Catatan N. Syamsuddin Ch. Haesy

Sastra Bagian dari Adab

| dilihat 2212

PEPATAH, petatah petitih, peribahasa, pantun, serat, rumpaka, dan beragam jenisnya dari berbagai belahan bumi, bagi saya adalah bagian tak terpisahkan dari Sastra.

Seperti apapun bentuk dan formatnya, serta bagaimanapun cara dan gaya ungkap manusia mengekspresikannya.

Dalam banyak hal, semua itu menjadi medium untuk memahami sisi praktis filsafat, khasnya filsafat sosial. Sesuatu, yang boleh jadi, kini dipertanyakan banyak kalangan, fungsi keberadaannya.

Sastra tak hanya berinduk pada aksara, kata, dan pesona struktur bunyi dan iramanya. Sastra, bagi saya, berinduk dari filsafat.

Pada masanya, Sastra merupakan bagian tak terpisahkan dari kearifan yang harus dipancarkan dari pusat kekuasaan. Media bagi raja mengekspresikan dimensi kedalaman batiniahnya.

Sastra dalam bentuknya sebagaimana disebut di awal artikel ini, memainkan fungsi kontrol, meski di masa lalu, sering dipelintir sebagai media untuk menjustifikasi fikiran, kebijakan, dan aksi penyelenggaraan kekuasaan. Pada jaman dinasti Islam, lahir syair-syair balaghi yang menafikan kekuasaan manusia. Dan kontekstual dengan ungkapan cinta rabbani.

Sastra adalah ilmu membaca makna di balik simbol aksara. Meski, dalam pandangan Ibnu Khaldun, tidak meneliti afirmasi atau negasi atas fenomena, melainkan upaya memperoleh buah perenungan, ekspresi keindahan (yang memadukan artistika, estetika, dan etika dalam satu kesatuan) seutuhnya. Seperti: mengungkap keindahan puisi, sajak, pantun, peribahasa, prosa, atas seluruh susunan ekspresi nurani manusia.

Karya Sastra bisa merupakan ekspresi, impresi, refleksi, sholiloqui, atau bahkan tawaran pemahaman atas seluruh pengalaman hidup manusia. Ilmu sastra, menciptakan realitas kedua dari realitas pertama kondisi obyektif kehidupan insani sehari-hari. Karenanya, karib dengan simbol-simbol yang mengandung makna lebih jauh dan lebih dalam.

Sastra dipahami sebagai bagian dari adab dan hadlarah (kebudayaan). Metode untuk menyerap kecerdikan, kecerdasan, dan kearifan dari berbagai ilmu bahasa dan syar’iyah.

Pada perkembangannya, sastra berkembang menjadi ilmu tentang lagu (ghina’), karena pada dasarnya, lagu menurut Khaldun, adalah derivat dari syair. Lagu-lah yang memberi makna atas syair.

\Dalam bukunya bertajuk al Aghani, Qadli Abu al Faraj al-Ishfahani, terkompilasi beragam syair yang mengekspresikan realitas kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya, dan sejarah masyarakatnya.

Ibnu Khaldun menguraikan dalam Muqaddimah, bahwa para inteligensia, cendekiawan, sering merasa cepat memahami sesuatu dalam menemukan konsep dan analogi. Dengan Sastra, mereka tak hanya menguatkan intelligibilia-nya belaka, melainkan menguatkannya dengan sensibilia.

Kedua hal itu, menjadikan ilmu yang mereka pelajari, berfungsi mencerahkan masyarakatnya. Bermanfaat secara praktis dan pragmatis, selain bermanfaat secara filosofis.

Lewat lagu, syair-syair kritis -- yang juga sering berubah bentuk menjadi pepatah -- menemukan tempatnya yang strategis. Seperti terungkap dalam pepatah untuk para politisi, seperti ini: “Jangan terlalu jauh ke tengah kalau berenang. Karena keselamatan ada di pantai

Pepatah ini mengkritisi para politisi, agar mereka memberikan perhatian yang besar terhadap realitas persoalan masyarakat. Menguatkan sensibilia-nya, sehingga mempunyai pandangan yang sehat terhadap persoalan politik. Sekaligus mempunyai sikap tepat dalam berkomunikasi dengan sesamanya. Karena itu, mereka bisa terhindar dari bahaya bagi dirinya dan masyarakatnya.

Simbolisme realitas kehidupan manusia, tak terkecuali politik yang keras, menjadi sedemikian halus dalam maknanya, ketika dihadirkan dalam bentuk Sastra. Misalnya, apa yang terjadi di awal pemerintahan Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib, yang dirongrong al Mughirah, yang meminta Amiril Mukminin memecat Zubair dan Talhah dari kedudukan-kedudukan mereka.

Amiril Mukminin menolak usulan itu, sehingga al Mughirah masygul hatinya. Menyikapi kondisi itu, Amiril Mukminin, mengungkapkannya dalam bahasa Sastra yang sangat indah: “Kita membangun dunia, dengan mengoyak moyak agama. Tak agama kita bersisa. Tak juga bangunan kita”.

Pernyataan nilai yang sastrawi ini, mengawali langkah beliau melakukan perubahan asasi dalam sistem pemerintahan dan penyelenggaraan negara dalam Islam, dari pemerintahan menjadi kedaulatan. Kondisi ini, dalam catatan Ibnu Khaldun, diobrak-abrik oleh Muawiyah, Marwan, Abdul Malik, dan para khalifah Bani Abbas, lantaran mereka ‘berjarak’ dengan sastra.

Karenanya, tak mafhum memaknakan simbol yang tersimpan dalam sastra. Sampai akhirnya, Harun al Rasyid merekrut Abu Nawas, sebagai staf khusus di masa pemerintahannya. Staf yang bertugas mengkritisi seluruh pikiran, kebijakan, dan tindakan khalifah yang bercita-cita menjadi penegak keadilan itu. ||

Editor : Web Administrator
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 432
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1503
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1322
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Polhukam
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 244
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
05 Mar 24, 08:18 WIB | Dilihat : 422
Anak Anak Abah Menghalau AI Generatif
22 Feb 24, 11:50 WIB | Dilihat : 317
Jalan Terjal Perubahan
18 Feb 24, 05:52 WIB | Dilihat : 272
Melayari Dinamika Kebangsaan dan Demokrasi
Selanjutnya