KETIKA gempa di dasar laut terjadi, tsunami berkali-kali menerjang, baik di pantai Selatan Jawa maupun tsunami yang melanda Nangroe Aceh Darussalam dan Nias pada tahun 2004, seolah tak pernah menyadarkan kita untuk mengubah perilaku dengan akhlak yang lebih terhadap alam.
Pun demikian halnya dengan apa yang terjadi di wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat, seolah tak pernah membangunkan kesadaran kita untuk selalu bersikap ramah terhadap alam. Lantas mengelola sumber daya alam dengan sebaik-baiknya.
Padahal, berbagai kearifan lokal, telah mengajarkan kita bagaimana mesti memperlakukan alam dengan cerdas dan santun. Kesantunan memperlakukan alam, menjadi bagian penting dan utama bagi masyarakat Kajang di Bulukumba, dan Baduy di Banten, serta masyarakat adat di berbagai daerah lainnya.
Setiap bencana terjadi, mereka segera melakukan evaluasi dan introspeksi diri. Mencari dan menemukan pangkal sebab terjadinya bencana. Dan umumnya, kesimpulan yang diperoleh selalu saja: penyebab utama bencana alam adalah buruknya akhlak kita terhadap alam. Termasuk ketidak-jujuran kita melakukan eksplorasi dan eksploitasi kelewat batas kewajaran.
Meski dari aspek ilmu pengetahuan, penyebab bencana itu, bisa terjadi karena berlangsung pergeseran komposisi lapisan tanah dan bebatuan. Namun, ketika hendak ditelusuri lebih jauh, lagi-lagi ditemukan, pangkal sebabnya adalah ulah manusia. Antara lain, melakukan proses penambangan secara serampangan.
KONDISI DANAU TOWUTI KINI
Kini, ketika bencana alam yang ditimbulkan oleh buruknya akhlak manusia memperlakukan sumber daya alam, muncul kesadaran baru untuk memberi perhatian ekstra terhadap eko sistem. Pemerintah untuk dan atas nama negara, berusaha memulihkan keadaan lingkungan dan mencegah terjadinya kerusakan lingkungan yang lebih parah.
Salah satu langkah strategis yang telah ditempuh adalah pemulihan lahan melalui gerakan rehabilitasi lahan kritis, yang disinergikan dengan program gerakan nasional rehabilitasi hutan, melalui reboisasi. Termasuk program one man one tree. Setiap orang menanam satu pohon.
Dengan pemulihan lahan jutaan hektar, itu diharapkan kesadaran terhadap pemulihan kondisi hutan tumbuh dan berkembang. Namun, belum nampak kebijakan moratorium yang terpadu, sebagai bagian dari pemulihan hutan.
Meskipun kita menyadari bersama, bahwa kebijakan itu amat mendasar. Pencurian kayu di hutan-hutan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua tetap berlangsung, bahkan dalam bilangan yang besar. Belum lagi penebangan di kawasan hutan industri dengan berbagai taktik dan trik, yang tetap saja merugikan.
Berbagai upaya mengatasi pencemaran dan kerusakan lingkungan, seperti pemeliharaan sungai - sungai juga sudah dan akan terus dilakukan. Antara lain, melalui program pelestarian sungai dan kali bersih, meski penegakan hukum lingkungan terhadap seluruh pihak yang mencemarinya – terutama industri – belum berlangsung merata.
TAMBAK PETANI GARAM DI PANTAI UTARA JAKARTA
Dalam mengatasi hal itu, sinergitas yang menyeluruh dan mengikat seluruh pemangku kepentingan, sangat penting maknanya. Semua pemangku kepentingan, mestinya memahami, kenyataan: pernah bergotong-royong mencemari sungai - sungai. Konsekuensi logisnya, tentu adalah harus bergotong royong lagi membersihkan sungai.
Kuncinya adalah mewujudkan kearifan memperlakukan air. Tidak menghambur-hamburkan, tidak mencemari, dan tidak menyia-siakannya. Kesadaran untuk bertanggung jawab terhadap kualitas air, karena kemanfaatannya yang luar biasa, dapat disimak di kawasan nasional Sorowako.
Di kawasan ini, terpelihara tiga danau alam: Matano, Towuti, dan Mahalona. Dari tiga danau ini, mengalir Sungai Larona, yang menggerakkan pembangkit listrik tenaga air Larona, Balembano, dan Karebbe (yang masih dalam proses pembangunan, meski selalu terhambat dengan beragam peraturan, termasuk peraturan daerah setempat).
Pengelolaan dan pemeliharaan atas ketiga danau, ini tak lagi nampak menerapkan prinsip-prinsip akhlak terhadap lingkungan. Ada inkonsistensi memelihara volume air sesuai dengan kapasitasnya, termasuk menciptakan hujan buatan.
Perubahan revolutif cara berpikir, bersikap dan berperilaku, membangun kesadaran, bahwa berbagai tindakan kita secara orang perorang, kelompok orang, atau kelembagaan telah memberikan kontribusi bagi berlangsungnya pencemaran air secara tanpa henti. Tanpa perubahan radikal dan serentak, saya kuatir, masyarakat akan terus dihadang oleh persoalan pelik.
SAMPAH MENUTUPI ANAK SUNGAI DI ANGKE - JAKARTA BARAT
Beberapa tahun lalu, ketika berpikir keras tentang wilayah pembangunan, salah satu pertimbangan dasarnya adalah daerah aliran sungai. Bagi kita masyarakat Jawa Barat, sungai memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan. Sistem permukiman selalu mengacu kepada sungai.
Pola budaya semacam ini, sebenarnya dapat memandu kita mereformat pola fikir dalam mengatasi masalah air yang berdampak pada kesehatan lingkungan.
Manajemen pengelolaan dan pengendalian air, merupakan kebutuhan yang mendasar, baik bagi masyarakat desa maupun masyarakat kota. Baik untuk memenuhi hajat hidup utama meliputi air bersih, maupun air untuk kepentingan mata kepentingan pertanian, industri dan lainnya. Termasuk pengendalian air limbah di berbagai kawasan industri, yang sudah jelas masalahnya. Yaitu, ketidak sempurnaan dalam layanan pokok sistem pembuangan limbah padat dan cair.
Dalam hal memanfaatkan air hujan, kita pun kurang mampu. Kita belum terbiasa membangun dan mengelola bak serapan air di setiap rumah penduduk. Bahkan, boleh dikata, sangat boros menggunakan air tanah yang dalam banyak membawa dampak buruk. Antara lain, menurunnya permukaan tanah.
Di kota-kota besar pantai utara Jawa dan kota-kota besar di yang terletak di pantai, penggunaan air tanah secara boros secara terusa menerus membuat menurunnya air tanah. Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, misalnya, setiap tahun, rata-rata permukaan tanah turun hingga 2 cm. Kondisi ini, kelak akan diperparah oleh intrusi air laut yang perlahan merangsek ke bawah permukaan daratan yang menjadi kota. |