Esensi Internalisasi Nilai Budaya

| dilihat 3411

AKARPADINEWS.COM | EKSPRESI kekhawatiran pernah diungkapkan Mochtar Lubis terkait sikap dan perilaku manusia Indonesia yang kontradiktif dengan nilai, moral, dan budaya bangsa. Dia mendeskripsikan perilaku dan sikap sebagian manusia Indonesia berciri munafik, tidak bertanggungjawab atas perbuatannya, bersikap dan berperilaku feodal, percaya takhyul, artistik atau berbakat seni, lemah watak dan karakternya.

Sosok yang dikenal sebagai wartawan, sastrawan, dan budayawan itu juga menilai manusia Indonesia saat ini tidak hemat, suka berpakaian bagus, memakai perhiasan, gemar berpesta, berpenampilan serba mewah dan memakai barang buatan luar negeri dan sebagainya (Manusia Indonesia, Mochtar Lubis, 2001).

Meski sterotif manusia Indonesia yang disampaikan Mochtar Lubis itu tidak mengarahkan ke semua masyarakat Indonesia, namun itulah realitasnya. Sikap dan perilaku manusia Indonesia saat ini, makin jauh dari kualitas diri. Berbeda dengan sikap dan perilaku para leluhur dulu. 

Sikap dan perilaku orang tua dulu, begitu konsisten mengacu pada nilai, norma, dan berpegang teguh pada moral dan agama, yang menjadi tatanan kehidupan guna menciptakan harmoni sosial. Konsistensi itu yang kemudian membentuk kualitas diri mereka dalam berkarya.  

Dalam menciptakan produk budaya misalnya. Mereka tidak sekadar menciptakan produk budaya yang elok dipandang mata, menghibur, dan menciptakan ketenangan jiwa. Namun, karya monumental yang dikreasikan juga mengandung dimensi nilai, filosofi, etika, maupun religis.

Lihatlah kemegahan Candi Borobudur atau candi-candi yang dijumpai menyebar di sekitar kawasan nusantara ini. Candi-candi itu kokoh berdiri hingga kini, dengan desain arsitektur yang sangat estetis, kokoh, dan mengandung unsur religis dan filosofis. Karya mereka juga nilai-nilai ideal tentang etos kerja, semangat, kegotongroyongan, ketelitian, keakuratan, keindahan, kejujuran, keseriusan, loyalitas, dan sebagainya. 

Mereka juga begitu apik membuat kain Songket, Ulos, Batik, Tapis dan sebagainya. Lihat pula betapa luar biasanya karya ukir dan pahat Suku Asmat, Dayak dan Bali. Corak tenunan karya orang tua dulu begitu artistik, dengan motif indah yang dibuat oleh tangan, tanpa menggunakan mesin. Dari karya-karya itu, para leluhur mengajarkan akan pentingnya sebuah proses, yang dimulai dari awal, ditekuni dengan serius, hingga kemudian menghasilkan karya monumental yang orisinil.

Nenek moyang bangsa ini juga menorehkan sejarah sebagai bangsa petarung. Lihat saja. Perahu Phinisi, karya suku Bugis yang sejak abad ke 14 Masehi, sudah menjelajahi dunia, berlayar sampai ke Madagaskar Afrika. Sawerigading, putra mahkota Kerajaan Luwu menjadi nahkoda perahu itu. 

Sejarah yang dicatat Sawerigading tak kalah cemerlang dibandingkan sejarah yang ditorehkan Vasco da Gama yang baru memulai penjelajahan pertamanya pada tahun 1497 dalam upaya mencari rempah-rempah, dan menemukan benua-benua baru di timur. Kehebatan nenek moyang dari suku Bugis itu menunjukan jika mereka memiliki jiwa petarung, pantang mundur menghadapi dahsyatnya gelombang laut. Lihat pula karya-karya seni para leluhur lainnya.

Masih banyak lagi karya warisan para leluhur yang amat luhur tersebar di penjuru negeri ini. Namun, mengapa nilai-nilai luhur yang diwarisi para leluhur itu seakan tenggalam ditelan jaman? Akibatnya, beragam karya yang diciptakan generasi saat ini, di bawah kualitas karya dari para leluhur.

Lihat saja karya-karya generasi saat ini. Tak sedikit proyek pembangunan fisik yang dibiayai dari uang negara, fondasinya keropos, kayunya dimakan rayap, lalu ambruk. Kekuataan fisiknya jauh lebih lemah dibandingkan bangunan-bangunan tempo dulu lantaran digerogoti korupsi.

Generasi bangsa ini pun seakan tak memiliki jiwa petarung. Hal itu bisa dilihat dari tingkat Human Development Index (HDI) yang sangat memprihatinkan. Di tahun 2012, HDI Indonesia menempati peringkat 121 dari 187 negara yang dikomparasikan oleh lembaga United Nations Development Programme (UNDP).

Di tingkat ASEAN saja, Indonesia bertengger di posisi keenam. Indonesia berada di bawah Singapore (18), Brunei Darussalam (30), Malaysia (64), Thailand (103), dan Philipina (114). Sedangkan di bawah Indonesia terdapat Vietnam (127) dan Myanmar (149) di tempat terakhir.

Kemunduran itu salah satunya akibat implikasi pengabaian pembangunan yang berbasis nilai. Orientasi pembangunan selama ini masih menancapkan paradigma developmentalism yang berorientasi pada pertumbuhan (growth). Mashour Fakih (2005) menilai, developmentalism tak hanya melanggengkan patalogi sosial, namun telah mengantarkan sebagian besar negara Dunia Ketiga menuju kehancuran peradaban. Fukuyama (2005) berpendapat, modernitas telah menguras modal sosial yang ditandai menyempitnya radius kepercayaan, kejahatan merajalela, ikatan keluarga makin longgar dan munculnya kerisauan sosial.

Sementara Gidden (2004) menilai, modernitas adalah proyek fundamentalis barat, yang melakukan penghancuran budaya lain. Padahal, hampir sebagian besar negara diwarisi peradaban yang dalam pandangan psikoanalis Sigmund Freud merupakan proses historis umat manusia. Pengabaian pembangunan nilai itu salah satunya terlihat dari lemahnya internalisasi nilai-nilai budaya yang diwarisi para leluhur. Akibatnya, kreasi budaya yang disuguhkan generasi saat ini, lebih pada orientasi komersil, tidak mempertimbangkan dimensi nilai-nilai ideal--yang tidak sekadar diukur dari aspek fisik semata.

Menurut Koentjaraningrat (1979), internalisasi adalah proses panjang, sejak individu dilahirkan, sampai ia hampir meninggal dunia, di mana ia belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu, serta emosi yang diperlukannya sepanjang hidupnya. Internalisasi nilai itu dilakukan pranata sosial. Internalisasi nilai sebenarnya telah dilakukan. Di era Orde Baru, pemerintah getol menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila lewat Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).

Namun, terbukti gagal karena internalisasi ditungangi kepentingan politis. Unsur-unsur kritis dan ikhtiar kebenaran yang disuarakan masyarakat ditumpas habis. Rasionalitas masyarakat melemah akibat tindakan represi. Cara-cara internalisasi yang salah itu yang pada akhirnya menyebabkan matinya nalar kritis dan kreatifitas masyarakat karena dipasung cara-cara otoriter.

Dan, wajar pula jika realitas menunjukan, nilai-nilai ideal seperti tercantum dalam Pancasila dan UUD 1945 hanya mengawang-awang di atas langit, tidak membumi dalam perilaku sebagian masyarakat Indonesia. Pasalnya, aktor-aktor di dalam pranata sosial yang bertanggungjawab melakukan fungsi internalisasi nilai justru inkonsistensi dalam mengaktualisasikan nilai-nilai ideal seperti tercantum dalam Pancasila dan konstitusi. Sebagian dari mereka justru mereduksinya, seperti melakukan korupsi, menerima suap, melakukan tindakan amoral, dan sebagainya.

Padahal, Pancasila dan UUD 1945 yang diwarisi para pendiri bangsa mengandung nilai-nilai ideal. Pancasila menjunjung tinggi keagungan Tuhan dan rasa kemanusiaan yang adil beradab, mengedepankan persatuan dan kesatuan, musyawarah mufakat serta keadilan sosial.

Realitasnya, meski kita mengakui Tuhan dan menghormati kemanusiaan, namun masih sering kita menyaksikan kekerasan yang bernuasa perbedaan agama. Konstruksi pluralisme sering kali diterpa hantaman primordialisme dan fundamentalisme. Dengan kata lain, cita-cita yang terkandung di Pancasila menghadapi persoalan antara das sollen dan das sein—antara yang diidealkan, berbeda dengan kenyataan di lapangan.

Realitas paradoks itu menuntut bangsa ini mengkonstruksikan kembali identitasnya sebagai bangsa yang berbudaya. Dalam konteks ini, Paulus Wirutomo dalam pidatonya di acara Dies Natalis FISIP Universitas Indonesia (2010),  menekankan pentingnya pembangunan berbasis nilai (value based). Nilai merupakan produk kebudayaan yang diciptakan masyarakat (socially contructed). Lewat sebuah proses sosial, kebudayaan itu kemudian menjadi kekuatan yang mengatur, bahkan memaksa manusia untuk bersikap, berperilaku, dan bertindak sesuai pola-pola yang disampaikan masyarakat.

Kebudayaan itu bukan hanya merupakan kekuatan dari luar diri manusia, tetapi bisa tertanam dalam kepribadian individu. Dengan demikian, kebudayaan merupakan pembentukan pola sikap dan perilaku manusia dari luar dan dari dalam. Nilai adalah hal esensi dari kebudayaan. Nilai merupakan suatu konsepsi tentang mana yang benar dan mana yang salah (moral), mana yang baik dan mana yang buruk (etika), dan antara yang indah dengan yang jelek (estetika).

Pembangunan berbasis nilai budaya merupakan hal penting, yang sangat berpengaruh terhadap kemajuan sebuah bangsa. Contoh, di tahun 1960-an, Ghana dan Korea Selatan merupakan negara yang ekonominya sama-sama terpuruk. Namun, setelah 30 tahun kemudian, Korea Selatan jauh lebih makmur daripada Ghana. Korea Selatan tumbuh menjadi negara industri terkemuka di dunia. Tak sedikit perusahaan-perusahaan multinasional asal Korea Selatan yang memproduksi barang-barang elektronik, mobil, dan sebagainya.

Menurut Samuel P Huntington, ilmuan sosial terkemuka budaya memainkan peran besar memajukan Korea Selatan. Dia menjelaskan, masyarakat Korea Selatan umumnya menjalankan hidup hemat, kerja keras, mengutamakan pendidikan, organisasi, dan disiplin. Sementara masyarakat  Ghana tidak memiliki perangkat nilai budaya seperti Korea Selatan sehingga terjebak dalam pusaran kemiskinan

Bagaimana dengan Indonesia? Mengapa Korea Selatan yang merdekanya sama-sama di bulan Agustus 1945 dan sama-sama dijajah Jepang, lebih maju daripada Indonesia? Apakah nilai budaya Indonesia jauh tertinggal dibandingkan Korea Selatan? Tidak. Indonesia diwarisi nilai-nilai yang dapat menopang kemajuannya. Namun, internalisasi nilai itu tidak berjalan dengan baik sehingga masyarakat Indonesia seakan berjalan tanpa arah yang jelas? Internalisasi nilai lebih bermotif politis. 

Internalisasi nilai menjadi salah satu cara menghadapi arus globalisasi yang begitu intensif melakukan penetrasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Jika tidak, penghuni negara ini akan makin telanjang lantaran identitasnya tergerus oleh nilai-nilai dari luar. Simak saja, gaya hidup ala kebarat-baratan (westrenisasi) makin diganderungi generasi muda saat ini. Mereka seakan kehilangan identitas dan akar budayanya sebagai generasi bangsa ini. Mereka lebih suka enjoy clubbing sebagai salah satu budaya hedonis, daripada diskusi tentang nasionalisme, atau mengembangkan seni dan tradisi warisan leluhur.

Fungsi-fungsi pranata sosial tidak mampu membendung gencarnya internalisasi modernitas yang mereduksi identitas budaya. Nilai-nilai global yang begitu agresif ditransformasikan media global yang dikendalikan secara luas dan dijalankan sesuai kepentingan kapitalis transnasional, begitu luar biasa melakukan penetrasi dalam aktivitas kehidupan masyarakat. Tujuannya menggiring masyarakat dunia pada prespektif tunggal, yang secara budaya dianggap menghancurkan peradaban manusia.

Karenanya, internalisasi nilai merupakan bagian penting yang harus menyertai perjalanan proses pembangunan bangsa ini. Eksistensi nilai yang diwarisi leluhur harus dihidupkan guna mengembalikan identitas Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berbudaya.

Dalam konteksi ini, menjadi hal penting jika perdebatan mengenai pembahasan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebudayaan tidak sekadar menekankan pada aspek institusionalisasi, di mana menekankan pentingnya peran pemerintah melakukan perencanaan, penyelenggaraan, dan pengendalian maupun pengelolaan kebudayaan. Tidak juga hanya fokus pada fasilitasi penyelenggaraan kegiatan kebudayaan saja. Namun, yang lebih esensial adalah mentransformasikan nilai-nilai budaya sehingga dapat teraktualisasi dalam sikap dan perilaku masyarakat Indonesia.

Transformasi nilai tersebut tentu berdasarkan karakteristik budaya masyarakat, menghargai keanekaragaman budaya, dilakukan berkelanjutan, dan melibat pranata sosial seperti pemerintah, lembaga pendidikan, organisasi kemasyarakat, keluarga, dan stakeholders lainnya.

Secara normatif, draf RUU Kebudayaan yang diinisiasi DPR lebih menekankan pentingnya peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus tentang kebudayaan untuk menjadi landasan hukum dan pedoman bagi pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan kebudayaan.

Produk legislasi itu kelak menjadi acuan untuk mengatur mengenai perencanaan, penyelenggaraan, dan pengendalian kebudayaan. Bergulirnya draf RUU Kebudayaan pada akhirnya disambut polemik. Sejumlah budayawan menangkap kesan negara berupaya mengatur-atur aktivitas kebudayaan masyarakat. Belum lagi menyusupnya perihal kretek tradisional sebagai warisan budaya. Dewan Kebudayaan Jawa Barat (DKJB) mengingatkan agar DPR tidak tergesa-gesa mengesahkan RUU Kebudayan.

Dalam diskusi yang digelar Selasa (7/10) di Ruang Sidang Yayasan Pusat Kebudayaan, Bandung, Jawa Barat, DKJB mengkritisi banyak kelemahan dalam draf RUU Kebudayaan. Pembahasan dalam rapat kerja itu dipimpin langsung oleh Prof. Ganjar Kurnia, dengan pengantar pemahaman tentang undang-undang dari Anggota DKJB Yesmil Anwar Alhajj. Hadir dalam rapat kerja itu para anggota DKJB lainnya : Prof. Bambang Wibawarta, Prof. Dede Mariana, Dr. Buki Wikagoe, Iman Taufik, Yus Ruslan Achmad, Aat Suratin, Yayat Hendayana, N. Syamsuddin Ch. Haesy dan perwakilan dari Paguyuban Pasundan, Dinas Pariwisata & Kebudayaan Jawa Barat dan lain-lain.

Sebagian anggota DKJB berpandangan, masalah kebudayaan terlalu luas untuk diatur dalam suatu undang-undang. Kebudayaan meliputi seluruh aspek kehidupan, terkait dengan ideologi, politik, sosial, ekonomi, Hankam, dan agama. Kebudayaan dipahami sebagai keseluruhan gagasan, perilaku, dan hasil karya manusia dan atau kelompok manusia yang dikembangkan melalui proses belajar dan adaptasi terhadap lingkungannya yang berfungsi sebagai pedoman untuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Karenanya, DKJB mengingatkan agar DPR tidak justru mereduksi kebudayaan melalui UU Kebudayaan. Dengan begitu, kebudayaan tidak dapat ditafsirkan secara tunggal mengenai hakekat Kebudayaan. Karenanya, perlu produk legislasi yang lebih spesifik seperti tentang Produk dan Industri Budaya, Pengelolaan Kebudayaan, Perlindungan dan Pelestarian Warisan Budaya, Bahasa Nasional, Masyarakat Adat, dan lainnya.

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 238
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 409
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 256
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 526
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1046
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 267
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 740
Momentum Cinta
Selanjutnya