, ia ingin adiknya yang mengemudikan mobil, memacu laju kendaraan, mempercepat waktu tiba di rumah.

Mahsura tak kuasa menyimpan kerinduan lebih lama. Begitu bertemu ibunya, ia segera mencium tangan dan bersimpuh. Kemudian memeluk ibunya dalam dekapan kasih sayang. Haru. Hangat.

Semua yang jadi penggerak rindu segera diperolehnya begitu sang ibu mengekspresikan pula kerinduannya dengan bahasa penuh cinta dan kelembutan.

Bagi perempuan Melayu, kelembutan adalah bagian dari keelokan yang tak bisa dipisahkan dalam hidup berkeluarga. Inilah budi bahasa, yang terbentuk oleh resam budaya.

Kerinduan seorang anak perempuan pada ibunya segera terasa pada komunikasi yang terjaga, dikuatkan dengan akhlak. Mengekspresi lewat tatakrama. Dalam situasi demikian, tak sadar, kemanjaan menyeruak. Memberi titian bagi teralirinya penghormatan.

Mahsura lahir di tengah keluarga yang taat beragama, dan sangat memandang penting tatakrama dan budi bahasa. Almarhum ayahnya mendidik Mahsura dan adik-adiknya bahwa ibu adalah pusat cinta dan kasih sayang. Apa pun keadaan yang mereka alami, ibu adalah mata air cinta dan kasih sayang yang tak pernah kering. Oase yang membuat seluruh dinamika kehidupan berpacu. Harmonis. Elok.

Kini, ketika berbaring sambil memeluk ibunya--seolah masih bocah yang baru tumbuh--Mahsura mencoba memaknai kerinduan sebagai ruang jeda kehidupan. Selasar hidup yang diperlukan manusia untuk menemukan hakikat dan dimensi insaniahnya. Dan, perempuan, mampu mengekspresikan dengan harmoni kedalaman rasa yang indah.

Boleh jadi, karena perempuan memiliki energi kelembutan dan keikhlasan menjalani hidup sebagai empu, kepada mereka Tuhan pun mengaruniai sejumlah nilai lebih.

Bagi perempuan, kerinduan terhadap keluarga--terhadap ibu, anak, dan anggota keluarga lainnya--merupakan rongga kemanusiaan yang berdimensi kedalaman.

Pangkalnya, ketulusan memberi. Bukan hasrat menerima. Karena itu, perempuan punya cara dan ciri tersendiri dalam memaknai kerinduan. Bagi Mahsura, atau bahkan kebanyakan perempuan, kerinduan mesti bisa dimaknai sebagai simpul penguat hubungan terkarib manusia, pertemuan sukma dengan sukma. Ibu merupakan samudera kemaafan, dan anak adalah bahtera yang selalu siaga menuju arah tujuan.

Perjalanan panjang kehidupan yang membawa manusia dari ketiadaan kembali ke ketiadaan, memungkinkan kerinduan menjadi bagian penting dari pedoman mencapai tujuan. Mahsura memberi makna kerinduan sebagai kemudi bahtera yang tak boleh lencong dan lancung, meski ujian dan cobaan hidup datang dan pergi silih berganti.

Ketika harus meninggalkan ibu dan adik-adiknya di Kuala Terengganu, Mahsura berbisik pada ibunya, ”Mak, Sura akan selalu rindukan Mak.‘

Dan ibunya, dengan mata berkaca-kaca, berbisik lembut, “Mak tak pernah pergi barang sekejap dari sudut ruang hatimu, Mai. Titip sayang dan kasih Mak untuk cucu-cucu Mak. Salam untuk suamimu.”

Mereka berpeluk mesra dan amat hangat. Dan, ketika tangan dilambaikan, kaki dilangkahkan, dan pandangan ditinggalkan di hati ibunya, sesungguhnya Mahsura sedang membawa pulang lebih banyak lagi benih kerinduan. Karena kerinduan adalah sesuatu yang tak pernah meninggalkan kita, meski manusia sering berusaha meninggalkannya sesuka hati. Hmmmhhh‘ |

 

Editor : Web Administrator
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1192
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 527
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1049
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 276
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 744
Momentum Cinta
Selanjutnya