Bret Jem Bret

| dilihat 2203

SUATU pagi di resto salah satu hotel berbintang di salah satu kota di Pulau Jawa. Seorang lelaki dengan batik keren, dilengkapi pin (emblim) tertentu di dada kiri, duduk di sudut. Ia didampingi beberapa orang koleganya. Ada juga yang bersarung dengan kopiah hitam bertengger di kepalanya.

Dia mempersilakan koleganya mengambil makanan yang mereka sukai. Dia sendiri tetap duduk di kursinya. Ketika para koleganya kembali ke kursinya masing-masing, lelaki itu memanggil seorang pelayan.

“Ambilkan saya brét jém brét,” serunya dengan gaya sedikit pongah dan menahan wibawa. Sesaat, para kolega melirik kepadanya. Dia sendiri menyaksikan pelayan yang terlongong beberapa saat. “Di sini, tak ada makanan yang bapak minta,” jawab pelayan.

Sambil membusungkan dada, sehingga pin di dada kirinya nampak menonjol, lelaki itu menatap tajam ke arah mata pelayan.

“Sudah berapa lama bekerja di hotel ini?” tanyanya. “Sudah dua tahun, Pak?” jawab Pelayan.

“Bisa bahasa Enggris (maksudnya: Inggris) ?” tanyanya. “Bisa, Pak,” jawab Pelayan.

“Kalau bisa bahasa Enggris, mustinya kamu tahu Brét Jém Brét yang saya minta. Seperti yang dimakan bulé-bulé, itu tuh,” ujarnya ketus, sambil menunjuk roti yang sedang dinikmati sepasang turis belia dari Eropa, yang bermalam di hotel itu.

“O..., itu challah, Pak. Roti susun dengan selai,” jelas pelayan.

“Ah, jangan diganti-ganti namanya. Pakai bahasa Enggris saja, brét jém brét. Ini ‘kan zaman global,” tangkis lelaki itu cepat.

Pelayan masih berusaha memberitahu, roti susun berselai yang dia maksudkan adalah challah

“Kamu koq ngeyel? Ingat-ingat pelajaran bahasa Enggris-mu. Apa bahasa Enggris-nya roti?” tanya dia.

Bread, pak,” jawab pelayan.

Brét, kan? Kalau selai, apa bahasa Enggris-nya?” tanyanya lagi.

Jam, pak..” jawab pelayan.

Jém, kan? Nah, roti dikasih selai dikasih roti, apa namanya?” tanya dia.

Bread Jam bread, Pak,” jawab sang pelayan.

Brét jém brét, kan?” ujar lelaki itu dengan logat khasnya,  sambil mengekspresikan pikirannya sendiri untuk kewibawaan di hadapan koleganya.

Pada fenomena realitas kehidupan kita, pola komunikasi semacam itu, nyaris kita dapatkan di mana-mana, termasuk dalam talkshow televisi, wawancara radio, dan berita media cetak.

Orang-orang bersimbol, cenderung selalu berkomunikasi dengan cara berfikirnya sendiri, karena menempatkan dirinya sebagai subyek dan orang lain sebagai obyek.

Ketika keliru memahami dan menafsirkan sesuatu, lalu diluruskan kekeliruannya, mereka bertahan dengan jalan pikiran yang hanya dipahaminya sendiri. Selanjutnya, mereka lebih senang menyalahkan orang lain: tak mampu memahami pikirannya, dan tak pernah berusaha introspeksi: membenahi kekeliruan dan penyimpangan jalan pikirannya.

Proses komunikasi dubieus inilah yang kini terjadi di ranah komunikasi politik dan komunikasi sosial. Tragisnya, kebiasaan semacam ini, telah merambah begitu banyak kalangan petinggi (politik dan sosial), yang oleh media massa kadung disebut elite. Dan kita sebagai rakyat, seperti pelayan itu, harus selalu menerima dan memaklumi kebiasaan mereka.|  Bang Sem

Editor : sem haesy
 
Lingkungan
10 Mei 24, 09:58 WIB | Dilihat : 102
Malaysia Tak Pernah Pindahkan Ibu Kota Negara
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 299
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 524
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 511
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
Selanjutnya
Polhukam