Catatan Lingkungan Hidup Bang Sem (16)

Kurang Mampu Mengelola Air Hujan

| dilihat 2999

KETIKA gempa di dasar laut terjadi, tsunami ber­kali-kali menerjang, baik di pantai Selatan Jawa maupun tsunami yang melanda Nangroe Aceh Darus­salam dan Nias pada tahun 2004, seolah tak pernah menyadarkan kita untuk mengubah peri­laku dengan akhlak yang lebih terhadap alam.

Pun demikian halnya dengan apa yang terjadi di wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat, seolah tak pernah membangunkan kesadaran kita untuk selalu ber­sikap ramah terhadap alam. Lantas mengelola sumber daya alam dengan sebaik-baiknya.

Padahal, berbagai kearifan lokal, telah mengajar­kan kita bagaimana mesti memperlakukan alam dengan cerdas dan santun. Kesantunan mem­perlakukan alam, menjadi bagian penting dan utama bagi masyarakat Kajang di Bulukumba, dan Baduy di Banten, serta masyarakat adat di berbagai daerah lainnya. 

Setiap bencana terjadi, mereka segera me­lakukan evaluasi dan introspeksi diri. Mencari dan menemukan pangkal sebab terjadinya bencana. Dan umumnya, ke­simpulan yang diperoleh selalu saja: penyebab utama bencana alam adalah buruk­nya akhlak kita terhadap alam. Termasuk ketidak-jujuran kita melakukan eks­plorasi dan eksploitasi kelewat batas kewajaran.

Meski dari aspek ilmu pengetahuan, penye­bab bencana itu, bisa terjadi karena berlangsung pergeseran komposisi lapisan tanah dan bebatuan. Namun, ketika hendak ditelusuri lebih jauh, lagi-lagi ditemukan, pangkal sebabnya adalah ulah manusia. Antara lain, melakukan proses penam­bangan secara serampangan.

KONDISI DANAU TOWUTI KINI

Kini, ketika bencana alam yang ditimbulkan oleh buruknya akhlak manusia memperlakukan sumber daya alam, muncul kesadaran baru untuk memberi perhatian ekstra terhadap eko sistem. Pemerintah untuk dan atas nama negara, berusaha  memulih­kan keadaan lingkung­an dan mencegah terjadinya ke­rusakan lingkungan yang lebih parah.

Salah satu langkah strategis yang telah ditempuh adalah pemulihan lahan melalui gerakan reha­bili­tasi lahan kritis, yang disinergikan dengan program gerakan nasional re­habilitasi hutan, melalui re­boisasi. Termasuk program one man one tree.  Setiap orang menanam satu pohon.

Dengan pemulihan lahan jutaan hektar, itu di­harapkan kesadaran terhadap pemulihan kondisi hutan tumbuh dan berkembang. Namun, belum nampak ke­bijakan moratorium yang terpadu, se­bagai bagian dari pemulihan hutan.

Meskipun kita menyadari bersama, bahwa kebijakan itu amat mendasar. Pencurian kayu di hutan-hutan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua tetap berlangsung, bahkan dalam bilangan yang besar. Belum lagi penebangan di kawasan hutan industri dengan berbagai taktik dan trik, yang tetap saja merugi­kan.

Berbagai upaya mengatasi pencemaran dan kerusakan lingkungan, seperti pemeliharaan sungai - sungai juga sudah dan akan terus dilakukan. Antara lain, melalui program pelestarian sungai dan kali bersih, meski pe­negakan hukum lingkung­an terhadap seluruh pihak yang mencemarinya – terutama industri – belum berlangsung merata.

TAMBAK PETANI GARAM DI PANTAI UTARA JAKARTA

Dalam mengatasi hal itu, sinergitas yang me­nyeluruh dan mengikat seluruh pemangku ke­pentingan, sangat penting maknanya. Semua pe­mangku kepenting­an, mestinya memahami, ke­nyataan: pernah bergotong-royong mencemari sungai - sungai. Kon­sekuensi logisnya, tentu adalah harus bergotong royong lagi membersih­kan sungai.

Kuncinya adalah mewujudkan kearifan memperlakukan air. Tidak menghambur-hamburkan, tidak men­cemari, dan tidak menyia-siakannya. Kesadaran untuk bertanggung jawab terhadap kualitas air, karena kemanfaatannya yang luar biasa, dapat di­simak di kawasan nasional Sorowako. 

Di kawasan ini, terpelihara tiga danau alam: Matano, Towuti, dan Mahalona. Dari tiga danau ini, mengalir Sungai Larona, yang menggerakkan pembangkit listrik tenaga air Larona, Balembano, dan Karebbe (yang masih dalam proses pembangunan, meski selalu terhambat dengan beragam peraturan, termasuk peraturan daerah setempat).

Pengelolaan dan pemeliharaan atas ketiga danau, ini tak lagi nampak menerapkan prinsip-prinsip akhlak terhadap lingkungan. Ada inkonsistensi memelihara volume air sesuai dengan kapasitasnya, termasuk mencipta­kan hujan buatan.

Perubahan revolutif cara berpikir, bersikap dan ber­perilaku, membangun kesadaran, bahwa berbagai tindakan kita secara orang perorang, ke­lompok orang, atau ke­lembagaan telah memberi­kan kontribusi bagi berlangsung­nya pen­cemaran air secara tanpa henti. Tanpa perubahan radikal dan serentak, saya kuatir, masyarakat akan terus di­hadang oleh persoalan pelik.

SAMPAH MENUTUPI ANAK SUNGAI DI ANGKE - JAKARTA BARAT

Beberapa tahun lalu, ketika berpikir keras tentang wilayah pembangunan, salah satu per­timbangan dasarnya adalah daerah aliran sungai. Bagi kita masyarakat Jawa Barat, sungai memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan. Sistem per­mukiman selalu mengacu kepada sungai.

Pola budaya semacam ini, sebenarnya dapat memandu kita mereformat pola fikir dalam mengatasi masalah air yang berdampak pada kesehatan lingkungan.

Manajemen pengelolaan dan pengendalian air, merupakan kebutuhan yang mendasar, baik bagi masyarakat desa maupun masyarakat kota. Baik untuk memenuhi hajat hidup utama meliputi air bersih, maupun air untuk kepentingan mata kepentingan pertanian, industri dan lainnya. Ter­masuk pengendalian air limbah di berbagai kawas­an industri, yang sudah jelas masalahnya. Yaitu, ketidak sempurnaan dalam layanan pokok sistem pembuangan limbah padat dan cair.

Dalam hal memanfaatkan  air hujan, kita pun kurang mampu. Kita belum ter­biasa membangun dan mengelola bak serapan air di setiap rumah penduduk. Bahkan, boleh dikata, sangat boros menggunakan air tanah yang dalam banyak membawa dampak buruk. Antara lain, me­nurunnya permukaan tanah.

Di kota-kota besar pantai utara Jawa dan kota-kota besar di yang ter­letak di pantai, penggunaan air tanah secara boros secara terusa menerus membuat menurun­nya air tanah. Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, misalnya, setiap tahun, rata-rata permukaan tanah turun hingga 2 cm. Kondisi ini, kelak akan diper­parah oleh intrusi air laut yang perlahan merangsek ke bawah permukaan daratan yang menjadi kota. |

Editor : sem haesy | Sumber : CAWANDATU N. SYAMSUDDIN CH. HAESY (BANG SEM)
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 339
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 335
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya