Nicke Widyawati di Tengah Arus Transformasi Pertamina

| dilihat 1933

Catatan N. Syamsuddin Ch. Haesy

Nicke Widyawati, mojang Tasikmalaya, kelahiran 25 Desember 1967, itu khas mojang Priangan.

Ketika bertemu, Jum'at (23/11) malam, di hold room - Ball Room Gedung Utama Pertamina, Jakarta beberapa saat sebelum malam pemberian trofi dan hadiah Anugerah Jurnalistik Pertamina (AJP) 2018, terasa unggah-ungguh kesundaannya.

Pesona personanya berbeda dengan Karen Agustiawan, Direktur Utama Pertamina (2009-2014), yang meski mojang Bandung, terasa lebih lugas. Nicke cenderung halus.

Saya menyimak sambutan Nicke Widyawati malam itu, yang tak hanya berbicara ihwal penghargaan Pertamina kepada jurnalis yang sudah berlangsung selama 17 tahun itu.

Jauh lebih mendalam, Nicke bicara ihwal bagaimana berkomunikasi dengan khalayak melalui media dan bagaimana pula mengelola komunikasi itu, termasuk mengkaji feedback khalayak - termasuk pengamat dan berbagai kalangan - terhadap kinerja direksi dan Pertamina secara keseluruhan. (Baca : Menjaga Marwah Jurnalis Via APJ2018

Lulusan Institut Teknologi Bandung - ITB (1991) yang melanjutkan studi magister Hukum Bisnis di Universitas Padjadjaran (UNPAD) - Bandung, itu terlihat piawai dalam mendudukkan komunikasi korporat. Obyektif dan proporsional dalam melihat peran dan posisi media, termasuk profesi jurnalis di dalamnya.

Dengan busana kasual disertai jilbab berwarna soft, Nicke juga bicara tentang bagaimana bleid Pertamina kini dan ke depan. Persisnya, sejak dia dilantik Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno, Rabu (29/8/18).

Saya simak paparannya ihwal aksi korporasi di hulu, menaikkan terus produksi dan menambah kapasitas kilang. Di hilir, Nicke memberi perhatian khas pada penyediaan energi untuk seluruh masyarakat, sekaligus menguatkan akses rakyat terhadap energi. Di sini, saya melihat Nicke di tengah arus transformasi Pertamina.

Nicke yang menjabat Direktur Utama Pertamina berdasarkan SK Menteri BUMN Nomor: SK - 232/MBU/08/2018, tertanggal 29 Agustus 2018, itu sebelumnya adalah Direktur Sumberdaya Manusia, sekaligus Pelaksana Tugas Direktur Logistik - Supply Chain dan Infrastruktur Pertamina.

Nicke juga pernah menjabat Direktur Utama Mega Eltra, Direktur Pengadaan Strategis 1 PLN, Direktur Bisnis PT Rekayasa Industri, dan berbagai pengalaman lain.

Seperti halnya Karen G Agustiawan, di awal masa jabatannya sebagai Direktur Utama Pertamina, beberapa kalangan meragukan kemampuannya, Nicke dianggap belum pantas dan patut menjadi pemimpin di perusahaan energi yang sekaligus menjadi holding perusahaan energi milik negara. Dia dicurigai beroleh amanah besar dan strategis yang terkait dengan pendapatan negara, sekaligus ketahanan energi nasional, itu karena kuatnya political appointy.

Kepada media, usai pelantikannya, Nicke membantah hal itu. Kala itu, dia mengeluarkan pernyataan yang tepat, menurut saya, yakni: sejak masuk ke dalam lingkungan BUMN, dia memang harus mengemban tugas negara. BUMN jelas nomenklaturnya sebagai korporasi milik negara dan bukan korporasi milik pemerintah. Kendati demikian, siapapun pemimpin BUMN, tak bisa tidak kudu mafhum relasi dan korelasinya dengan pemerintah, serta penyelenggara negara lain.

Nicke yang bergabung dengan Pertamina pada November 2017 sebagai direktur sumber daya manusia, itu memikul tugas tak ringan. Utamanya adalah menempatkan Pertamina sebagai korporasi milik negara yang mesti mendorong kemandirian energi nasional. Dia mesti menciptakan keadaan, Pertamina sebagai ujung tombak negara dalam menciptakan kondisi kemandirian energi nasional, itu.

Tak mudah memikul core business Pertamina di hulu dan di hilir, apalagi bermuara pada turunnya impor energi. Setarikan nafas, Pertamina juga harus melakukan inovasi tanpa henti untuk memenuhi perubahan orientasi konsumsi energi masyarakat.

Di sini, Nicke selaku pemimpin utama Pertamina, beserta direksinya, mesti berani mengubah minda (mindset) seluruh stakeholders tentang keberadaan Pertamina, yang tak lagi merupakan perusahaan minyak dan gas bumi, melainkan perusahaan energi.

Dalam konteks itu, upaya utama yang melekat pada jabatannya adalah bagaimana menciptakan nilai korporasi Pertamina, yang tak hanya bermuara pada profit, melainkan juga benefit. Apalagi, Pertamina masih merupakan persero yang mengemban misi public service obligation.

Pada saat bersamaan, agaknya Pertamina belum akan beroleh ruang untuk melakukan initial public offering (IPO), karena paling jauh, pilihannya adalah melakukan kemitraan strategis. Dalam situasi semacam itu, selaku Direktur Utama, yang akan selalu didengar (secara batin) oleh Nicke adalah: inovasi, inovasi, inovasi, dan invensi.

Dalam konteks kekinian, Pertamina menghadapi kondisi dan situasi negara yang sedang mengalami silent crisis. Saat bersamaan, pun harus menghadapi dinamika perekonomian dunia tak henti memercik berbagai fakta brutal di sektor moneter dan fiskal, termasuk nilai tukar Rupiah dengan mata uang asing, pasar keuangan dan pasar modal nasional - internasional yang fluktuatif, serta dinamika harga minyak mentah dunia yang juga dinamis.

Nicke dan para direksinya, tentu mesti waspada setiap saat menyikapi dinamika perubahan ekonomi global, regional, dan nasional. Tak bisa tidak juga, saya bayangkan, Nicke harus menghadapi pilihan-pilihan kritis dan berisiko pada financial engineering yang sangat menguji financial viability.

Karena berbasis akademik hukum bisnis, tentu Nicke harus sangat berhati-hati, termasuk menerapkan prinsip efektif dan efisien (yang dalam filosofi Sunda disebut pageuh keupeul lega awur). Khasnya dalam mengambil keputusan-keputusan korporasi terkait investasi.

Kata kuncinya adalah bersikap konsisten melakukan akselerasi pencapaian visi korporasi dengan pilihan-pilihan transformasi yang tepat (ulah unggut ka linduan, dalam filosofi Sunda). Sekaligus mengendalikan ekspansi - untuk meningkatkan produksi - secara berhati-hati (ulah geudag kaanginan). Termasuk memasukkan energi baru terbarukan dalam keseluruhan platform dan focal concern aksi korporasinya.

Di hilir, tentu -- menyimak pandangannya tentang komunikasi korporasi berdaya pemasaran -- Nicke bersama direktur yang membawahi pemasaran, kudu memilih cara perubahan dari product centric ke costumers centric paradigm.

Nicke yang relatif mungil, itu -- dari pidatonya malam itu -- saya yakini, mampu menghadapi kerumitan lain yang sesungguhnya tak substantif. Yaitu, tekanan politik secara penetratif dan hipodermis. Terutama, karena di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI masih ada komisi yang bermitra kerja langsung dengan BUMN, khasnya Pertamina. Terutama, karena belum ada superholding BUMN, dan masih berlaku institusi Kementerian BUMN.

Nicke tentu perlu memanfaatkan waktu juga untuk mengulang kaji berbagai kebijakan yang ditempuh para pendahulunya, khasnya terkait dengan investasi. Apalagi, terminologi BUMN sebagai entitas bisnis belum sepenuhnya dipahami semua kalangan.

Masih ada Undang Undang Pengelolaan Keuangan Negara, yang masih menghadapkan dualisme pemahaman tentang keuangan negara di satu sisi dan modal negara di dalam BUMN. Termasuk, belum terpahami secara asasi dan luas, konversi peruntukan profit persero antara deviden di satu sisi dan penguatan modal persero di sisi lain.

Dalam situasi yang tak mudah dan penuh risiko yang tak sepenuhnya bisa diatasi dengan manajemen risiko, Nicke tentu kudu menjaga keseimbangan yang diberikan Tuhan sejak ia dilahirkan. Khasnya fungsi kodrati perempuan yang paling asasi sebagai direction setter aksi manjerial. Sekaligus 'pendidik' utama dan pertama (al madrasatul ula') dalam keseluruhan konteks transformasi korporasi Pertamina.

Memandang jilbab yang dikenakannya, terbayang oleh saya, di dalam diri Nicke, mengalir nilai amanah (dapat dipercaya), shiddiq (orientasi kebijakan yang benar), fathanah (cendekia), dan tabligh (komunikatif).

Dia, saya yakini, mau dan mampu menjalankan fungsinya sebagai pemimpin utama Pertamina, yang secara metaforis dalam filosofi Sunda, diurai: mudu ngaraksa sakumaha bapak, bari ngaraksa sakumaha ema (memberi arah dan ber­tanggungjawab se­layaknya seorang bapak, dengan tata kelola selaiknya ibu); Mu­du ngurus kumaha indung (mengurus seluruh lingkup korporasi laiknya ibu mengurus rumahtangga), Mudu mi­nangka kawah kanyaah, ulah minangka kawah kaca'ah, anu bedah di saban marah (selalu menciptakan kondisi yang kondusif dan favourable dan menghidupkan all stakeholders satisfaction). Bermuara pada pertumbuhan dengan profit dan benefit berkelanjutan. |

 

Penulis, anggota Dewan Juri AJP2018 dan pernah sebagai kolomnis majalah Energia - Pertamina

 

Editor : Web Administrator
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 339
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 335
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Polhukam
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 244
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
05 Mar 24, 08:18 WIB | Dilihat : 422
Anak Anak Abah Menghalau AI Generatif
22 Feb 24, 11:50 WIB | Dilihat : 317
Jalan Terjal Perubahan
18 Feb 24, 05:52 WIB | Dilihat : 272
Melayari Dinamika Kebangsaan dan Demokrasi
Selanjutnya