Adab Betawi

SONGONG

| dilihat 2449

Bang Sèm

Sebagai anak Betawi sejak lahir dan hidup dalam budaya Melayu Betawi yang kental sejak masih bocah, salah satu pantangan yang wajib selalu dihindari adalah bertindak songong. Yakni, melakukan sesuatu dengan mengabaikan etika dan adab.

Pelajaran pertama yang diberikan kakek, nenek, ayah, ibu, ustadz, ustadzah, dan guru di tingkat tadika puri. Tak hanya etika dan adab kepada manusia, bahkan kepada hewan dan pepohonan.

Tak pernah lepas dari ingatan, nasihat nenek saya, Nyai Nun.

"Orang kalo songong berenti jadi ahsanit taqwim, berubah jadi hayawan an nathiq."  Maksudnya berhenti menjadi insan yang dicipta Tuhan sebagai makhluk sempurna yang diberikan instrumen pengendalian diri. Mulai dari nalar, naluri, rasa, dan dria. Lantas hanya menjadi hewan yang berakal.

Dalam konteks pendidikan etika dan adab, itu anak-anak Betawi selepas sekolah umum, masih harus masuk madrasah pada tengah hari, lalu menderas al Qur'an antara waktu selepas Maghrib sampai Isya.' Para ibu sendiri yang memandu.

Kegiatan menderas al Qur'an juga dilakukan di langgar -langgar (musalla) dipandu para ustadz.

Pada hari-hari tertentu akan bertemu dengan mualim -- orang bijak dan berilmu hikmah -- yang selalu membuka mata hati dan kesadaran korelasi ayat-ayat al Qur'an yang dibaca dengan realitas kehidupan sosial sehari-hari.

Pada saat itulah, mualim mengajarkan tentang mahfudzat - kalimat-kalimat hikmah berisi etika dan adab, termasuk bagaimana memanfaatkan waktu, mengenali diri sebagai manusia, memperlakukan makluk Tuhan lain -- flora dan fauna --, kebersihan lingkungan, hubungan dan pola komunikasi antar personal, sampai mengamalkan ilmu pengetahuan dan melakukan perubahan sosial -- termasuk perubahan nasib dan mengembangkan potensi diri.

LINGKARAN ULAR

Songong harus dihindari dan dielakkan, karena merupakan sikap dan perbuatan yang dapat merusak tatanan sosial, mulai dari lingkungan sosial yang kecil di lingkup 'lingkaran ular' alias pertetanggaan, sampai 'lingkaran pasar' alias lingkungan sosial lebih luas tempat interaksi dan komunikasi sosial dengan beragam manusia berlangsung.

Songong merontokkan kesadaran manusia tentang tata hidup yang berbudaya.

Berbagai sikap dan tindakan yang nampak sepèlè, tapi termasuk songong, antara lain: Melintas di hadapan orang tua yang sedang berbincang, melontarkan celetukan yang bisa menimbulkan multi tafsir -- mengaburkan batas konotatif dan denotatif --; Makan dengan mengeluarkan bunyi alias 'nyèplak;' Mengabaikan kata ganti orang dan menggunakan kosa kata yang menimbulkan impresi buruk (sombong, pongah, jumawa, riya,' takabur dan sejenisnya); Bicara dengan mendongak dan mengabaikan perasaan lawan bicara dengan perilaku tambuh laku (sengak); Mencuri-curi dengar ketika orang lain bicara secara sengaja; Memotong pembicaraan orang sebelum esensinya tersampaikan; Menampakkan mimik rasa kesal dengan tatapan mata tajam kepada orang tua yang sedang menegur dan menasihat perbuatan keliru; Tidak menyahut ketika dipanggil orang tua; Melakukan aktivitas lain ketika orang bicara; Mengambil kudapan atau makan tanpa isyarat tuan rumah; Pipis sembarangan di bawah pohon atau taman bunga, dan lain-lain.

Songong yang lebih besar, antara lain: Masuk pekarangan tetangga tanpa memberi isyarat tertentu; Bertahan di depan pintu rumah tetangga sesudah tiga kali memberi salam dan mengetuk pintu tapi tak terjawab; Nyènggèt (mengambil dengan bilah bambu) buah di pohon tetangga tanpa meminta lebih dulu; Keluar rumah tanpa baju atau kaus singlet (meski di halaman sendiri); Mengerdipkan mata pada gadis yang berpapasan; Melakukan tindakan yang melukai orang lain, dan lainnya.

Memungut sampah (apalagi sengaja menaburkannya) di laman (pekarangan) tetangga; Memburu binatang piaraan sendiri yang lari ke halaman tetangga; Nabun (membakar sampah) di sudut laman yang berbatasan dengan laman tetangga, adalah perbuatan songong yang bisa merusak harmoni pertetanggaan. Apalagi mencampuri semua hal yang menjadi urusan rumah tangga tetangga. Hatta, kita merasa memiliki posisi sosial lebih tinggi dari tetangga.


MEMANTIK FRIKSI

Ibu saya selalu mengingatkan soal beragam laku dan aksi yang bisa termasuk dalam kategori songong, ketika pada musim liburan hendak menginap di rumah kakek, rumah keluarga ayah atau ibu, terutama yang tinggal di daerah lain.

"Ingat.. jangan songong.. jangan malu-maluin..," pesan ibu, biasanya.

Saya pernah dihukum ibu tidak boleh ikut liburan keluarga di luar kota beberapa lama. Pasalnya, karena dianggap songong. Karena iseng menekan tombol sirene tanda bahaya, sehingga datang polisi ke villa di Ciloto; dan kedapatan pipis di taman bunga sudut laman. Tante dan kakak tertua saya (perempuan), ketika pulang melaporkan kepada ibu kelakuan songong itu.

Karena songong merupakan sesuatu perbuatan yang dapat memantik tindakan mempermalukan, mengabaikan orang lain, menyinggung perasaan orang lain, melecehkan kerja orang lain, menimbulkan friksi, distorsi komunikasi, yang bila dibiarkan dapat menimbulkan konflik dalam interaksi sosial maka perbuatan itu dalam budaya Betawi, termasuk dalam kategori pantangan.

Dalam budaya lokal dari daerah lain, pantang larang ihwal perilaku semacam ini juga kaya, disebut pamali, pomali, dan beragam istilah lain.

Siapapun kita, dalam kapasitas dan posisi apapun, mesti paham sepaham-pahamnya ihwal pantang larang semacam ini, supaya tidak termasuk dalam kategori songong. Apalagi petinggi pemerintahan.

rebus rebus hai rebuslah kentang, 

jangan makan sambil berdiri

berbuat songong kita berpantang, 

berpegang adab 'tuk tahu diri  |

 

Editor : Web Administrator
 
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 526
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1048
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 270
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 742
Momentum Cinta
Selanjutnya
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 231
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 330
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya